kicknews.today – Kasus dugaan pemerasan yang menyeret mantan Ketua KPK inisial FB terhadap SYL menjadi perbincangan banyak pihak. Tidak sedikit yang menduga adanya korban lain selain SYL dari kasus pemerasan yang ditangani Polda Metro Jaya itu.
“Jangan-jangan perkara korupsi yang menyeret mantan Wali Kota Bima, H Muhammad Lutfi (HML) juga menjadi korban pemerasan FB,” duga Praktisi Hukum, Sutrisno Aziz, SH, MH, Jumat (1/11/2023).
Oleh karena itu, Mantan Hakim Adhoc Tipikor Pengadilan Tinggi Bali dan NTB periode 2011-2021 ini meminta pimpinan KPK yang baru agar mengusut kemungkinan adanya dugaan gratifikasi atau pemerasan oleh FB terhadap tersangka HML atau para saksi yang berpotensi menjadi tersangka selama penanganan perkara tersebut di KPK. Sebab, jika melihat progres penanganan perkara korupsi mantan Wali Kota Bima terkesan lamban, dan hanya mendudukkan satu tersangka.
“Apa iya karena belum cukup bukti untuk mentersangkakan yang lain, ataukah sudah ada dugaan gratifikasi atau pemerasan terhadap saksi saksi saat FB menjabat Ketua KPK, yang menyebabkan kasus ini seolah dilokalisir dengan menempatkan HML sebagai tersangka tunggal,” kata Koordinator Komunitas P 55 J NTB ini.
Sutrisno Aziz menegaskan, jika memperhatikan pasal yang diterapkan KPK yakni Pasal 12 huruf i dan/atau pasal 12B UU Tipikor, rasanya mustahil tindak pidana tersebut bisa diwujudkan sendiri oleh HML tanpa bantuan pihak lain. Apalagi perkara ini berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, yang sudah pasti melibatkan kumpulan banyak orang dalam satuan kerja dan kepanitiaan.
“Orang orang ini semestinya dapat didudukkan sebagai pelaku penyerta. Apakah perannya hanya sebatas membantu atau bersama sama dengan HML mewujudkan tindak pidana,” ungkap Sutrisno Aziz.
Demikian juga dengan penerapan pasal 12B UU Tipikor sebagai penerima gratifikasi lanjut Sutrisno Aziz, semestinya ikut ditersangkakan pula pemberi gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor. Bukankah gratifikasi baru bisa terwujud setelah adanya interaksi langsung atau tidak langsung antara pemberi dan penerima gratifikasi.
“Di sini kerancuannya, sejauh ini KPK hanya menyematkan penerima gratifikasi saja sebagai tersangka, sedangkan pemberi gratifikasinya tidak, rasanya agak sulit diterima akal sehat,” beber Sutrisno Aziz.
Tidak hanya itu, mengingat nilai gratifikasi atau suap yang diduga diterima oleh HML cukup signifikan sekitar Rp 8,6 miliar, semestinya diproses berbarengan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Karena instrumen hukum TPPU dengan sistem pembuktian terbaliknya, selain lebih mudah pembuktiannya juga efektif buat merampas hasil kejahatan korupsi untuk kas Negara. Atau mungkin KPK punya rencana lain, misalnya melimpahkan atau menyidangkan dulu perkara korupsi baru kemudian TPPU nya menyusul seperti yang dilakukan terhadap oknum atau mantan hakim agung GBS yang saat ini sedang diproses hukum di KPK.
“Beberapa keganjilan proses penanganan perkara korupsi mantan Wali Kota Bima tersebut, kiranya dapat diatensi oleh KPK secepatnya, dan sekali lagi saya meminta kepada pimpinan KPK yang baru agar bisa mendalami kembali kemungkinan adanya gratifikasi atau pemerasan yang diduga dilakukan oleh FB terhadap saksi-saksi yang berpotensi menjadi tersangka. Karena boleh jadi korban dugaan pemerasan bukan hanya dialami oleh mantan menteri pertanian SYL tetapi juga dialami oleh korban korban lain selama FB memimpin KPK, tak terkecuali terhadap pihak pihak yang diduga terlibat dalam perkara mantan Wali Kota Bima ini,” pungkasnya. (jr)