“PR Besar” NWDI & TGB: Jawabnya Lalu Iqbal & Rifki Farabi

Lalu Iqbal - Rifki Farabi
Lalu Iqbal - Rifki Farabi

Catatan: Gottar Parra

Segala sesuatu ada masanya (lahir, tumbuh dan mati). Demikian pula halnya dengan kekuasaan (politik) juga ada usianya, sehingga tak mungkin dilanggengkan dengan pola/sistem atau ideologi.

Kita telah menyaksikan berbagai rekam jejak sejarah, baik visual (di relief candi) maupun monograf (yang tertera di naskah lontar), bagaimana Raja-raja berkuasa dan mengakhiri kekuasaannya di hadapan hukum besi sejarah (rakyat yang marah).

Setelah pedang kaum aristokrat patah di ujung moncong senapan kaum kolonial (Portugis, Inggris, Belanda, Jepang,dll), yang menjarah rempah-rempah dan emas, disusul perlawanan kaum pergerakan yang melahirkan kemerdekaan, maka berhembuslah angin demokrasi sampai ke gang-gang sempit dan becek. Suara rakyat yang telah menemukan kebebasannya tak bisa lagi dibungkam oleh indoktrinasi dan intimidasi. Gerakan perubahan pun dimulai di bawah payung agung demokrasi. 

Periode awal kemerdekaan (Indonesia baru) berada di tangan para perintis kemerdekaan seperti Soekarno-Hatta, dengan berbagai dinamika politik dan historisnya; tetapi fase itu (Orde Lama, berikutnya Orde Baru) kita pahami sebagai era transisi yang memang harus dilalui sebagai proses pendewasaan sebagai bangsa dengan beragam latar sosialnya  (etnik, budaya/tradisi) yang mencapai ribuan entitas dan wilayah geografisnya.

Dan, Alhamdulillah, gelombang reformasi Mei 1998, telah menghantar Indonesia memasuki era baru, yaitu otonomi daerah dan sistem demokrasi langsung, yang memberi ruang kepada setiap individu/warga negara untuk menyuarakan kebebasan dan kedaulatannya sebagai manusia/bangsa merdeka, sehingga memungkinkan untuk melakukan perubahan/transformasi politik dan budaya dari “pangkal” ke “dahan”, bahkan sampai ke “pucuk”, yang jangkauan cakrawalanya lebih luas.

Kesadaran visioner tentang hidup dan perspektif global, serta demokrasi dan masa depan ini, tidak terkurung dalam kepompong tradisi masa lampau yang jumud dan suram, sehingga membuat manusia tidak berkembang secara alamiah dan kultural. Perkembangan pengetahuan tentang demokrasi dan pembangunan ini sangat penting untuk menjawab tantangan hidup dan masa depan yang makin complicated.

Terlebih di era teknologi, yang telah mempengaruhi dan merubah berbagai aspek sosial/tatanan hidup masyarakat dan negara, sehingga politik tak sekadar membutuhkan tafsir baru secara kontemporer, tapi juga terobosan-terobosan strategis dalam mengarungi kompetisi politik global yang berbasis pada kepentingan material (ekonomi), sehingga memerlukan cara pembacaan baru yang tak sekadar komprehensif, tapi juga adaptif.

“PR Besar” politik global dan kawasan ini hanya mungkin dicerna oleh mereka yang “mengenal” dan “menyelami” semangat zamannya, ketika semua berubah jadi citra dan imajinasi. Karena sejarah tenten (barter) dan uang recehan bakal berakhir sesaat lagi, sebelum lonceng paruh abad 21 menggema dari Moscow atau Mexico.

Menyadari problem kontekstual kita hari ini, perhatian saya lantas tertuju pada wajah-wajah baru dalam politik, jika di Jakarta ada Gibran Rakabuming (Cawapres), di Lombok ada M. Rifki Farabi, LC (Calon Anggota DPD RI). Kalau tokoh muda moderat berwawasan global seperti Rifki kita serahkan mendampingi Dr. Lalu Muhamad Iqbal “menakhodai” NTB 5 tahun ke depan (2024-2029), tentu akan lebih menjanjikan untuk warga NTB yang kini tengah menghadapi tiga masalah besar: 1. Kemiskinan, 2. Pengangguran, dan 3. Dampak sosial pariwisata dan internet, yang cenderung lost control. Dibutuhkan figur/tokoh yang mengerti karakter zamannya untuk memimpin NTB 5 tahun ke depan.

Para politisi dan birokrat di NTB tidak relevan lagi menggunakan cara pandang “mesin foto kopi” yang hitam-putih dan sekadar ada atau bersifat sementara, melainkan harus memahami seluk-beluk permainan global (yang tidak lagi bicara soal salah dan benar, tapi What do we get? Serta memahami medan kompetisi yang lebih luas, karena sebatang jarum yang patah di kaki Rinjani bisa didengar oleh orang di Las Vegas atau Jalur Gaza. Bisa jadi berita di youtube terkait kenaikan harga tekstil di Eropa telah mempengaruhi pikiran si tukang jahit sehingga jadi grogi dan mematahkan jarum di mesin jahit.

Cara berpikir simulakra semacam ini sangat penting dimiliki seorang pemimpin/calon pemimpin di NTB, bukan cuma selfi di Facebook/IG. Seorang calon pemimpin yang hendak berkuasa di era teknologi ini harus memiliki kecerdasan lebih, karena ini bukan zaman keris bertuah.

Terkait potensi dan peluang Dr. Lalu Muhamad Iqbal dan Muhammad Rifki Farabi, LC untuk bersanding memimpin NTB, seorang teman bertanya, “Kalau partainya TGB tak lolos ke Senayan, gimana?”

Jawabnya sederhana: Jamaah NWDI itu kan besar. Tinggal kumpulkan KTP, maju sebagai Calon independen/perseorangan. (*)

(Tulisan ini dirangkum dari hasil diskusi terbatas, bukan pendapat pribadi).

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Adam Gottar Parra

Adalah seorang warga NTB, beralamat di: gottar.parra@gmail.com

Artikel Terkait

OPINI