Mari Pulang, Marilah Pulang

Lalu Muhamad Iqbal
Lalu Muhamad Iqbal

Lampu sorot utama masih menyala. Pelataran depan Taman Budaya NTB, Mataram, Minggu (24/12/2003) malam, lebih terang dibanding malam-malam sebelumnya. Sebuah acara bertajuk Gaza Tonigh sudah berakhir sejak pukul 22.00 wita. Namun masih banyak pengunjung yang bertahan. Beberapa di antaranya awak media.

Mereka menunggu kesempatan berfoto bareng dengan sosok lelaki yang hampir saban hari muncul di televisi dan media sosial, sejak konflik Israel-Palestina kembali mengemuka. Dialah juru bicara Kemenlu RI Lalu Muhamad Iqbal. Praktis, setelah kurang lebih satu jam berorasi di acara yang digelar para seniman Mataram, lelaki ini tidak bisa langsung meninggalkan tempat. Malam itu, Lalu Iqbal layaknya seorang bintang.

Ia tak mau mengecewakan orang-orang yang ingin foto bersama, dan melayani satu-persatu wartawan yang mewawancarainya. Bahkan ia pun tak hanya pasif sebagai subjek foto. Ia mengabadikan sendiri potret beberapa momen menggunakan ponsel remaja yang berpose dengannya.

Malam mulai larut. Ketika sebagian pengunjung telah pergi, Lalu Iqbal masih belum beranjak. Ia duduk bersila di lantai pelataran bersama sejumlah seniman, menikmati kopi yang dihidangkan dalam gelas plastik. Lantai itu cukup bersih dan tak berdebu, karena beberapa jam sebelumnya hujan sempat turun.

Lalu Iqbal terlihat akrab, walaupun baru kali itu bertemu. Diskusi santai dengan para seniman berakhir menjelang pukul 12.00 malam.

Kariernya sebagai diplomat identik dengan masalah-masalah serius. Telah lebih dari 100 negeri ia kunjungi, terkait tugas-tugas kenegaraan yang diamanatkan padanya.

Tetapi, tak kenal maka tak sayang. Iqbal sosok yang luwes dan menyenangkan. Ia punya banyak cerita atau joke yang bisa membuat pendengarnya terpingkal-pingkal. Misalnya ketika ia bertutur tentang orang-orang Arab yang terheran-heran saat pertama kali ke Lombok. “Dia heran melihat kita yang wudhu pakai air begitu banyak. Putar keran lalu air mengucur deras. Sedangkan di tempat asalnya mereka selalu menghemat air, termasuk ketika wudhu,” tutur lelaki kelahiran Praya, 10 Juli 1972 ini.

Arab pengekspor minyak bumi. Negeri yang kaya. Tetapi soal air, Arab seringkali menghadapi krisis. Tentu sangat berbeda dengan Lombok yang airnya melimpah ruah. “Wajar mereka heran. Apalagi kalau melihat air bersih banyak dihabiskan hanya untuk pandiq jaran (memandikan kuda, bahasa Sasak),” lanjutnya.

Selalu ada cerita menarik setiap Iqbal pulang. Tidak selalu kisah tentang pengalamannya di rantau.

Meski lebih banyak waktu yang dihabiskannya di luar, ingatannya belum pupus tentang masa kecil hingga remaja di tanah kelahirannya di Lombok. Ia ingat hampir semua kawannya. Pergaulannya luas. Ia tidak pilih-pilih teman. Bahkan ada juga teman akrabnya yang terkenal bandel. “Dulu dia kakak kelas dua tingkat di atas saya. Tapi setelah saya tamat sekolah, dia masih belum merampungkan pelajaran. Dia jadi adik kelas saya dua tingkat,” tuturnya.

Baginya, pulang kampung suatu kebahagiaan tersendiri. Maka setiap pulang ia selalu nampak bersemangat. “Setiap mudik saya selalu teringat lagu Gelang Si Paku Gelang,” katanya sambil menyenandungkan lagu yang berasal dari Sumatera Barat itu.

Gelang si paku gelang
Gelang si rama rama

Mari pulang marilah pulang marilah pulang
Bersama-sama
Mari pulang marilah pulang marilah pulang
Bersama-sama

Gelang Si Paku Gelang menggambarkan keceriaan anak-anak yang akan pulang ke rumah. Lalu Iqbal bukan anak-anak lagi. Tapi kerinduannya pada kampung halaman tentu tak bisa terobati hanya dengan mudik sehari dua hari.

Pulanglah, Miq. Pulau indah ini selalu menanti.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Buyung Sutan Muhlis

Penulis buku dan sastra

Artikel Terkait

OPINI