Ketika Empu Prapanca berguru di Lombok

Ilustrasi Empu Prapanca berguru di Lombok

kicknews.today – Di tahun 1894, J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi di Lombok, menyelamatkan isi perpustakaan Puri Cakranegara, sebelum tempat ini dibakar. Salah satu kitab yang diselamatkan bernama Negarakretagama. Naskah lontar yang bagian pertamanya terdiri 49 pupuh ini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Saat Ratu Juliana, Belanda, berkunjung ke Indonesia pada 1973, naskah ini diserahkan kepada Pemerintah RI, lalu disimpan di Perpustakaan Nasional RI.

Banyak versi tentang mahakarya yang ditulis pada 1365 ini. Salah satunya menyebut kitab Negarakretagama yang ditemukan di Lombok adalah sebuah salinan.

Namun hal itu dibantah tegas Budayawan Lombok Drs H Lalu Anggawa Nuraksi. Ditemui di kediamannya akhir pekan lalu, ia juga menyampaikan versi berbeda tentang perjalanan sang empu ke Lombok, sebelum karya besar itu ditulis. “Negarakretagama memang ditulis di Lombok. Orang-orang tahu tentang kitab ini ‘kan setelah ditemukan di Lombok, kemudian banyak disalin,” kata Anggawa.

Baca juga: Sembalun ini surga, Lalu Iqbal bandingkan pertanian di Lombok dengan New Zealand

Anggawa bertutur mulai fase setelah meletusnya Gunung Samalas di Lombok di tahun 1257. “Lombok mulai dikenal setelah Samalas meletus. Pendatang dari Jawa mulai berdatangan pada fase yang disebut bedol desa,” tuturnya.

Lalu, bagaimana awal-mula Empu Prapanca ke Pulau Lombok?

Sebelumnya, ada sesuatu kehebohan yang terjadi di wilayah Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa yang saat itu di bawah Pemerintahan Hayam Wuruk. Sebuah tulisan beredar di publik yang menyebabkan sang raja sangat berang. Tulisan itu mengkritik raja dan tata kelola Pemerintahan Majapahit yang tak punya Undang-undang Dasar sendiri. “Saat itu Majapahit menerapkan UU Kutara Manawa Dharmasastra. Itu UU yang diadopsi dari India,” lanjut Anggawa.

Penulis kritikan itu menggunakan nama samaran Empu Prapanca. Belakangan diketahui dia seorang bekas pembesar yang tinggal di pusat Majapahit. Nama sebenarnya Dang Acarya Nalendra. Ia sering mengiringi perjalanan Raja Hayam Wuruk ke berbagai tempat. “Akhirnya ketahuan itu perbuatan Nalendra. Dia dipanggil raja. Dia siap menerima hukuman. Tapi, Raja Majapahit terkenal sebagai seorang raja yang arif bijaksana. Nalendra atau Empu Prapanca tak dihukum,” ucap Anggawa, lalu menjelaskan arti kata Prapanca, “Prapanca itu artinya kebingungan.”

Baca juga: Lalu Muhamad Iqbal “Harga Diri” Orang Sasak

Empu Prapanca yang lolos hukuman itu ditugaskan raja berangkat ke Pulau Lombok, diantar seorang Panglima Angkatan Laut Majapahit. “Kata raja, secara spritual ia sering melihat pancaran biru di timur Bali. Ia meminta Empu Prapanca ke sana,” demikian Anggawa.

Di masa itu, di seluruh Nusantara belum ada satu pun kerajaan yang memiliki UUD sendiri, kecuali di Lombok. Kedatuan Selaparang saat itu sudah punya UUD, bernama Kotaragama. Kedatangan Empu Prapanca menunaikan titah sang raja untuk berguru di Lombok, sekaligus mempelajari undang-undang ini. “Soal UU Kotaragama ini pernah saya sampaikan di Belanda yang diikuti peserta sejumlah universitas. Saya mendapat banyak pertanyaan, sebelum pada akhirnya diterima,” ujarnya.

Empu Prapanca berada di Lombok selama hampir tiga setengah tahun. Di sela-sela aktifitasnya ia mulai menulis Kitab Negarakretagama.

Sebuah kabar datang dari Pulau Jawa. Majapahit chaos bersamaan dengan masuknya Islam. Prapanca diperintahkan kembali ke Majapahit. Sebagai oleh-oleh kembali ke Jawa ia membuat naskah perjanjian antara Kerajaan Majapahit dengan Kedatuan Selaparang. Kesepakatan itu bernama Perjanjian Punang, dibuat di Desa Ponang, Lombok Timur.

Baca juga: Lalu Iqbal kaget dengar orang Sembalun jual tanah lalu jadi penjaga di Homestay bekas tanahnya

Isi Perjanjian Punang adalah, pertama, antara Kerajaan Majapahit dengan Kedatuan Selaparang akan mengadakan pertukaran cendekiawan. Yang kedua, antara Kerajaan Majapahit dan Kedatuan Selaparang akan saling membantu dalam bidang pembangunan dan keamanan. Ketiga, dalam setiap acara kenegaraan, antara kedua pemerintahan akan saling mendampingi.

“Itu berarti kan Kedatuan Sepalarang saat itu peradabannya tinggi. Namun, Perjanjian Punang tak pernah diangkat sama sekali,” katanya menyayangkan.

Empu Prapanca tidak membawa naskah Negarakretagama pulang ke Majapahit. Kitab ini dititipkan di Kedatuan Selaparang. “Ternyata, Majapahit bubar. Sedang Empu Prapanca tidak kembali-kembali lagi. Lalu Bali menggempur Selaparang. Mereka menemukan kitab Negarakretagama, dibawa ke Puri Cakranegara. Selanjutnya Belanda menyerang Lombok. Kitab yang dibuat di Lombok itu dibawa ke Belanda,” tandasnya.

Anggawa menyebut tak hanya Negarakretagama. Ada 3375 kitab-kitab kuno Lombok yang ada di Belanda, dibawa setelah penyerangan tersebut. (bsm)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Buyung Sutan Muhlis

Penulis buku dan sastra

Artikel Terkait

OPINI