BPJS Kesehatan berbenah, meniadakan kastanisasi kelas rawat inap ,legakah rakyat?

Oleh: Dhanti Anggunkusuma,S.H

Apresiasi Positif Kebijakan Pemerintah untuk Kepentingan Rakyat Indonesia Khususnya Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Kredibilitas pemerintah dipertanyakan terkait Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 28 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 8 Mei 2024, salah satu poin penting adalah terkait Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Namun, terlihat belum ada kategori yang jelas dalam proses penghapusan kelas 1, 2, dan 3 dalam Perpres tersebut.

Penerapan KRIS membutuhkan proses panjang dalam tahap uji coba. Secara logis, ini berdampak pada perubahan besaran iuran BPJS Kesehatan. Seharusnya, tidak adanya lagi kelas iuran berdampak pada perubahan iuran peserta BPJS yang diharapkan tidak menjadi beban masyarakat, terutama di tengah perekonomian yang masih merangkak.

Kebijakan ini bertujuan menyederhanakan sistem pelayanan kesehatan dan memastikan standar pelayanan yang lebih merata di seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan guna mewujudkan rumah sakit yang memenuhi 12 kriteria, yaitu:

  1. Komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi.
  2. Ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal enam kali pergantian udara per jam.
  3. Pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur.
  4. Kelengkapan tempat tidur berupa adanya dua kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur.
  5. Adanya nakas per tempat tidur.
  6. Dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 sampai 26 derajat Celcius.
  7. Ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan non-infeksi).
  8. Kepadatan ruang rawat inap maksimal empat tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter.
  9. Tirai atau partisi dengan rel yang menempel di plafon atau menggantung.
  10. Kamar mandi dalam ruang rawat inap.
  11. Kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas.
  12. Outlet oksigen.

Perlu didorong diskusi musyawarah mufakat terkait besaran iuran peserta BPJS Kesehatan pada saat KRIS diberlakukan nanti, sehingga kebijakan iuran dapat dijangkau dan tidak memberatkan masyarakat, terutama peserta kategori mandiri.

Sistem KRIS dengan 12 kriteria yang harus dipenuhi oleh rumah sakit ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Namun, terdapat beberapa problematika terhadap jaminan pelayanan kesehatan. Pertama, masih ada rumah sakit yang tidak memenuhi standar sehingga pelayanan kesehatan kurang baik. Kedua, tarif dan iuran yang nantinya diterapkan pemerintah perlu dievaluasi apakah sepadan atau tidak, karena dapat menjadi beban masyarakat.

Merujuk pada PP No. 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur layanan kelas menjadi KRIS, disebutkan bahwa peserta BPJS bisa menggabungkan dengan asuransi tambahan. Menurut Pasal 51 Ayat 1, peserta dapat meningkatkan perawatan yang lebih tinggi dari haknya termasuk Rawat Jalan Eksekutif atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.

Pada Pasal 51 Ayat 1 terkait asuransi tambahan diperhitungkan dengan besar gaji peserta atas penghasilan yang diperolehnya sesuai dengan kesepakatan peserta BPJS. Sesuai dengan Pasal 51 Ayat 3, kategori peserta yang dilarang meningkatkan layanan perawatan BPJS adalah:

  1. Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan
  2. Peserta BP dengan manfaat pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III
  3. Peserta BPPU (Bukan Peserta Penerima Upah) dengan manfaat pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III

KRIS harus mewujudkan kenyamanan perawatan dengan jumlah pasien di kelas standar maksimal empat orang, didukung tenaga medis yang profesional.

Solusi terbaik adalah rumah sakit mitra BPJS Kesehatan memenuhi standar 12 kriteria untuk menyesuaikan dengan program KRIS. Jika belum memenuhi persyaratan kriteria tersebut, BPJS Kesehatan harus melakukan evaluasi agar manfaat dari tarif dan iuran yang diterapkan oleh pemerintah dapat dirasakan oleh masyarakat. Di sinilah kebijakan pemerintah perlu dilaksanakan dengan mengalokasikan subsidi kesehatan untuk setiap warga negara Indonesia, dan setiap masyarakat wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Bayangkan, dengan jumlah 280 juta rakyat Indonesia dan iuran standar Rp 10.000 per bulan, bisa terkumpul Rp 2,8 triliun per bulan atau Rp 33,6 triliun per tahun. Dengan dana ini, penerapan kesehatan gratis untuk setiap warga negara dapat diwujudkan melalui subsidi kesehatan. Bila terwujud, Banggalah Bangsa Indonesia.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Dhanti Anggunkusuma,S.H

Mahasiswa Magister Hukum Kosentrasi Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah dan Bekerja pada Staff Administrasi Anggota DPR-RI

Artikel Terkait

OPINI