Fakta-fakta perang Cakranegara hingga penjarahan harta karun di Lombok oleh Belanda

Lukisan Perang Cakranegara

kicknews.today – Belanda menyebutnya ‘Lombokschat’ atau harta karun Lombok yang mengacu pada harta kekayaan puri Mayura di Lombok yang disita oleh Belanda, di antaranya termasuk 230 kilo emas, 7.000 kilo perak dan perhiasan serta karya sastra termasuk kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca dari era Majapahit.

Kini barang – barang kebudayaan itu dikembalikan lagi ke pangkuan Ibu pertiwi. Barang-barang tersebut secara resmi diserahkan pemerintah kerajaan Belanda pada 10 Juli 2023 kemarin yang sebelumnya disimpan di Rijksmuseum atau Museum Nasional di Amsterdam.

Namun ada beberapa hal yang perlu diketahui dari peristiwa penjarahan barang-barang berharga di puri Mayura saat perang Cakranegara di Lombok pada 1894 tersebut.

Dari berbagai sumber dikatakan bahwa intervensi Belanda di Lombok dan Karangasem pada tahun 1894 adalah bagian dari serangkaian upaya kolonisasi Belanda di Bali dan wilayah sekitarnya termasuk Lombok. Intervensi ini berujung pada penjajahan penuh Bali dan Lombok sebagai bagian dari Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Pulau Lombok memiliki penduduk asli yang terdiri dari Suku Sasak yang telah menganut agama Islam sejak abad ke-16. Pada waktu itu, kelompok bangsawan dari Kerajaan Karangasem di Bali mulai menguasai bagian barat Pulau Lombok. Salah satu kelompok yang paling berpengaruh adalah kelompok Bali-Mataram, yang kemudian mengklaim berhasil menguasai seluruh pulau pada tahun 1839. Sejak saat itu, kebudayaan istana Bali juga ikut berkembang di Lombok.

Di saat yang sama, hubungan Bali-Mataram dengan Inggris berkembang pesat, terutama melalui G.P. King yang memiliki mandat perdagangan luar negeri dari Inggris. Namun, Belanda berhasil menghentikan pengaruh Inggris dengan menandatangani perjanjian dengan kelompok Bali-Mataram pada tahun 1843.

Kelompok Bali-Mataram akhirnya menjadi sekutu Belanda selama intervensi Belanda di Bali pada tahun 1849, dan sebagai imbalannya, kelompok ini diberikan kedudukan sebagai penguasa vasal atas wilayah Karangasem di Pulau Bali.

Kepala Distrik Praya Guru Bangkol dalam Buku Naar Lombok karangan Dr CJ Neeb dan Abeek Brusse tahun 1897

Congah Praya

Pada tahun 1891, terjadi pemberontakan oleh masyarakat muslim Sasak di Lombok Timur dan Lombok Tengah terhadap penguasa Bali-Mataram, yaitu Anak Agung Gde Ngurah Karangasem. Pemberontakan ini merupakan kelanjutan dari pemberontakan sebelumnya pada tahun 1855 dan 1871, yang sebelumnya berhasil ditumpas oleh penguasa Bali-Mataram. Konon pemberontakan ini terjadi karena penguasa Bali-Mataram meminta masyarakat Sasak untuk mengumpulkan ribuan orang untuk membantu menyerang Kerajaan Klungkung di Bali, dengan tujuan menjadi penguasa tertinggi di Bali.

Pada tanggal 25 Agustus 1891, putra penguasa Bali-Mataram, Anak Agung Ketut Karangasem, dikirim dengan 8.000 tentara untuk menumpas pemberontakan di Praya yang dikenal dengan istilah Congah Praya dan wilayah lain yang juga termasuk wilayah Kerajaan Selaparang.

Tokoh-tokoh menonjol kala pemberontakan itu seperti Guru Bangkol yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Distrik Praya. Orang-orang Praya sejak lama menolak dikirim ke Bali untuk membantu Bali-Mataram berperang melawan kerajaan Klungkung di Bali

Pada tanggal 8 September, pasukan kedua di bawah putra lainnya, Anak Agung Made Karangasem, dengan kekuatan 3.000 orang, dikirim sebagai pasukan tambahan. Namun, karena pasukan kerajaan mengalami kesulitan melawan perlawanan Sasak, maka mereka meminta bantuan penguasa bawahan Karangasem, yaitu Anak Agung Gde Jelantik, untuk mengirimkan 1.200 pasukan elit guna menumpas pemberontakan.

Perang berkecamuk terus berlangsung dari tahun 1891 hingga 1894. Pasukan Bali-Mataram yang lebih canggih persenjatannya karena dibantu oleh Inggris, termasuk dua kapal perang modern bernama Sri Mataram dan Sri Cakra, berhasil menduduki banyak desa yang memberontak dan mengelilingi kubu terakhir perlawanan Sasak.

Sejumlah tokoh masyarakat Lombok bagian timur yang cukup menonjol dalam Perang Lombok 1894. Dari kiri ke kanan Raden Widana dari Jonggat, Mamiq Mustiaji dari Kopang, Mamiq Sapian dari Praya, Mamiq Ginawang dari Batukliang. Sebagian besar mereka kemudian diangkat menjadi Kepala Distrik di masing masing wilayah. Foto ini diambil sekitar 1895

Minta Dukungan Belanda

Pada tanggal 20 Februari 1894, masyarakat Sasak secara resmi mengirim utusan untuk meminta intervensi dan dukungan dari Belanda atas perangnya dengan Bali-Mataram. Hal ini ditokohi oleh beberapa orang yang menonjol seperti Raden Widana dari Jonggat, Mamiq Mustiaji dari Kopang, Mamiq Sapian dari Praya, Mamiq Ginawang dari Batukliang.

Melihat kesempatan untuk memperluas kendali mereka di Hindia Timur, Belanda tentu memihak kepada Sasak yang meminta bantuan dalam perang pemberontakannya. Mereka segera mengganggu impor senjata dan perlengkapan penguasa Bali-Mataram yang biasanya diperoleh dari Singapura.

Blokade impor tersebut ternyata tidak cukup untuk menghentikan perang, dan permintaan penyerahan dari Mataram juga ditolak. Pada bulan Juli 1894, Belanda memutuskan untuk mengirim ekspedisi militer dengan tujuan menggulingkan penguasa Bali-Mataram. Tiga kapal, yaitu Prins Hendrik, Koningin Emma, dan Tromp, dikirim dari Batavia dengan membawa 107 perwira, 1.320 tentara Eropa, 948 tentara pribumi, dan 386 kuda.

Penghancuran Cakranegara, 1894. Foto ini diambil sekira setelah Belanda menumpas perlawanan Bali-Mataram di Lombok

Perang Cakranegara

Sejak bulan Agustus 1894, pasukan Bali melawan kehadiran militer Belanda dalam konflik tersebut. Pada malam tanggal 25 Agustus 1894, mereka secara tiba-tiba menyerang kamp militer Belanda yang dihuni oleh sekitar 900 orang di dekat Puri Mayura di Cakranegara. Serangan tersebut berhasil menewaskan lebih dari 500 tentara, pelaut, dan pekerja yang berada di sana. Jenderal P.P.H. van Ham, panglima pasukan Belanda, termasuk dalam korban tewas serangan tersebut.

Belanda kemudian mundur dan berkubu di benteng di pinggir pantai Ampenan. Namun, mereka kembali dengan bala bantuan di bawah komando Jenderal Vetter, dan Puri Mayura diserang hingga benar-benar hancur.

Pada tanggal 8 November 1894, Belanda secara sistematis menembaki posisi pasukan Bali di Cakranegara, menghancurkan istana, dan menewaskan sekitar 2.000 orang Bali, sementara mereka sendiri kehilangan 166 orang. Pada akhir November 1894, Belanda berhasil mengalahkan semua perlawanan Bali dengan ribuan orang Bali menjadi korban tewas, menyerah, atau melakukan ritual puputan (ritual bunuh diri masal yang dilakukan saat perang, daripada harus menyerah pada musuh).

Setelah itu, Lombok dan Karangasem menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan pemerintahannya dijalankan dari Bali. Gusti Gede Jelantik diangkat sebagai regen Belanda pada tahun 1894 dan memerintah hingga tahun 1902. Belanda menyita harta kekayaan kerajaan Lombok, termasuk emas seberat 230 kilogram, perak seberat 7.000 kilogram, perhiasan, dan karya sastra seperti Negarakertagama. Wilayah Bangli dan Gianyar di Bali juga mengakui kedaulatan Belanda, tetapi wilayah Bali selatan terus melawan hingga intervensi Belanda berikutnya di Bali pada tahun 1906. (red.)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI