Hanya karena umur, anak tulang punggung keluarga ditolak masuk SMP di Lombok Utara

Ilustrasi anak sekolah. (kicknews.today/Ist)

kicknews.today – Dunia pendidikan kembali menjadi sorotan tajam di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Seorang anak dari keluarga kurang mampu di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, harus menelan pil pahit setelah gagal diterima sebagai siswa baru di SMP Negeri 3 Bayan. Penyebabnya adalah usia yang lebih lima bulan dari batas maksimal yang diatur dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

 

Padahal, anak tersebut merupakan tulang punggung keluarga yang sempat putus sekolah selama satu tahun terakhir karena keterbatasan ekonomi. Tahun ini, secercah harapan sempat muncul setelah seorang dermawan bersedia menjadi bapak angkat dan membiayai seluruh kebutuhan sekolahnya. Namun harapan itu kandas, hanya karena aturan administratif yang dianggap terlalu kaku.

 

Penolakan ini menuai reaksi keras dari Gubernur Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) NTB, Zainudin yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk diskriminasi nyata dalam dunia pendidikan.

 

“Ini anak tulang punggung keluarga, sudah setahun tertunda sekolah karena miskin, sekarang ada yang mau bantu, malah ditolak gara-gara umur lebih lima bulan. Di mana hati nurani sekolah? Ini bertentangan dengan prinsip wajib belajar sembilan tahun yang dijamin oleh negara!” kecam Zainudin dengan nada tegas, Senin (07/07/2025).

 

Zainudin juga menyindir sikap Kepala SMPN 3 Bayan yang dinilai tidak berpihak kepada nasib anak-anak dari kalangan rentan.

 

“Kalau kurang umur salah, lebih umur juga salah, lalu pendidikan ini sebenarnya untuk siapa? Untuk anak yang ‘sempurna’ di atas kertas? Sistem ini seakan menutup pintu bagi anak-anak yang benar-benar ingin belajar,” geramnya.

 

Menanggapi kasus ini, Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Lombok Utara, Agus Karyawanto, mengakui bahwa laporan sudah diterima sejak dua hari lalu. Namun, ia mengaku terbentur aturan.

 

“Kalau sudah menyangkut sistem, kami tidak bisa berbuat banyak. Anak ini juga pernah kami sarankan masuk ke PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) tapi ia menolak karena ingin sekolah reguler,” ujar Agus.

 

Namun jawaban ini justru memancing kekecewaan dan kritik dari masyarakat. Banyak yang menilai sistem pendidikan terlalu kaku dan tidak memberi ruang bagi anak-anak dalam kondisi khusus.

 

Kepala SMPN 3 Bayan sendiri menyatakan bahwa pihaknya belum secara resmi menolak anak tersebut, namun belum berani mengambil keputusan lantaran masih terpaku pada juknis PPDB yang berlaku.

 

“Saat ini kami belum menutup pendaftaran. Baru 113 calon siswa yang masuk dari total kuota 132. Artinya masih ada sisa 19 kursi. Tapi kami masih menunggu petunjuk dari atasan untuk mencari solusi terbaik,” jelasnya.

 

Zainudin menegaskan bahwa kasus ini harus menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor pendidikan.

 

“Jangan sampai karena terlalu patuh pada aturan teknis, kita justru mengabaikan esensi pendidikan itu sendiri: memberi akses seluas-luasnya bagi anak bangsa untuk sekolah. Kalau sistem tidak bisa menampung semangat itu, maka sistemnya yang harus ditinjau ulang bukan anaknya yang dikorbankan!” tegasnya.

 

Ia juga meminta pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan untuk mengevaluasi sumber daya manusia (SDM) serta regulasi pendidikan yang berpotensi merugikan hak anak untuk belajar.

 

”Penolakan dengan alasan usia harus menjadi alarm moral: bahwa pendidikan bukan sekadar soal angka di atas kertas, tetapi tentang masa depan anak-anak bangsa,” tutupnya. (gii-bii)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI