Anomali dalam Penegakan Hukum: “Invisible Component” Mengokupasi Sempadan Pantai

Dr. Dewa Wijaya, SH., MH., sewaktu berkesempatan melihat salah satu bagian pesisir di Lombok Barat - NTB

kicknews.today – Dr. Dewa Wijaya, SH., MH., merasa prihatin dengan kondisi penegakan hukum yang menurutnya tidak bekerja secara efektif dalam melindungi serta menjamin hak banyak pihak, mulai dari masyarakat lokal, turis, pelanggan di luar tamu hotel, hingga nelayan, khususnya di kawasan sempadan pantai.

Permasalahan serupa memang terjadi awal tahun 2025, tepatnya 9 Januari 2025, di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten. Dimana pemagaran laut dilakukan sepanjang 30,16 kilometer. Sontak menyita perhatian sekaligus perbincangan mengenai tata kelola ruang laut, keberlanjutan ekologi, dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir.

Secara hukum, tindakan pemagaran ini dinilai melanggar sejumlah regulasi, di antaranya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021 tentang Tata Ruang Laut.Jauh sebelum peristiwa tersebut, bahaya laten itu telah lebih dulu diidentifikasi Dr. Dewa sebagai titik berangkat penelitiannya.

“Urusan penegakan hukum di pesisir dan pantai ini aturannya memang sudah jelas sejak lama. Ada aturan yang konkret tertera pada konstitusi, KUHP, bahkan sampai pada aturan internasionalnya pun ada,” terangnya pada satu kesempatan di Jakarta, (15/01).

Meski kejelasan aturan hukum tentang status pesisir pantai di NKRI sudah ada, masih sering ditemukan sejumlah pelanggaran. Ini mengandaikan ketidakefektifan penegakan hukum itu nyata.

Berdasarkan eksplorasi dan investigasi yang cukup lama dan ketat Ia lakukan, kemudian ditorehkan ke dalam disertasi berjudul “Penegakan Hukum Sempadan Pantai Bagi Ruang Publik (Studi di Senggigi, Lombok Barat dan Moyo, Sumbawa)”, Dr. Dewa mendapati fakta mencengangkan terkait adanya campur tangan “invisible component” di balik “hak eksklusif” yang membentengi para pelaku usaha dalam memprivatisasi sempadan pantai sebagai ruang publik.

Tidak sedikit pelaku usaha yang mengadopsi prinsip “Mare Clausum” dalam hukum internasional untuk melegitimasi tindakan privatisasinya, seakan mereka berperan sebagai “negara” yang memegang kekuasaan untuk menutup akses sempadan dan perairan lautnya dari pihak lain.

Analisa tajamnya terhadap permasalahan itu sekaligus mengeksaminasi sentra pemikiran salah seorang tokoh pemikir hukum berdarah Amerika, Lawrence Meir Friedman, yang menurut Dr. Dewa luput dari penengaraian teorinya, yakni “invisible component”. Spesifiknya “kapital” yang secara legal-formal tidak berkuasa, namun berperan determinan dalam menentukan bekerja-tidaknya tiga komponen hukum (substansi, struktur, dan kultur).

Menyandang gelar doktor dengan predikat cumlaude, Dr. Dewa berhasil menuntaskan jenjang akademiknya dengan konsern hukum pidana. Bercermin dari perjalanan karier dan penelitian selama menempuh studi S-3, Ia mengakui kompleksitas penegakan hukum yang sehari-hari pihaknya hadapi.

“Penegakan hukum memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena melibatkan begitu banyak aspek dan urusan. Meskipun aturannya sudah jelas ada dan mungkin untuk dijalankan,” ungkap Dr. Dewa.

Di akhir disertasinya, Ia merekomendasikan paradigma “state-community based” bercorak partisipatoris-responsif untuk memperbaiki kebijakan tata ruang dengan melibatkan partisipasi publik dan transparan bagi publik serta media dalam memerankan kontrol sosial.

“Data dan analisa hasil penelitian itu lumayan rumit dan panjang. Tidak mungkin saya beberkan di sini. Yang pasti, kesimpulannya, solusinya sudah ada dan bisa dijalankan untuk pencegahan terjadinya pelanggaran hukum itu,” tandas Perwira Polri berpangkat melati tiga itu. (hl)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI