kicknews.today – Hari ini, Padang Arafah di Arab Saudi menjadi pusat spiritual dunia Islam. Jutaan jemaah haji dari berbagai negara berkumpul menjalani wukuf, puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji. Namun, kekhusyukan itu diuji oleh cuaca ekstrem yang menyentuh suhu lebih dari 50 derajat Celsius, menjadikan prosesi ibadah tahun ini sebagai salah satu yang paling panas dalam sejarah pelaksanaan haji modern.
Di balik suhu yang membakar, para jemaah Indonesia tetap teguh menjalani ibadah. Tenda-tenda di sektor Arafah yang dilengkapi dengan pendingin udara dan logistik medis menjadi tempat berlindung dan berteduh, sembari mereka menjalani ibadah dengan khidmat.

“Sangat panas, tapi alhamdulillah semua fasilitas disiapkan dengan baik. Kami banyak minum air dan tetap di dalam tenda sesuai arahan petugas,” ujar Hariadi Norman, jemaah haji asal Ampenan, Kota Mataram, yang menjalani wukuf bersama istrinya saat dihubungi, Kamis, 5 Juni 2024.
Pasangan ini termasuk dalam rombongan jemaah asal Embarkasi Lombok yang telah menjalani seluruh rangkaian haji dengan tertib. “Ini pengalaman spiritual yang luar biasa. Kami saling menjaga dan saling menguatkan,” ujar Hariadi, singkat.
Kondisi Jemaah Terkendali, Petugas Tetap Siaga
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi untuk menghadapi risiko suhu ekstrem, termasuk menyediakan pos pendingin darurat, kipas air, logistik medis, serta menerapkan skema murur bagi jemaah lansia dan rentan, yaitu melewati Muzdalifah tanpa bermalam.
Hingga saat ini, juru bicara Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) menyebut tidak ada laporan kejadian luar biasa yang menimpa jemaah Indonesia. Petugas kesehatan terus berjaga di setiap sektor Arafah untuk memastikan kondisi jemaah tetap stabil selama wukuf berlangsung.
Dari Arafah Menuju Muzdalifah dan Mina
Selepas matahari terbenam, seluruh jemaah dijadwalkan bergerak ke Muzdalifah untuk mabit dan mengambil batu kerikil yang akan digunakan saat prosesi lempar jumrah di Mina. Langkah ini akan dilakukan secara bertahap dan terorganisir, menyesuaikan dengan kondisi fisik jemaah dan kapasitas transportasi.
Doa dari Tanah Lombok
Meski sama-sama sedang di Tanah Suci, Hariadi dan istrinya tak selalu dalam satu barisan. Namun bagi keduanya, kesempatan berhaji berdua adalah anugerah. “Kami saling berdoa, semoga diberi kesehatan dan bisa pulang sebagai haji mabrur,” ucap Hariadi dalam rekaman suara yang dikirim ke keluarga besarnya di Ampenan.
Dari Arafah yang panas dan padat, suara takbir dan doa mengalir tanpa henti. Di sanalah, jutaan harap disampaikan, termasuk oleh sepasang jemaah dari Ampenan—yang menunaikan ibadah haji bukan hanya sebagai ritual, tapi sebagai perjalanan iman dan cinta. (red.)