kicknews.today – Di kaki megah Gunung Rinjani, saat embun masih menggantung di pucuk daun dan angin berbisik pelan di lembah Sembalun, sebuah ritual tua kembali menghidupkan napas alam: Ngayu Ayu. Ia bukan sekadar warisan. Ia adalah denyut spiritual masyarakat Sasak yang telah bertahan lebih dari enam abad, mengikat manusia dengan gunung, air, dan langit dalam satu tarikan nafas.
Dilakukan setiap tiga tahun sekali, Ngayu Ayu menjadi ruang waktu di mana masyarakat Sembalun berkumpul. Mereka tak sekadar hadir secara fisik, tetapi membawa serta harapan, rasa syukur, dan semangat melestarikan keseimbangan yang selama ini menjaga ladang-ladang mereka tetap hijau.

Air dari 13 Mata, dan Janji Kesatuan
Prosesi dimulai dengan mengambil air suci dari 13 mata air yang tersebar di sekitar Sembalun. Setiap mata air adalah saksi waktu, tempat di mana doa turun bersama setiap tetesnya. Air itu lalu disatukan, didiamkan semalam, kemudian dibawa ke makam leluhur.
Almarhum H. Purnipa, tokoh adat Sembalun yang selama hidupnya menjadi penjaga utama nilai-nilai tradisi, pernah berkata dengan lirih namun tegas,
“Ngayu Ayu bukan sekadar tradisi. Ini simbol keseimbangan hidup. Antara manusia, alam, dan apa yang tak terlihat mata.”
Esoknya, air dibawa untuk disatukan di tempat suci, sebagai simbol penyatuan manusia dengan leluhur dan alam. Semua dilakukan dalam keheningan penuh hormat. Dalam masyarakat adat Sembalun, gunung bukan hanya bentang fisik—ia adalah penjaga, pengingat, dan ibu.
Menyucikan Rinjani: Dari Segara Muncar ke Lembah
Yang mungkin tidak banyak diketahui, Ngayu Ayu sesungguhnya merupakan puncak dari sebuah siklus besar yang disebut putaran alam.
Kiyai Rinjani Haedi Muhammad, salah satu pemuka spiritual yang menjaga tradisi ini, menjelaskan:
“Ngayu Ayu adalah ritual putaran alam yang dilakukan tiga tahun sekali setelah para tokoh adat Rinjani menjalankan ritual jambe’ gunung setiap tahun di kawah utama, yakni di Segara Muncar. Di sanalah pembersihan gunung dilakukan—baik secara zahir maupun batin.”
Dengan kata lain, Gunung Rinjani dipandang sebagai ruang hidup yang harus dibersihkan secara spiritual terlebih dahulu, baru setelah itu manusia di lerengnya bisa menyampaikan rasa syukur dan permohonan melalui Ngayu Ayu.
Daging Kerbau dan Tarian Leluhur
Di hari puncak, seekor kerbau jantan hitam disembelih. Kepalanya ditanam sebagai pasak bumi, lambang pengikat antara manusia dan tanah yang diinjak. Dagingnya diolah dan dimakan bersama seluruh warga dalam begibung, jamuan besar tanpa sekat kasta atau kedudukan.
Malamnya, Tarian Tandang Mendet digelar. Tujuh pemuda menari di depan api unggun, membawa gerak yang diwariskan dari para leluhur. Tarian ini bukan hiburan. Ia adalah bentuk komunikasi, penyampaian rasa hormat kepada arwah para pendahulu.
Ngayu Ayu: Napas Panjang Sebuah Kebijaksanaan
Dalam hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak cepat, masyarakat Sembalun tetap menjaga jeda mereka. Dalam ritual Ngayu Ayu, mereka menemukan tempat untuk merenung, untuk mengingat bahwa bumi tak pernah benar-benar bisa dipisahkan dari langit, dan bahwa kehidupan manusia selalu terhubung erat dengan roh-roh yang diam di alam sekitarnya.
Seperti pesan terakhir almarhum H. Purnipa yang masih sering dikutip para pemuda adat setempat:
“Selama Ngayu Ayu dijaga, maka Rinjani akan tetap hidup. Dan selama Rinjani hidup, kita punya harapan.” (red.)