Nekad dan Naked ala Sidzia Madvox

Pameran Lukisan Sidzia Madvox

Catatan dari pameran tunggal “Sisa-sisa yang Tersisa”

“Ini ngelukisnya di kanvas bekas, ditimpa (dengan lukisan baru). Bang Sid kan nggak punya uang.”

Demikian Sidzia Madvox berujar sambil terkekeh ketika saya datang ke pembukaan pameran tunggalnya. Modal nekad tampaknya memang gaya khas kawan saya yang akrab dipanggil Sid ini. Tetapi yang ajaib, dia juga sangat produktif dalam berkarya: kurang-lebih setahun saya mengenal Sid, dan dalam jangka waktu tersebut dia sudah menulis satu buku, merilis satu album musik, dan sekarang pameran seni rupa – tiga karya dengan tiga media yang berbeda. Apa dia penulis? Musisi? Atau perupa? Sepertinya definisi jadi tidak penting bagi Sid ketika menyangkut ekspresi: media apapun bisa dieksplorasi asal sesuai dengan mood-nya saat itu.

Pameran tunggal “Sisa-sisa yang Tersisa” digelar pada tanggal 21-27 Juli 2024 di Warung Kota Mataram dengan Mantra Ardhana sebagai kurator. Menyajikan 22 lukisan dan 5-6 patung, ini adalah pameran tunggal Sid yang pertama setelah cukup banyak malang-melintang di dunia musik. Saya dan Pape datang kepagian pada hari pembukaan pameran. Di lokasi belum ada pengunjung lain, sehingga kami cukup leluasa mengamati karya.

Memasuki teras warung, saya disambut lukisan perempuan dengan tangan melambai. “Sugeng Rawuh,” katanya, selamat datang. Tampaknya disengaja sebagai lukisan pertama yang menyambut pengunjung. Melangkah masuk ke ruang pamer, terasa suasana nyaman: rumah tua yang bersih terpelihara, dengan sedikit perabot dan pajangan antik. Lukisan-lukisan tergantung di dinding sementara patung-patung dipajang di lemari rendah, seolah bagian dari rumah. Saya menyukai pilihan Sid untuk berpameran di sini alih-alih di galeri – ada kesederhanaan membumi yang cocok dengan karya-karyanya.

Kemudian perhatian saya beralih pada karya-karya. Karena jumlah dan ukurannya, lukisan menjadi karya yang mendominasi dibanding patung. Bahkan sejujurnya saya tidak sadar bahwa patung-patung di sana adalah karya Sid yang dipamerkan, sampai terdengar celetukan seorang pengunjung, “Ooo… yang ini dipamerin juga?” Atau mungkin patung bukan karya utama, karena memang tidak ada di katalog. Walau demikian saya merasa patung-patungnya juga menarik, dibuat dari bahan sederhana seperti kawat, kayu, dan tanah liat (saya curiga barang bekas atau sisaan) yang diulik sehingga mewujud jadi bentuk-bentuk. Manusia, seekor babi, kapal. Hasilnya adalah karya-karya yang polos – hampir seperti buatan anak-anak – tetapi jadi menarik justru karena tanpa pretensi untuk terlihat indah.

Menjajaki lukisannya, kesan polos pun tetap hadir. Sid tampaknya tidak peduli dengan gaya melukis, genre, teknik, atau kegenitan semacam itu. Penggarapan lukisan dibiarkan berbeda-beda sementara temanya beragam dan acak. Melihat tahun pembuatan, sepertinya keberagaman ini bukan suatu evolusi layaknya sebagian pelukis dan ilustrator yang berubah gaya seiring waktu.

Walau sepintas tampak acak, beberapa benang merah karakteristik masih bisa tertangkap mata. Ada ‘kategori’, jika saya boleh bilang, yang batasnya tidak terlalu jelas, tetapi cukup dapat dikenali. Kategori pertama adalah portrait dan perempuan – lukisan pada kategori ini punya komposisi yang serupa, namun penggarapannya berbeda satu sama lain. Sebagian dilukis dengan detail wajah dan ekspresi yang jelas, seperti pada “Mantan Pedagang Jamu” dan “Single Fighter”. Sebagian lainnya digambarkan dengan wajah buram (“Eksploitasi”, “Mandi Kucing”) bahkan sengaja dicoreng (“Menstruasi”), ada juga yang keseluruhan objeknya dilukis secara buram (“Sugeng Rawuh”, “Gadis Banyumulek”). Kesamaan potrait-portrait ini adalah penggarapan ruang di sekitar objek utama yang dibiarkan hampir tanpa ornamen ataupun latar belakang. Alih-alih, pengkarya mengisinya dengan goresan dan sapuan warna yang terasa menguatkan alam perasaan sang objek utama. Ambil contoh “Single Fighter” dengan garis-garis bersilangan dan nuansa gelap di atas kepala yang tampak menekan si perempuan. Atau “Menstruasi” yang dicorengi goresan-goresan putih tegas – kontras dengan objek yang buram, tajam seperti rasa sakit. Lalu “Mantan Pedagang Jamu” yang dilingkungi warna putih bertekstur – wajahnya dilukis dengan detail lalu disaput kabut putih lembut, seperti kenangan lama yang manis tetapi perlahan menghilang.

Benang merah pada kategori kedua, jika saya boleh menamainya, adalah citra yang bercerita. Beberapa lukisan berbicara melalui bayangan-bayangan kabur seolah kita memandang menembus kabut tebal (atau mata yang susah fokus akibat terlalu mabuk?). Sebutlah “Badut Menangis”, “Anak Panah Menghujam”, “Makan Malam”, “Pesta Nasi Kucing”, dan “Pagi di Pasar Karang Jasi” – pada lukisan-lukisan ini warna dan goresan cat digunakan untuk membentuk sekadar impresi atau citra objek-objek. Lukisan “Pesta Nasi Kucing”, misalnya, menampakkan citra orang-orang di suatu warung – pilihan warnanya dominan gradasi merah dan coklat, memancarkan kehangatan. “Badut Menangis” adalah favorit saya pada kategori ini, dengan bulatan merah menyolok di pusat kanvas dikelilingi berbagai warna yang di-smudge* seolah makeup luntur. Lalu ada “Nocturnal” yang terdiri dari goresan-goresan pendek putih di atas sepotong kain (ya, kain) berwarna biru gelap yang distaples (ya, distaples), membentuk siluet seekor hewan.

Perlu saya ingatkan kembali bahwa kedua ‘kategori’ yang disebutkan tadi tidak berbatas secara tegas; lagipula ini seni, bukan ilmu pasti yang serba perlu presisi. Pada lukisan tertentu keduanya membaur, misalnya “Eksploitasi” yang bidang kanannya diisi impresi manusia dengan goresan merah berombak memantik rasa tidak nyaman. Begitu pula “Merangkai Angka”: komposisi portrait dengan wajah yang cukup jelas tergarap, tetapi sisanya mengabur dalam kabut warna-warna.

Tidak ada benang merah adalah benang merah dari kategori terakhir. Ini mencakup beberapa lukisan dengan gaya yang sangat beragam, seolah pengkarya sedang bereksplorasi mencoba-coba berbagai teknik. “Gayeng”, “Merangkai Angka”, “Monster Lobster”, dan “Inspirasi di Pagi Hari” merepresentasikan kategori ini. Coba sandingkan keempat lukisan tersebut, akan tampak jelas betapa bineka cara penggarapannya. “Gayeng” didominasi garis-garis keriting hitam. “Merangkai Angka” jelas terinspirasi dari Starry Night karya Van Gogh, sementara “Monster Lobster” tampaknya menyerap gaya ekspresionis Affandi. “Inspirasi di Pagi Hari”, dalam kesan saya, adalah lukisan paling polos dengan layering** warna yang mentah seperti lukisan anak-anak.

Jika saya harus menyimpulkan keseluruhan pameran ini dalam satu kata, maka kata yang saya pilih adalah straightforward atau blak-blakan. Seperti juga karya-karyanya yang lain, Sid tidak berusaha bergenit-genit memperindah sesuatu atau memperumit makna dengan simbolisasi yang dicari-cari: apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu dapatkan. Jujur, bahkan sedikit vulgar.

Jika diartikan secara harfiah, tajuk “Sisa-sisa yang Tersisa” mungkin berasal dari penggunaan barang bekas dan bahan sisa untuk berkarya – sebuah kreativitas yang muncul dari keterbatasan si pengkarya. Namun bagi saya tajuk ini juga punya arti simbolis karena karya-karya Sid merupakan catatan momen, gagasan, dan persona yang pernah ia alami. Ketika mereka tidak kembali, yang tersisa adalah ingatan – dan lukisan.

Kata Sid pada kami, “Silakan dinikmati sebelum dibakar.” Dia berniat membakar sebagian karya agar abunya dapat bereinkarnasi menjadi lukisan lain. Awalnya kaget dan heran, tetapi lalu saya berpikir: mungkin sebagaimana kenangan, beberapa karya perlu direlakan berlalu, untuk kemudian memberi ruang bagi awal yang baru.  (Kandi Sekarwulan)

Naked, adj.

  1. (untuk orang atau tubuh) tanpa pakaian, telanjang.
  2. (untuk perasaan, perilaku) tanpa tedeng aling-aling, blak-blakan. Contoh: “the naked truth”

*Smudge = sebuah teknik dalam menggambar; menggosok pulasan cat, krayon, atau pensil ke satu arah dengan kuas kering atau tangan sehingga muncul efek gradasi

**Layering = cara melukis dengan cat minyak yaitu membubuhkan cat selapis demi selapis hingga tercapai efek yang diharapkan.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI