Merasa dikriminalisasi, perempuan ASN Pemprov NTB kirim surat terbuka ke Presiden RI 

Sidang perkara tuduhan memberikan keterangan palsu di atas sumpah berdasarkan Pasal 242 KUHP dengan agenda pembuktian dari JPU, Kamis (16/11). Terdakwa pada perkara ini yakni Satriawati, ASN di lingkup Pemprov NTB asal Lombok Barat.
Sidang perkara tuduhan memberikan keterangan palsu di atas sumpah berdasarkan Pasal 242 KUHP dengan agenda pembuktian dari JPU, Kamis (16/11). Terdakwa pada perkara ini yakni Satriawati, ASN di lingkup Pemprov NTB asal Lombok Barat.

kicknews.today – Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) asal Lombok Barat, Satriawati mengirim surat terbuka pada Presiden, Ketua Mahkamah Agung, Kepala Kejaksaan Agung dan Kapolri, Minggu (19/11/2023). Perempuan yang bekerja sebagai ASN di lingkup Pemprov NTB ini mengadukan karena merasa dikriminalisasi oleh penegakan hukum di NTB.

Melalui surat terbuka tersebut, Satriawati berharap mendapat keadilan hukum. Pada sidang Kamis (16/11/2023), ia dituntut 1,6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum pada perkara tuduhan memberikan keterangan palsu di atas sumpah berdasarkan Pasal 242 KUHP.

Satriawati menganggap tuntutan pada perkara itu sungguh sangat menyayat hati. Sebab, hal tersebut tidak pernah ia lakukan seperti yang dilaporkan. Dia berharap, perkara ini bisa disikapi Presiden Joko Widodo dan Kapolri. Berikut isi surat terbuka, Satriawati.

Kepada YTH:

Bapak Presiden RI

Bapak Ketua Mahkamah Agung RI

Bapak Kepala Kejaksaan Agung RI

Bapak Kepala Kepolisian RI

Bismillahirrahmannirrahim

AssalamuaalaikumWarrahmatullahiWabarakatuh

Saya Satriawati, Perempuan 39 Tahun, ASN, WNI, Suku Sasak, tinggal di Lombok Barat. Saya dihadapkan di pengadilan atas perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. Rasanya menyakitkan, dan semakin menambah kekecewaan terhadap penegak hukum. Sedari awal di Kepolisian (Polres Lombok Barat), saya sudah panjang lebar menjelaskan. Fakta sudah diuraikan, bukti pun sudah diterangkan. Kami juga telah dipertemukan dengan pelapor, tidak ada kejahatan yang saya lakukan, justru pelapor tidak mampu membuktikan, dan memutar balikan fakta. Apalah daya, Polisi dan Jaksa bersikukuh menaikan kasus hingga saya harus duduk di depan hakim. Saya didakwa melakukan sumpah palsu dan memberikan keterangan palsu terhadap sertifikat tanah yang saya ubah di BPN Lombok Barat. Bule Jerman yang melaporkan, menyatakan saya telah membuat perikatan perjanjian jual beli (PPJB) atas tanah itu.

Saya kembali menyatakan dengan tegas, bahwa saya tidak pernah melakukan kejahatan yang dituduhkan. Jaksa pun tidak menunjukan bukti yang terang terhadap perbuatan yang dituduhkan. Saya mencoba bertahan, berharap pada upaya eksepsi terhadap dakwaan. Walau ditolak oleh hakim. Saya harus terus berjuang pada proses selanjutnya, pembuktian. Tidak ada fakta yang jelas bahwa saya pelakunya, sidang seperti akrobat.

Saya kembali kecewa, bertubi-tubi, setelah merasakan hakim PN Mataram cenderung menyudutkan saya, dengan kalimat yang menambah sakit, “kamu berbohong”, ditambahkan ceramah yang seolah-olah saya menyembunyikan sesuatu dan mengarahkan sayalah pelakunya. Ini tidak adil. Saya pun tersudut, takut, saya tidak akan mendapatkan keadilan. Saya berharap pada keberpihakan tuhan, alam semesta untuk menggerakkan hati dan pikiran manusia. Saya tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan untuk saya, keadilan untuk Perempuan yang tertindas oleh hukum.

Kamis (16/11/2023) Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan selama 1,6 tahun, atas perbuatan yang tidak saya lakukan itu. Luka saya semakin dalam, teringat kembali almarhum suami dan anak kami. Sungguh tega, pelapor dan penegak hukum mengirim saya ke dalam permainan yang tidak saya pahami, berkali-kali. Dan miris, penegak hukum seolah memihak pada warga negara lain ketimbang saya WNI, orang Lombok, suku Sasak. 

Sebelum proses hukum itu, saya adalah pemilik sebidang tanah dengan luas 642 m2 (± 6,5 are) yang berlokasi di Sekotong barat desa batu leong. saya membeli tanah tersebut dengan almarhum suami pada tahun 2007 dan semenjak saya beli sampe sekarang tanah tersebut saya masih kuasai dan penjaga saya dari tahun 2007 sampe sekarang ini masih tetap tinggal di tanah saya.

Pada tanggal 25 maret 2012 suami saya meninggal dan sehari setelah meninggal suami saya kata penjaga rumah saya yang berlokasi di Batu Layar, mantan supir suami saya datang bersama sama dengan temannya yang berwarga negara asing yang bernama Norbert Koch dan langsung memasuki rumah saya dengan menggunakan kunci palsu atau duplikat. penjaga rumah saya langsung telpon saya dan setelah saya datang di rumah, saya cek isi dalam rumah saya ternyata barang berharga dan dokumen saya hilang,termasuk sertifikat tanah saya yang di sekotong.

Akhirnya pada tahun 2014 saya putuskan untuk membuat sertifikat baru. Setelah 4 tahun kemudian tiba-tiba saya dapat panggilan bulan Mei 2018 dari kepolisian Polda NTB bahwa ada yang mengaku telah membeli tanah saya dengan cara membuat perikatan perjanjian jual beli  melalui notaris pada tahun 2010 dan setelah saya baca isi PPJB tersebut KTP yang dia pakai adalah KTP yang berbeda dengan KTP saya, Nomor KTP dan bulan lahir saya berbeda dan yang aneh lagi katanya di PPJB tersebut pembayaran sudah lunas tanpa ada kwitansi dan telah dibayar sebelum saya tanda tangan PPJB tersebut, yang aneh lagi pembayaran dilakukan untuk dirinya sendiri sehingga pihak kepolisian bertanya kepada saya tentang kebenaran tanda tangan di PPJB tersebut tapi saya telah menolak karena saya tidak pernah menandatangani PPJB tersebut sehingga pihak kepolisian juga menghentikan masalah tersebut. Anehnya fakta inilah yang digunakan oleh Jaksa, dan tidak mampu dibuktikan KTP yang digunakan dalam PPJB.

Pada bulan November tahun 2018 dan 2019 muncul lagi surat panggilan melalui Polres Lombok Barat saya menjadi tersangka telah melakukan sumpah palsu atau keterangan palsu di bawah sumpah di BPN Lombok Barat. Hal itu dituduh karena saya membuat sertifikat baru, padahal saya tidak pernah menjual tanah saya.

Pihak kepolisian melihat isi PPJB tersebut banyak yang aneh akhirnya saya juga dipertemukan oleh pihak pelapor dan pihak pelapor mengatakan dengan jujur tidak pernah menguasai tanah dan tidak memiliki kwitansi karena tidak pernah membayar. Walaupun begitu pelapor mengatakan kalau tidak ada solusi dia mengancam saya akan di penjara. Saya bersikukuh tidak akan memberikan tanah saya kepada pelapor, saya pun di tahan dan sertifikat tanah disita oleh polisi.

Setelah beberapa hari kemudian dan ketika saya di tahan saya di suruh pake baju tahanan dan di foto depan belakang kiri kanan dan di suruh buka lagi.

Sekarang kasus saya sudah di pengadilan dan di tuntut 1 tahun 6 bulan penjara karena saya tidak mau mengikuti kemauan pelapor yakni membayar 200 juta, memberikan sertifikat tanah dan tanda tangan akta jual beli. Saya memilih masuk penjara dari pada saya menyerahkan tanah saya yang tidak pernah saya jual ke siapapun dan tidak pernah menerima pembayaran tanah saya dari siapapun.

Atas kejadian yang menimpa diri saya, semoga bisa menjadi pelajaran terhadap seluruh masyarakat di indonesia ini bahwa ternyata bagi orang kecil seperti saya ini tidak mudah untuk mendapatkan keadilan. Sekian atas perhatiannya saya haturkan terima kasih. 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI