Alam Kundam, musisi lokal yang menyalakan semangat budaya Lombok Utara lewat lagu

Alam Kundam, Musisi Lokal dari Lombok Utara. (kicknews.today/Ist)

kicknews.today – Nama Alam Kundam mungkin belum sefamiliar para musisi nasional. Namun, bagi masyarakat Lombok Utara, khususnya di Dusun Luk, Kecamatan Gangga, ia adalah sosok yang konsisten menjaga semangat budaya sekaligus menyuarakan realitas sosial lewat musik.

 

Lewat lagu berbahasa lokal seperti “Piran Pe Ulek”, Alam menghadirkan potret kehidupan yang jujur dan menyentuh. Lagu ini atau dalam judul aslinya “Kunganti Epe Bae” merupakan salah satu karya fenomenalnya. Diciptakan pada 2008 dan digubah ulang di Lokok Piko pada 2010, lagu tersebut mengisahkan cinta yang kandas karena merantau, namun sang kekasih tak pernah kembali.

 

Lirik dan melodinya begitu dekat dengan kehidupan masyarakat Lombok Utara, di mana banyak warganya menjadi tenaga kerja di luar daerah hingga luar negeri.

 

Alam mulai menulis lagu sejak tahun 2000, meski telah menekuni dunia musik sejak era 1990-an. “Dulu saya lebih suka bikin lagu berbahasa Inggris. Tapi sekarang saya sadar pentingnya merawat bahasa ibu, yakni bahasa KLU,” ujarnya.

 

Baginya, mempertahankan bahasa daerah Dialek Petung Bayan, keto-kete adalah bagian dari identitas. Ia bahkan pernah menolak tawaran label musik yang ingin membeli lagunya dengan syarat mengubah lirik ke bahasa Sasak Teben.

 

“Bahasa KLU itu unik. Kita harus bangga dengan bahasa sendiri. Banyak orang suka lagu luar negeri yang tak mereka mengerti, kenapa kita malah meninggalkan bahasa kita sendiri?” tegas pria yang pernah menjadi kameramen SCTV itu.

 

Selain “Piran Pe Ulek”, Alam telah menciptakan lebih dari sepuluh lagu lain seperti “Berugak Ijo”, “Penyayang Ate”, “Mele Memulang”, “Inaq”, “Basang Kami”, “Spinate”, dan “Ba Mula Kuto”. Ia juga menulis dua lagu rap berbahasa KLU yang berisi kritik sosial tajam: “Balik Jungkeng” dan “Buduh Laguk Gelah”.

 

Karyanya lahir dari pengalaman pribadi, kisah nyata orang di sekitarnya, serta keterlibatannya di organisasi sosial. Musisi legendaris seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, dan Franky Sahilatua menjadi sumber inspirasinya.

 

“Saya memang lebih senang membuat lagu yang punya pesan. Lagu yang bisa jadi pengingat dan penggugah,” katanya.

 

Meski terbuka dengan perkembangan musik dan genre, Alam lebih memilih memadukan unsur etnik dan modern. Baginya, menciptakan lagu bukan soal komersialisasi, melainkan kepuasan batin saat pesan dalam lagunya sampai dan dirasakan pendengar.

 

“Saya buat lagu bukan untuk cari uang. Tapi saya senang kalau lagu-lagu saya bisa dinikmati, membuat orang merasa terwakili, atau sekadar mengingat masa lalu mereka,” tuturnya sambil tersenyum.

 

Bagi Alam Kundam, musik bukan sekadar hiburan, melainkan cermin masyarakat sekaligus jembatan yang menyatukan bahasa, budaya, dan cerita kehidupan.

 

“Berkarya untuk dedikasi, cinta, dan kepuasan jiwa. Saya ada kepuasan batin ketika lagu-lagu saya disukai,” tutupnya. (gii)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI