kicknews.today – Saya cuma mikir… gimana kalau itu adik saya sendiri,” ucap Agam pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh kenangan, tapi kalimat itu cukup untuk menggambarkan seluruh motivasinya: sebuah misi kemanusiaan yang tidak digerakkan oleh seragam, pangkat, atau bayaran melainkan oleh rasa.
Abdul Haris Agam namanya. dia bukan siapa-siapa di mata dunia. Ia tak pernah berniat terkenal. Lelaki asal Makassar ini datang ke Rinjani tahun 2015, hanya untuk mengantar temannya mendaki. Tapi begitu kembali ke Bali, ia merasa tidak tenang. Hanya dalam tiga hari, ia memutuskan kembali ke Lombok. Tanpa rencana, tanpa bekal cukup. “Saya balik ke Lombok cuma bawa uang 10 ribu rupiah,” kenangnya. Sejak itu, Agam tinggal di kaki Rinjani, gunung yang ia sebut sebagai rumah, sekolah dan guru alam.

Namanya mencuat ke permukaan publik saat satu tragedi terjadi: Juliana Marins, seorang pendaki asal Brasil, tergelincir dan hilang di jalur menuju puncak Rinjani. Video drone yang memperlihatkan tubuh Juliana di antara tebing membuat kasus ini viral, tak hanya di Indonesia, tapi juga di negara asalnya, Brasil. Di saat itulah, Agam yang tengah berada di Jakarta langsung gelisah. “Saya lihat unggahan drone. Awalnya saya kira masih hidup. Tapi malamnya kabar simpang siur. Saya tanya SAR: belum ketemu. Akhirnya saya bilang ke tim (Bang Tiyo): ayo kita pulang, kita naik,” ceritanya.
Agam kembali ke Lombok tanpa banyak persiapan. Semua barangnya tertinggal. Ia naik pesawat hanya dengan baju di badan dan alat rescue di tangan. Tak sempat istirahat, ia langsung koordinasi dan mendaki lewat jalur Torean. Medan yang curam, licin, dan hujan tak menyurutkan langkahnya. Di titik itulah ia melihat langsung jenazah Juliana, tergeletak diam namun utuh. “Wajahnya tenang. Kami bungkus pakai kantong jenazah. Kami angkat pelan-pelan. Saya cuma mikir: jangan sampai tubuhnya rusak. Jangan jatuh lebih dalam,” ucapnya.
Evakuasi berlangsung perlahan dan nyaris tanpa suara. Tangis baru pecah saat tubuh Juliana sampai ke atas. Bukan karena kelelahan, tapi karena lega: seorang manusia yang hilang di gunung akhirnya bisa pulang. Bagi Agam, itu bukan sekadar evakuasi. Itu adalah misi kemanusiaan dan sekaligus martabat bangsa. “Kalau kita gagal evakuasi, negara ini bisa dicela. Di mana tim rescuenya? Di mana kita sebagai manusia?”
Agam tak pernah sendirian. Ia bergerak bersama tim SAR gabungan dan relawan-relawan lain yang datang bukan karena disuruh, tapi karena panggilan jiwa. Kalimat dari Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal, menjadi bahan bakar moral bagi mereka semua: “Apapun caranya, korban harus ditemukan.” Kalimat itu, kata Agam, membakar semangat tim di medan yang ekstrem.
Hari ini Agam kembali ke kesunyiannya di lereng Rinjani. Ia bukan pencari panggung. Tapi panggung dunia justru datang padanya. Namanya disebut-sebut dalam berbagai media, tak hanya sebagai relawan, tapi sebagai manusia yang menjaga kemanusiaan. Di pundaknya, Merah Putih berkibar tanpa sorak sorai. Di langkahnya, nilai-nilai kemanusiaan berjalan tenang.
Di Rinjani, Agam menemukan rumah. Gunung ini bukan sekadar lanskap. Ia adalah semesta kecil yang merangkul. “Rinjani itu lengkap,” ucap Agam suatu kali. “Gunung-gunung lain juga bagus, tapi Rinjani beda. Kalau di Jawa ada pasir vulkanik, Rinjani juga ada. Ada juga pemandian air panas. Kalau mau hutan tropis seperti di Sulawesi, Rinjani juga punya. Spot-spot mirip Toraja juga ada.”
Dari lereng itulah, Agam menjelma cermin: bahwa keberanian bisa lahir dari kesederhanaan, dan cinta bisa tumbuh dari tempat paling sunyi di atap dunia. Rinjani… (red.)