kicknews.today – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terus menggaungkan pelestarian budaya lokal sekaligus memperkuat sektor ekonomi kreatif melalui pelatihan Tenun dan Desain Munapa’a di Desa Ranggo, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTB, Ny. Sinta Agathia M. Iqbal, mengapresiasi semangat para penenun di Desa Ranggo. Ia menilai, tenun Munapa’a memiliki potensi besar sebagai sumber ekonomi masyarakat.

”Munapa’a bukan sekadar wastra, tetapi juga warisan yang hidup dan menghidupi. Jika dikelola dengan baik, tenun ini bisa menjadi identitas NTB di tingkat nasional dan internasional,” ujar Sinta saat membuka pelatihan, sekaligus mengunjungi Galeri Munapa’a.
Di galeri tersebut, Sinta terkesan dengan ragam motif dan kualitas tenun Munapa’a, seperti motif Pa’a Polos, Zigzag, Cori Waji, hingga Rumah Adat yang masing-masing menyimpan nilai estetika dan filosofi mendalam.
Pelatihan ini membekali para penenun dengan pengetahuan teknis dan teoritis, mulai dari pengembangan desain produk, teknik pewarnaan alami, hingga eksplorasi motif geografis yang mencerminkan unsur alam dan budaya lokal. Peserta juga didorong untuk mengadaptasi motif baru sesuai tren pasar.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian NTB, Hj. Nuryanti, SE., ME., yang turut mendampingi kegiatan tersebut, menegaskan pentingnya memasukkan warisan budaya dalam strategi pembangunan ekonomi daerah.
“Tenun adalah bahasa budaya yang jika dipadukan dengan inovasi industri, bisa menjadi bahasa ekonomi masa depan. Lewat pelatihan ini, kita tidak hanya menjaga identitas, tapi juga mengangkatnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Tenun Munapa’a, yang berarti “berbentuk pahat” dalam bahasa lokal, memiliki ciri khas unik berupa efek timbul menyerupai ukiran. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Umi Hajrah pada 1987 dan kini telah menjadi tradisi di hampir setiap rumah tangga di Desa Ranggo.
Dari sisi pasar, motif Munapa’a kian diminati. Beberapa yang paling populer antara lain Dumu Kakando, Wijik Susun, dan Wunta Taride, dengan harga berkisar Rp450.000–Rp650.000 per lembar, tergantung tingkat kesulitan dan teknik pewarnaannya.
Nuryanti menambahkan, pelestarian budaya harus diarahkan sebagai langkah inovatif, bukan semata romantisme masa lalu. Sinergi antara Dekranasda dan Dinas Perindustrian NTB menjadi bukti bahwa pelestarian budaya dapat bersifat dinamis dan produktif.
Kehadiran langsung Ketua Dekranasda NTB dan Kadisperin NTB dinilai sebagai bentuk dukungan nyata terhadap pelaku industri wastra lokal. Upaya ini diharapkan dapat menjadikan Munapa’a sebagai kebanggaan kolektif NTB yang mampu menjangkau pasar global. (wii-bii)