kicknews.today – Pengurangan alokasi pupuk bersubsidi jenis urea di Kabupaten Lombok Utara (KLU) tahun ini memicu kekhawatiran petani. Pasalnya, ketersediaan pupuk merupakan faktor krusial bagi keberhasilan musim tanam. Dengan realokasi pupuk urea oleh pemerintah pusat, nasib ribuan petani di wilayah ini pun kini berada dalam ketidakpastian.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) KLU, Tresnahadi, mengungkapkan bahwa alokasi pupuk urea tahun ini turun dari 8.005 ton menjadi 7.853 ton. Penurunan tersebut terjadi akibat realokasi ke kabupaten lain yang dianggap lebih membutuhkan, meski KLU sebelumnya telah mengusulkan kebutuhan pupuk sebanyak 10.000 ton.

“Pengurangan ini keputusan dari pusat. Kita hanya menerima dan menyesuaikan. Memang kami usulkan lebih, tapi yang disetujui jauh di bawah itu, dan kemudian malah direalokasi lagi,” terang Tresnahadi, Senin (26/05/2025).
Meski saat ini stok dianggap masih aman dan belum ada keluhan signifikan, Tresnahadi tidak menampik bahwa jika kebutuhan mendesak meningkat, kekurangan pupuk bisa menjadi masalah serius bagi petani.
Sementara itu, alokasi pupuk jenis lain seperti NPK dan NPK formula khusus justru mengalami kenaikan. Alokasi NPK naik dari 6.012 ton menjadi 6.065 ton, dan NPK formula khusus dari 1.233 ton menjadi 1.342 ton. Pupuk organik tetap pada angka 24 ton, sama seperti tahun sebelumnya.
Namun, bagi banyak petani, pupuk urea tetap menjadi kebutuhan utama. Penurunan kuota ini membuat mereka khawatir terhadap produktivitas hasil panen, terutama di tengah tantangan perubahan iklim dan harga komoditas yang fluktuatif.
Sebagai langkah mitigasi, pemerintah daerah mengimbau petani untuk tidak terlalu bergantung pada urea dan mulai memanfaatkan pupuk non-subsidi maupun pupuk organik.
“Pupuk organik bisa menjadi alternatif. Selain itu, stok pupuk non-subsidi di pasaran juga mencukupi. Tapi tentu saja ini kembali pada kemampuan beli petani,” ujar Tresnahadi.
Kondisi ini menyoroti tantangan klasik di sektor pertanian: keterbatasan subsidi, ketergantungan pada input tertentu, dan minimnya akses petani terhadap solusi berkelanjutan. Jika tidak ditangani dengan serius, produktivitas pertanian di KLU bisa terdampak dan kesejahteraan petani pun terancam. (gii-bii)