Sudah punya asuransi swasta, masihkah wajib ikut BPJS kesehatan?

Oleh: dr. Eurika Winata, M.Ak.

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan manusia karena dengan memiliki badan dan pikiran yang sehat, manusia bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan produktif. Menurut UUD 1945 Pasal 28H, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Setiap orang tentu ingin sehat, tetapi tidak ada yang bisa tahu dan memprediksi kapan penyakit akan datang. Ketika penyakit datang, maka kita membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tentunya harus dibayar dengan uang. Ketika biaya pengobatannya murah dan mudah dijangkau, tentu tidak menjadi masalah, tetapi apabila biaya pengobatannya sangat mahal, maka hal ini menjadi masalah besar.

Program asuransi atau jaminan kesehatan adalah program yang bertujuan baik karena tujuan dari kedua program tersebut adalah untuk memastikan masyarakat dapat mencapai taraf kesehatan yang baik. Selain itu, dari segi perencanaan keuangan, proteksi kesehatan masuk dalam bagian keamanan keuangan yang menjadi prioritas dalam perencanaan keuangan. Dengan mengikuti program asuransi atau jaminan kesehatan, masyarakat dapat terhindar dari pengeluaran tidak terduga ketika mengalami penyakit. Tidak dapat dipungkiri, biaya berobat ke dokter atau rumah sakit, terlebih jika opname atau operasi, makin hari makin meningkat di mana peningkatan biaya ini sering melebihi taraf inflasi sehingga alangkah baiknya masyarakat melakukan perencanaan keuangan dengan menyisihkan pendapatan untuk membayar premi jaminan kesehatan agar dapat terhindar dari ketidakmampuan membayar perawatan medis ketika mengalami penyakit.

Baik BPJS Kesehatan maupun asuransi kesehatan swasta memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga keputusan untuk memiliki asuransi yang mana bergantung pada kebutuhan dan situasi keuangan pemegang polis. BPJS Kesehatan memiliki kelebihan yaitu premi yang relatif murah dan terjangkau, jaringan luas di seluruh Indonesia, dan menanggung perawatan dasar termasuk rawat jalan yang tanpa disertai rawat inap, serta tidak memiliki masa tunggu untuk semua jenis penyakit. Tetapi, BPJS Kesehatan memiliki kekurangan seperti antrean yang panjang, fasilitas terbatas, dan tidak menanggung semua jenis perawatan kesehatan. Di sisi lain, asuransi kesehatan swasta memiliki kelebihan antrean yang biasanya lebih pendek di rumah sakit, fasilitas lengkap di mana rumah sakit dan klinik swasta biasanya memiliki fasilitas yang lebih bersih dan modern, jangkauan lebih luas yang dapat menjangkau hingga luar negeri, dan menanggung lebih banyak jenis perawatan kesehatan sehingga biasanya memberikan layanan lebih prima kepada pemegang polisnya. Kekurangan asuransi swasta adalah biasanya memiliki premi yang lebih mahal dibanding BPJS, walaupun saat ini juga beberapa asuransi swasta memiliki program dengan premi murah hampir setara dengan BPJS, dan untuk beberapa penyakit kronis, asuransi swasta memiliki masa tunggu.

Pada dasarnya, aturan mewajibkan setiap warga negara untuk memiliki BPJS. Kewajiban masyarakat Indonesia untuk mempunyai BPJS Kesehatan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 yang kemudian diubah pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2024. Dalam kedua peraturan itu disebutkan bahwa masyarakat Indonesia wajib mempunyai BPJS Kesehatan. “Setiap penduduk Indonesia wajib ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan,” demikian bunyi Pasal 6 ayat 1, Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Dalam ayat selanjutnya dijelaskan, keikutsertaan itu dilakukan dengan cara mendaftar atau didaftarkan pada BPJS Kesehatan. Kemudian pada saat mendaftar atau didaftarkan pada BPJS Kesehatan, calon peserta berhak menentukan FKTP yang diinginkannya.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejak 1 Maret 2022, ada aturan baru yang mensyaratkan masyarakat wajib memiliki BPJS untuk menjual atau membeli tanah. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa bakal ada kementerian atau lembaga lain yang juga akan menerapkan syarat tersebut. Hal ini oleh masyarakat yang tidak menjadi peserta BPJS dinilai tidak relevan dan menyulitkan masyarakat. Selama ini, banyak masyarakat yang tidak memiliki BPJS dikarenakan mereka sudah memiliki asuransi kesehatan swasta. Mengingat asuransi tidak bisa double claim ketika sakit, maka akan mubazir untuk memiliki keikutsertaan pada lebih dari satu asuransi misalnya asuransi swasta dan BPJS karena harus membayar double premi, yaitu pada asuransi swasta dan BPJS. Dengan adanya aturan baru itu, maka akhirnya masyarakat dipaksa untuk membayar premi BPJS tanpa dimanfaatkan hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan agar bisa memenuhi persyaratan administratif dalam kegiatan tertentu seperti jual beli tanah.

Banyak alasan mengapa beberapa orang lebih memilih asuransi swasta daripada BPJS. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena BPJS memiliki prosedur sendiri di mana pengobatan harus berjenjang dimulai dari faskes tingkat 1, sedangkan untuk asuransi swasta pasien bisa berobat langsung ke RS tanpa ada rujukan. Selain itu, obat-obatan yang digunakan dalam BPJS Kesehatan berbeda dengan asuransi swasta. Juga, dengan menggunakan asuransi swasta, bisa terhindar dari antrean tindakan yang sering panjang untuk peserta program BPJS. Selain itu, ada beberapa masyarakat yang menginginkan asuransi yang jangkauannya bisa digunakan hingga ke luar negeri sehingga mereka memilih asuransi swasta.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial disebutkan bahwa SJSN diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. SJSN diselenggarakan berdasarkan prinsip kegotong-royongan dan sifat kepesertaan yang bersifat wajib. Jaminan kesehatan ini diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip ekuitas. Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di RS diberikan kelas standar.

Walaupun demikian, peserta dapat meningkatkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari haknya termasuk rawat jalan eksekutif dan kenaikan kelas ini hanya dapat dilakukan satu tingkat lebih tinggi dari kelas yang menjadi hak peserta. Untuk kenaikan kelas pelayanan rawat inap di atas kelas 1, harus membayar selisih biaya paling banyak sebesar 75% dari tarif INA-CBG. Untuk rawat jalan eksekutif peserta membayar Rp 400.000 untuk setiap episode rawat jalan. Selisih biaya adalah tambahan biaya yang dibayar peserta pada saat memperoleh manfaat kesehatan yang lebih tinggi dari haknya. Selisih biaya ini dapat dibayarkan oleh peserta, pemberi kerja, atau Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) yang merupakan asuransi komersial atau asuransi swasta. Jadi, peserta dapat menggunakan SJSN berbarengan dengan AKT untuk membayar selisih biaya yang timbul saat rawat inap. Sebenarnya penggunaan AKT saja sudah cukup untuk membayar biaya rawat inap selama plafon tercukupi, tetapi dengan mengombinasikan AKT dengan BPJS maka plafon dalam AKT bisa digunakan lebih hemat. Namun, mengingat plafon AKT umumnya besar maka dobel kepesertaan dengan SJSN ini semata-mata dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban hukum sebagai warga negara walaupun dengan konsekuensi beban iuran kepesertaan yang dibayar akan double pula dan menimbulkan opportunity cost mengingat pada dasarnya tujuan kepesertaan kedua program ini sama yaitu untuk melindungi aset ketika mengalami penyakit. Menurut penulis, sebaiknya pemerintah perlu melakukan revisi UU SJSN dengan melihat perkembangan saat ini dan perlu adanya harmonisasi pengaturan asuransi sosial dan asuransi komersial tambahan (AKT).

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

dr. Eurika Winata, M.Ak.

Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya dan dokter praktek pribadi di Kota Surabaya

Artikel Terkait

OPINI