Sanusi, penjual pakaian bekas di Karang Sukun: Saya berhenti maling karena usaha ini

kicknews.today –  Pedagang pakaian bekas atau thrifting di Pasar Karang Sukun Kota Mataram menolak tutup. Bahkan salah satu pedagang di tempat tersebut mengatakan dirinya akan kembali jadi maling jika usahanya ditutup pemerintah.

Sanusi 34 tahun asal Kota Mataram, seorang penjual pakaian bekas impor mengaku tidak setuju dengan penutupan penjualan pakaian bekas. Menurutnya usaha berjualan pakaian bekas impor bermerek yang diambil dari Kota Surabaya dan Bali itu menjadi salah satu tumpuan mata pencaharian sehari-harinya.

“Mata pencaharian kita ya ini, terus kalau bakal ditutup lalu bagaimana nasib kita ini. Saya dulu jadi maling, kemudian setelah mendapatkan berjualan ini saya taubat bang. Apa kita harus balik lagi jadi maling?,” keluh Sanusi di tempat jualannya saat ditemui, Kamis (6/4).

Dia mengakui, sejak pemusnahan barang impor di Jawa dan beberapa daerah, omset di Karang Sukun menurun. Sebelum diincar polisi lantaran bertentangan dengan peraturan menteri perdagangan pasal 1 Permendag nomor 40 tahun 2022 tentang perubahan atas permendag nomor 18 tahun 2021 tentang barang yang dilarang ekspor dan impor, pendapatan mereka lebih dari sejuta sehari.

“Sebelum dilarang, terus ada razia dan penangkapan barang impor, kita bisa tembus Rp1-3 juta sehari, apalagi tahun-tahun sebelumnya. Mungkin sekarang ini ada pihak yang merasa cemburu sosial,” akunya.

Warisan yang diberikan almarhumah neneknya dari berjualan barang bekas impor sejak 2008 itu diakuinya sebagai mata pencaharian satu-satunya. Ia mengaku jika ada perintah penutupan dari Menteri Perdagangan maka para pedagang akan protes.

“Gimana kami cari makan kalau dibatasi atau ditutup. Ini sudah kami jalani sudah puluhan tahun, ini kan menyangkut hajat orang banyak. Pakaian ini kan kami jual ke kalangan kelas bawah,” ujarnya.

Biasanya pembeli membeli pakaian impor bekas ini digunakan untuk berpakaian sehari-hari. Tak jarang kalangan pembeli pakaian bekas impor ini juga dibeli oleh kalangan pejabat di Kota Mataram.

“Ya kalau mau beli yang baru kan mereka tidak mampu. Banyak juga pejabat yang beli,” ungkapnya.

Sementara itu, Raknah 36 tahun asal Mataram yang juga pedagang thrifting di sebelah Ocit mengaku harus membayar ongkir per bal dari Bali sebesar Rp 60 ribu. Sementara, barang ongkir dari Jawa sebesar Rp100 ribu per bal.

“Harga per bal itu sesuai barang. Ada sampai Rp 3-5 juta,” akunya sambil melayani pembeli.

Menurut Raknah adanya penangkapan pedagang asal Mataram tersebut murni adalah persaingan harga. Bahkan beberapa tahun lalu, sempat diisukan pakaian mengandung virus dan sebagainya.

“Yang merusak ini kan yang berjualan live bal di media sosial. Ini kan persaingan harga saja. Kami juga jual sesuai kebutuhan dan uang warga,” katanya.

Sementara, harga 1 baju kemeja yang kebanyakan datang dari Jepang, Korea dan Thailand tersebut dibanderol mulai dari Rp 50-80 ribu. Biasanya harga pakaian juga dilihat dari merek pakaian yang ada dalam bal yang dipesan melalui Bali dan Surabaya.

“Untuk sewa lapak saja di sini kami bayar sejuta per bulan. Kalau ditutup mau makan apa kita kan,” pungkas Raknah. (ys)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI