Cerita Getir si “Anak Negara” Bayi ke-200 Juta

kicknews.today – Hari itu, Selasa, 4 Februari 1997, nama Lombok mendadak menjadi perbincangan. Media nasional ramai memberitakan kelahiran seorang bayi di Jerowaru, Lombok Timur. Desa yang saat itu masih tergolong kawasan tandus. Ia putra Ahmad Riyadi dan Rohana.

Berbulan-bulan pasangan itu dielu-elukan, menjadi buah bibir rakyat setanah air, lantaran memiliki bayi istimewa. Bayi yang dinobatkan sebagai “Anak Negara”. Bayi Indonesia ke-200 juta, bernama Wahyu Nusantara Aji. Nama yang diberikan langsung Pak Harto, penguasa orde baru. Secara harfiah, nama itu berarti anugerah berharga bagi Indonesia.

Momentum kelahiran Wahyu diapresiasi khusus PT Pos Indonesia dengan menerbitkan sampul (amplop) dan perangko spesial yang dibandrol Rp 700. Perangko bergambar Pak Harto bersama sang bayi Lombok bertema “Penduduk Indonesia ke-200 Juta”.

Dalam peluncurannya pada 24 Maret 1997, publikasi PT Pos Indonesia menyebutkan, lahirnya bayi ke-200 juta meneguhkan status Indonesia sebagai negara dengan penduduk paling banyak ke empat sedunia setelah Cina (1,2 milyar), India (900 Juta), dan Amerika Serikat (250 juta). Kelahiran penduduk Indonesia ke-200 juta ini merupakan peristiwa penting bagi bangsa Indonesia, bukan karena tercapainya angka tersebut, tapi karena keberhasilan menunda pencapaiannya untuk waktu sekian lama berkat suksesnya program Keluarga Berencana (KB).

Hebatnya, BUMN tersebut juga menyatakan Wahyu sebagai anak angkat, dan berjanji menjamin beasiswanya untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

Kepala negara memberikan sertifikat kelahiran khusus untuk Wahyu. Dari 8.778 bayi  se-Indonesia kelahiran 4 Februari 1997 yang dicatat Badan Koordinasi  Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), terseleksi 81 nominator. Wahyu akhirnya terpilih sebagai bayi yang paling memenuhi kriteria.

“Saya bermimpi bayi saya lahir langsung tertawa-tawa lucu. Tapi saya tidak menyangka Wahyu akan lahir tanggal 4 Februari. Sebab menurut bidan, anak saya baru akan lahir tanggal 13 Februari,” tutur Riyadi yang dikutip Suara Pembaruan pada 19 Februari 1997.

Istrinya menyambung, setelah mendengar pengumuman di radio pemerintah akan memilih bayi menjadi penduduk ke-200 juta, ia berdoa sepanjang malam. Ia berharap anaknya terpilih. “Doa saya terkabul, sebab pada pukul 10 pagi tanggal 4 Februari saya melahirkan,” kata Rohana.

Esoknya ia mendapat kabar anaknya terpilih, berikut nama yang diberikan Presiden RI.

Wahyu benar-benar anak istimewa. Acara ngurisang (cukur rambut, bahasa Sasak) yang digelar ketika usianya baru dua minggu, dilangsungkan di pendopo Bupati Lombok Timur. Tak tanggung-tanggung. Acara itu dihadiri Gubernur NTB H Warsito, dan tiga menteri masing-masing Menko Kesra Azwar Anas, Meneg

Kependudukan/Kepala BKKBN Haryono Suyono, dan Mentrans dan PPH Siswono Yudohusodo.

Pendopo dipenuhi tamu penting. Diantaranya Dirut PT Pos Indonesia Cahyana Ahmajayadi dan Dirut BRI Djokosantoso Mulyono, serta pejabat Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN pusat dan daerah.

Hari itu, Wahyu mendapat banyak hadiah, baik dana maupun bingkisan. PT Pos Indonesia dan BRI, misalnya. Dua lembaga pelat merah ini menyerahkan dokumen yang nantinya dapat dicairkan untuk biaya pendidikan seumur hidup.

Diumumkan saat itu, Wahyu akan menerima deposit sebesar Rp 10 juta melalui PT Pos Indonesia. Jika ditotal dengan bunga, ia akan menerima sekitar Rp 193 juta saat ia berusia 25 tahun.

“Ini bukan janji-janji yang penting. Tapi setidaknya, harus ada perhatian pemerintah untuk Aji. Bukankah dia anak dari negara?” ucap Rohana yang dimuat The Jakarta Post dalam “Wahyu Nusantara Aji: The forgotten 200 millionth citizen”.

Namun nama Wahyu tak pernah disebut-sebut lagi, sejak Pak Harto lengser setahun kemudian.

Kedua orangtua Wahyu berisiatif menemui Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta, pada September 2004. Wahyu dibawa serta. Saat itu ia sedang liburan.

Mereka berangkat dengan biaya sendiri. Dibantu Haryono Suyono yang juga sudah tidak memiliki jabatan, mereka akhirnya bisa bertemu mantan presiden itu.

Pertemuan itu berlangsung sekitar satu jam. Kepada Wahyu, Pak Harto banyak memberi nasihat, agar ia rajin berdoa dan tekun belajar. Pulangnya ia diberikan pakaian dan tikar.

Pak Harto juga menyarankan, setelah tamat SD, Wahyu bersekolah di pesantren di Indramayu, Jawa Barat. Pak Harto bilang, “Nanti dia akan menjual sapi untuk membayar biaya sekolah itu” tulis The Jakarta Post mengutip penuturan polos Wahyu.

Saran Pak Harto melekat dalam benak Wahyu. Ia punya keinginan kuat bersekolah di Jawa. Tapi dari mana biayanya? Ayahnya sendiri hanya pedagang kecil.

Orangtua Wahyu menghubungi BKKBN Provinsi NTB di Mataram. Mereka menanyakan perihal komitmen pemerintah tentang masa depan Wahyu. Tak ada kejelasan. Mereka juga kembali mencoba menghubungi Haryono Suyono. Mereka kehilangan jejak.

“Pemerintah ingkar janji terhadap bayi yang ditetapkan sebagai penduduk Indonesia ke-200 juta, sekaligus penduduk dunia yang ke enam miliar. Bayi tersebut, Wahyu Nusantara Aji, dijanjikan oleh pemerintah akan dibiayai pendidikannya sampai tingkat perguruan tinggi,” rilis Tempo dalam “Pemerintah Ingkar Janji pada Bayi Ke-200 Juta”.

Menurut Lalu Burhan, Kepala BKKBN ketika itu (2007), beasiswa Wahyu terputus sejak Soeharto turun. “Karena ini era otonomi, jadi saya rasa hal itu (beasiswa) diserahkan kepada pemerintah kabupaten,” kata Burhan, dikutip detiknews dalam “Beasiswa Terhenti, Manusia ke- 6 Miliar Ingin Temui Pak Harto”. Namun ia mengaku belum mendengar tindakan pemerintah Kabupaten Lombok Timur atas nasib Wahyu.

Rhenald Kasali, dalam “Bayi-bayi Masa Depan”, menilai nasib Wahyu Nusantara Aji, serupa dengan Adnan Nevic, Nargis Kumar, dan Danica May Camacho. Adnan Nevic, kelahiran Bosnia, dinobatkan PBB sebagai bayi dunia ke-6 miliar, yang disambut sukacita dunia. Dua bayi lainnya, Nargis Kumar dari India dan Danica May Camacho dari Manila, sebagai bayi laki-laki dan perempuan ke-7 miliar. Bayi-bayi yang banyak mendapatkan janji.

“Ke manakah mereka sekarang?” tanya Rhenald Kasali.

Saat dikunjungi wartawan di usianya yang ke-10, semua kecewa melihat Wahyu yang kurus. Desanya juga tetap miskin dan kering, bahkan sekolahnya tidak terawat. “Negeri ini hanya heboh seremoninya. Setelah itu, waktu sunatan Wahyu saja, semua tetangga bingung. Kok keluarga itu seperti tak punya uang,” katanya.

Maka Rhenald mengingatkan bangsa ini agar tidak bergantung pada siapa pun. Kekuasaan terbesar ada dalam inner power masing-masing, yang bersumber pada “self”. Bukan pada negara, penguasa, presiden, gubernur, bupati, ketua partai, praktisi, ketua MK, atau bahkan orang-orang kaya sekalipun.

Begitulah, kenyataannya janji hanya tinggal janji.

Wahyu menjawab lesu ketika dihubungi beberapa waktu lalu. Saat itu ia sedang menyelesaikan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi swasta.

“Sebenarnya saya sudah berusaha mengubur semua yang berhubungan dengan pemberian julukan itu. Saya sudah lama tidak membahasnya lagi,” ujar Wahyu.

Ia bercerita, beberapa tahun lalu, ayahnya sempat menjadi calon legislatif di Partai Berkarya yang dipimpin Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, putra Pak Harto. “Ada temannya yang mengajaknya, mungkin dengan  memasuki partai itu, besar harapan bisa bertemu Tommy Soeharto,” tuturnya.

Alhasil, hingga partai itu hilang dari peredaran, ayahnya tak pernah berhasil bersua Tommy. Sekali waktu, Wahyu membuat status di Facebook. Postingan videonya yang sedang menyanyi, yang hanya direspon dua puluhan follower. Suaranya pelan. Nyanyian yang nyaris sunyi, seperti namanya yang semakin sunyi, digerus waktu. (BSM)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI