kicknews.today – Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam salah satu buku yang diluncurkannya, jelas memberi perhatian khusus pada marwah persatuan dalam kebhinekaan NKRI. Pada bab awal buku berjudul “Tetralogi Transformasi AHY Vol. 2 – Mewujudkan Indonesia Emas 2045”, Putra Sulung SBY Presiden Ke-6 Indonesia itu menyiratkan seberkas kekhawatiran akan kondisi persatuan dan kesatuan NKRI belakangan ini.
Pada Bab yang bertajuk “Ujian Demokrasi dan Kebangsaan Kita” di buku tersebut, AHY menulis bahwa kebanggaan akan persatuan dalam keberagaman di Indonesia perlu mendapat perhatian ekstra.

“Kita, yang selama ini membanggakan persatuan dalam keberagaman, layak bertanya-tanya: “Akankah persatuan ini langgeng? Apakah keberagaman itu justru jadi sumber malapetaka bagi generasi mendatang?” Situasi hari ini tentu mengusik alam pikiran kita. Seolah-olah negeri ini terbelah menjadi dua kutub yang saling berhadapan. “Pro-Kebinekaan” versus “Pro-Islam”.
Di satu pihak, ada yang beranggapan seolah-olah Islam tidak lagi kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya, di pihak lain, tidak sepenuhnya memahami dan menerima nilai-nilai kebinekaan. Realitas ini bagaikan api dalam sekam.
Dalam hal ini, saya berdoa semoga tidak ada pemantik yang akan membuat api membesar dan melalap segalanya. Cukup sudah kita mengalami kerusuhan-kerusuhan sosial yang memutus tali persaudaraan dan kebangsaan seperti di masa lalu.
Kita membaca bahwa saat ini ada kontestasi yang sengit. Sebagian karena warisan kompetisi politik nasional 2014 yang belum tuntas. Dampaknya, kental mewarnai pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 kemarin. Warga Jakarta seolah terkunci hanya pada dua pilihan yang berseberangan.” Demikian sedikit kutipan dari buku yang resmi dirilis AHY pada hari ulang tahunya yang ke-45, 10 Agustus 2023 baru lalu.
Tergerak oleh kekhawatiran yang sama, Ketua DPD Partai Demokrat NTB Indra Jaya Usman (IJU) memandang perlu untuk menyuguhkan kembali sebagian sejarah faktual yang melandasi terbentuknya NKRI. Landasan sejarah fundamental yang menjadi cikal bakal pemikiran para pendahulu bangsa, yang menjadi embrio pemikiran terbentuknya Negara Indoensia yang demokratis serta berazaskan Pancasila dan UUD’45.
IJU yang didampingi Sekertaris Wanhor DPD Partai Demokrat NTB H Sulhan Muchlis Ibrahim dan Sekertaris BPOKK DPD Partai Demokrat NTB Hamroni, melaksanakan napak tilas menelusuri sejarah yang menjadi landasan penting berdirinya negeri ini.
Ekspedisi yang ditajuki “Napak Tilas Kemerdekaan RI Ke-78” itu dilaksanakan dengan menziarahi sejumlah makam leluhur bangsa, yang pemikiran dan tindakannya tercatat memberi kontribusi sangat signifikan bagi negeri ini. Makam leluhur negeri yang merupakan para pahlawan dan ulama besar yang berperan penting bagi bangsa, sejak sebelum masa kemerdekaan hingga zaman modern ini.

Ekspedisi itu disebut IJU menjadi salah satu cara yang efektif untuk menjaga marwah persatuan dalam keberagaman yang dimiliki Indonesia. Karena isu adanya masalah antara kubu Pro-Kebhinekaan dan Pro-Islam, tentu mustahil bisa meluas jika seluruh rakyat mengetahui sejarah hidup para pahlawan dan ulama yang ikut memabangun dan menjalankan kehidupan negeri ini.
“Sebagai rakyat yang bernaung dalam ‘perahu’ besar yang bernama NKRI. Kita wajib mengetahui bagaimana sejarah sejak sebelum Indonesia ini merdeka. Serta seperti apa negara ini dijalankan. Terutama bagi warga muslim sebagai masyarakat yang mendomisnasi populasi penduduknya,” Sebut IJU disela perjalanan ekspedisinya, Rabu 16 Agustus 2023.
Dikatakan IJU bahwa para ulama penyebar Islam di negeri ini, sejak ratusan tahun sebelum masa kemerdekaan RI. Diketahui telah mengajarkan pemahaman tentang pentingnya menjaga kebersamaan dalam keberagaman. Pentingnya tata cara hidup dalam ka’idah-ka’idah ke-Islam-an yang sangat mampu membaur dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada, jauh sebelum ajaran Islam masuk.
Landasan pemikiran yang diajarkan turun-temurun kepada para santri pondok pesantren, yang kemudian tersambung menjadi cikal bakal pemikiran para pendiri bangsa di era kemerdekaan. Bahkan menjadi bagian penting dari dasar konsep berjalanya roda pemerintahan Indonesia hingga saat ini.
“Gus Dur pernah berkata ‘Kyai Hasan Besari merupakan monumen berpadunya antara Islam dan Nasionalisme’. Beliau pandai dalam berbagai keilmuan, diantaranya agama (tasawuf), ketatanegaraan, strategi perang dan kesusastraan. Sehingga beliau dikenal banyak orang dari penjuru nusantara. Mereka berduyun-duyun menimba ilmu kepadanya,” Ungkap IJU yang dikenal hoby meninba ilmu sejarah dari berbagai sumber itu.
“Beliau melahirkan tokoh-tokoh masyhur yang sangat berpengaruh. Pertama, Pakubuwana II, Sultan Kartasura yang berkancah dalam dunia politik. Kedua, Bagus Burhan atau Raden Ngabehi Ronggowarsito, sastrawan Jawa yang menciptakan kidung Zaman Edan, dan ketiga, H.O.S Cokroaminoto, tokoh pergerakan nasional pendiri Sarekat Islam,” Sambung IJU saat rehat sejenak usai mengunjungi makam Ki Ageng Anom Besari di Madiun.
“Kemudian ketiga tokoh ini menginspirasi sang Proklamator, Ir.Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tidak lepas dari itu, keilmuan Kyai Ageng Hasan Besari juga sampai pada KH. Hasyim Asy’ari. Adabul Alim wal Muta’alim karya KH. Hasyim Asy’ari masih ada keterkaitan dengan Krama Negara karya Kyai Ageng Hasan Besari,” sambung IJU.
“HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam yang merupakan guru dari Ir. Soekarno Presiden Pertama RI, adalah anak dari R. Cokroamiseno. Kakeknya bernama R. Cokronegoro. R. Cokronegoro adalah anak dari Kyai Ageng Hasan Besari. Kyai Hasan adalah anak dari Kyai Ilyas, cucu dari Kyai Ageng Muhammad Besari. Ayah dari Kyai Muhammad ini adalah Kiyai Ageng Anom Besari,” tutur IJU menjelaskan alur silsilah dan sanat ilmu yang diterima oleh Sang Proklamator RI.

Selain keterikatan Sang Proklamator dengan para ulama besar tersebut. Jaringan ulama nusantara yang berperan besar dalam perjuangan dan persiapan kemerdekaan. Tercatat juga pernah menimba ilmu pada satu sanat keilmuan.
Dituturkan IJU bahwa KH Hasyim Asyari pendiri NU, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, KH Abdul Wahab Chasbullah dan banyak ulama besar di Indonesia lainnya berguru pada satu pengajar saat belajar di Mekkah. Yaitu Syech Mahfud Tremas yang diketahui menetap di Mekkah dan merupakan salah seorang Imam Masjidil Haram Mekkah.
“Syech Mahfud Tremas adalah Imam di Masjidil Haram Mekkah. Adalah guru jaringan ulama Indonesia. Kakek beliau adalah KH Abdul Manan Dipomenggolo yang tercatat sebagai mahasiswa pertama Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Dipertengahan abad 18 Beliau sempat belajar banyak ilmu di luar negeri setelah membangun Ponpes Tremas di Pacitan,” ungkap IJU menjelaskan garis sanat keilmuan yang didapatkan para ulama besar Indonesia.
Diingatkanya bahwa sejarah perjuangan bangsa ini melawan penjajah tentu tak bisa dilepaskan dari peran besar para ulama. Tidak terlepas juga dari semangat persatuan dalam keberagaman yang telah diwujudkan sejak saat itu, antara komunitas masyarakat pemeluk Agama Islam dengan masyarakat umat agama dan kepercayaan lainnya.
“Merujuk pada sejarah tersebut tentu sangat tidak mungkin akan ada permasalahan besar yang timbul akibat isu ini, jika tidak ada yang memang sengaja membuatnya,” ungkap politisi muda Lombok Barat tersebut.

Selain dimasa penjajahan dan era perebutan kemerdekaan, hubungan erat dan kekeluargaan antara kaum religiusitas dan nasionalisme di Indonesia sebenarnya tetap terjadi dan terpelihara baik hingga saat ini. Bahkan beberapa pimpinan tertinggi di negeri ini terhubung secara silsilah keturunan dengan para ulama besar Islam tersebut.
“Diantaranya Presiden ke-4 KH Abdurahman Wahid Gusdur yang memang keturuanan langsung dari KH Hasim Asyari. Nenek Gusdur, istri dari KH Hasyim juga merupakan keturunan Ki Ageng Basyariah ulama besar dari Madiun,” tutur IJU.
“KH Abdul Manan Dipomenggolo, pendiri Ponpes Tremas Pacitan adalah merupakan leluhur dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),” sambung IJU.
Dari fakta-fakta tersebut, IJU meyakini bahwa hubungan antara kaum nasionalis dan religi di negeri ini sedianya selalu harmonis. Dari sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, bahkan seharusnya sampai masa jauh kedepan.
Ekspedisi Napak Tilas Kemerdekaan RI Ke-78 yang dilaksanakan DPD Partai Demokrat NTB ini, menyasar sejumlah titik di wilayah Jawa Timur dan Tengah. Titik yang dikunjungi mulai dari makam Syech Jumadil Qubro di Trowulan Kabupaten Mojokerto. Makam KH Abdul Wahab Chasbullah di Kecamatan Tambak Beras Kabupaten Jombang. Ia adalah Pahlawan Nasional penggubah lagu Yalal Wathon NU.
Makam KH Hasyim Asyari Pendiri NU dan Ponses Tebuireng, sekaligus menyambangi makam Presiden RI Ke-4 KH Abdurahman Wahid Gusdur yang dimakamkan berdekatan dengan ayahandanya KH Abdul Wahid Hasyim di Tebuireng Jombang. Ayah dan Kakek Gusdur tercatat sebagai Pahlawan Nasional RI.
Selanjutnya makam Proklamator RI Ir. Soekarno di Blitar Jawa Timur juga menjadi lokasi yang diziarahi Tim DPD Demokrat NTB. Petilasan Syech Subakir yang juga berlokasi di Blitar menjadi titik ziarah berikutnya.

“Kami juga ziarah ke makam Ki Ageng Anom Besari di Caruban Madiun. Makam Ki Ageng Basyariah, leluhur dari nenek Gusdur juga di Madiun. Makam Ki Ageng Muhammad Besari dan Kyai Nur Sodik Al Hafidz di Tegal Sari Ponorogo, anak dari Ki Ageng Anom Besari,” jelasnya.
“Di Hari Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus 2023 kami berziarah ke makam KH Abdul Manan Dipomenggolo di Desa Semanten Pacitan. Sebelum menghadiri acara peresmian Museum SBY-Ani di Pacitan Jawa Timur,” sambung IJU.
Ia menjelaskan lebih jauh bahwa manfaat langsung yang bisa diraih dari menziarahi makam para leluhur bangsa ini, adalah tumbuhnya rasa nasionalisme, religius dan semangat persatuan yang kuat. Karena pengetahuan dan pemahaman tentang perjuangan para pahlawan dan ulama bersama pendiri bangsa, akan mampu mensterilisasi jiwa anak bangsa dari isu yang menyesatkan dan memecah belah marwah persatuan. (hl)