Perubahan Sistem Pembayaran Klaim BPJS Kesehatan

Oleh: Apt. Deny Sulistiyowati, S.Farm

Sejak 1 Januari 2014, sistem asuransi kesehatan nasional Indonesia hanya terdiri dari satu asuransi, yaitu BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan adalah lembaga jaminan sosial yang didirikan oleh pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan kepada penduduk Indonesia. Sebelum tahun 2014, BPJS menggunakan skema biaya untuk layanan, di mana pembayaran kepada rumah sakit dilakukan secara retrospektif, artinya pembayaran dilakukan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Namun, sejak tahun 2014, BPJS Kesehatan mulai menggunakan sistem pembayaran yang dikenal sebagai Indonesia Case Based Groups (INA-CBG). INA-CBG adalah sistem pengelompokan penyakit berbasis kasus yang bertujuan untuk mengatur pembiayaan dan pemberian layanan kesehatan sesuai dengan kelompok penyakit atau kasus yang sebanding. Sistem ini dirancang untuk mengurangi insentif bagi penyedia layanan kesehatan, seperti rumah sakit, untuk memberikan pelayanan yang tidak perlu kepada pasien. Dengan demikian, penyedia layanan kesehatan tidak lagi memperoleh pendapatan yang tidak terbatas.

Dalam sistem INA-CBG, kasus setiap penyakit dibagi ke dalam kelompok yang disebut “case mix groups” berdasarkan diagnosis primer, pengobatan medis, usia, jenis kelamin, dan beberapa faktor lainnya. Hal ini memungkinkan BPJS Kesehatan untuk menentukan harga layanan medis yang sesuai dengan kompleksitas dan kebutuhan pasien. Pelaksanaan pembayaran tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan.

Pada 8 Mei 2024, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan pembayaran klaim BPJS yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perubahan ini meliputi penambahan non-kapitasi untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan non INA-CBG untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKTRL), yang sebelumnya klaim dilakukan berdasarkan kapitasi untuk FKTP dan INA-CBG untuk FKTRL.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, Pasal 71 ayat 1 huruf a menyebutkan bahwa “FKTP secara praupaya atau kapitasi berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar di FKTP”, sedangkan pada Pasal 71 ayat 2 disebutkan bahwa “Dalam kondisi tertentu dan/atau di suatu daerah FKTP tidak memungkinkan pembayaran secara praupaya atau kapitasi, BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pembayaran lain”. Pembayaran yang dimaksud adalah klaim non-kapitasi yang diatur dalam Pasal 75. Pembayaran non-kapitasi sudah diatur sejak tahun 2013 dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Peraturan ini mengalami perubahan pada tahun 2014, 2016, 2017, 2018, dan terakhir diubah pada tahun 2023 menjadi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKTRL), Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2024, Pasal 71 Ayat 2 menyebutkan bahwa FKTRL menggunakan sistem Indonesian Case Based Groups dan/atau non-Indonesian Case Based Groups, yang sebelumnya hanya berdasarkan Indonesian Case Based Groups. Dalam Peraturan Presiden sebelumnya, Nomor 82 Tahun 2016, Pasal 71 ayat 4 disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sistem pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah mendapat persetujuan dari Menteri”. Pembayaran non INA-CBG bermula dari klaim obat di luar INA-CBG yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014, Pasal 20 ayat 3 huruf b yang menyatakan bahwa “bila diperlukan tambahan hari pengobatan, obat diberikan terpisah di luar paket INA-CBG’s dan harus tercantum pada Formularium Nasional”. Pembayaran non INA-CBG tercantum jelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, Pasal 1 Angka 4, yang menyatakan bahwa “Tarif Non INA-CBG merupakan tarif di luar tarif paket INA-CBG untuk beberapa item pelayanan tertentu meliputi alat bantu kesehatan, obat kemoterapi, obat penyakit kronis, CAPD, dan PET Scan, dengan proses pengajuan klaim dilakukan secara terpisah dari tarif INA-CBG”. Peraturan ini diubah pada tahun 2018 dan terakhir diubah menjadi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Peraturan tentang Non INA-CBG tercantum dalam bagian kedua Pasal 36-47.

Perubahan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2024 mengenai penambahan klaim non-kapitasi pada FKTP dan non INA-CBG pada FKTRL bukanlah hal yang baru dan sudah dilakukan sebelumnya melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Perubahan klaim yang diatur dalam Peraturan Presiden tersebut pada Pasal 71 ayat 1 dan 2 hanyalah rangkuman dari peraturan sebelumnya.

Dengan adanya kemudahan dalam pengajuan klaim ini, hendaknya peserta BPJS lebih teratur dalam membayar iuran setiap bulannya, cermat dalam pembayaran, dan tidak lalai setiap bulannya sehingga tidak terkena denda dan pemberhentian sementara pelayanan yang menyebabkan pelayanan tidak dapat maksimal. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kemudahan dalam pelayanan terhadap peserta yang membutuhkan sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. BPJS sebagai badan penyelenggara sebaiknya melakukan introspeksi dan tata kelola yang lebih baik. FKTP dan FKTRL diharapkan memenuhi klaim tersebut dengan penuh tanggung jawab sehingga tidak memberikan pelayanan yang tidak perlu kepada pasien dan mencegah kebocoran atau pemborosan anggaran. Diharapkan dengan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah, BPJS, FKTP, FKTRL, dan peserta BPJS dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabat menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Apt. Deny Sulistiyowati, S.Farm

Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya yang saat ini bekerja di Dinas Kesehatan Kota Surabaya.

Artikel Terkait

OPINI