Netralitas ASN di Pusaran Pilkada

Ilustrasi netralitas ASN di Pilkada
Ilustrasi netralitas ASN di Pilkada

Oleh : Lily Marfuatun, SH. MH

Pada pesta demokrasi, netralitas merupakan hal penting bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). ASN adalah subjek utama dalam suatu birokrasi yang berperan khusus untuk menjalankan tugas negara dan pemerintahan.

ASN merupakan unsur dalam terciptanya pelayanan kepada masyarakat secara profesional, adil dan merata. Kedudukan aparatur negara ini merupakan sebuah unsur abdi masyarakat dan memiliki mental loyalitas tinggi terhadap negara. Mereka dituntut bersikap netral dari pengaruh semua golongan partai politik serta tidak diskriminatif terhadap pelayanan masyarakat.

Netralitas adalah keadaan sikap tidak memihak atau bebas. Dasar hukumnya diatur dalam UU. No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Berdasarkan pasal 2 huruf f, menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah asas netralitas. Tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada siapapun.

Netralitas ASN merupakan sebuah kewajiban yang harus dimiliki abdi negara karena sifatnya imperatif. Konsekuensinya adalah sanksi berdasarkan aturan yang berlaku.

ASN diharuskan berada pada posisi netral. Artinya, ASN mempunyai hak suara untuk memilih pasangan calon dalam pemilihan umum. Hanya saja tidak diperbolehkan terlibat saling mendukung kepada salah satu pasangan calon termasuk pasangan incumbent. Salah satu langkah dasar dari reformasi birokrasi, pemerintah telah menetapkan kebijakan baru dalam pembinaan ASN. Pada prinsipnya mengarahkan sikap politik ASN dari yang sebelumnya harus mendukung golongan politik tertentu menjadi netral atau tidak memihak, yang kemudian lazim disebut dengan kebijakan netralitas politik ASN.

Fenomena keterlibatan serangkaian kegiatan kampanye dan sosialisasi memenangkan peserta Pilkada menunjukkan bahwa peraturan berkaitan dengan netralitas ASN belum ditegakkan secara baik, untuk mencegah penyelewengan birokrasi, larangan ini jelas dipahami. Namun jika tidak disertai dengan penegakkan sanksi akan menciptakan zona nyaman bagi oknum ASN untuk terlibat dalam suksesi Pilkada di Indonesia.

Netralitas ASN menjadi salah satu isu krusial yang   menjadi perhatian tiap Pilkada serta Pemilu. Tidak sedikit ditemukan oknum ASN yang tidak bersikap netral.  Padahal, prinsip-prinsip netralitas ASN sudah diatur dalam kode etik dan kode perilaku KASN.  Kode  etik  ini  penting  untuk  mewujudkan  ASN  yang  profesional  tidak  hanya  dalam kepemilikan kompetensi saja, namun  juga perilaku dalam menjalankan tugas. ASN mempunyai hak pilih namun  dalam  melaksanakan   tugasnya  harus  netral  dari  berbagai  pengaruh  politik.

Mendekati tahun pemilu, isu terkait netralitas ASN menjadi fokus perbincangan banyak kalangan. Status sosial ASN yang sensitif di masyarakat, menjadi tolok ukur akan harapan besar dan selayaknya ASN terbebas dari intervensi politik praktis. Tidak hanya menjadi pengurus, bahkan menjadi simpatisan pun merupakan hal terlarang.

Meskipun sudah sering kali dibahas, namun kasus pelanggaran atas netralitas ASN ini masih saja mengemuka. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan, pelanggaran atas netralitas ASN pada agenda pemilu serentak 2024 dimungkinkan akan tetap terjadi. Hal ini didasari oleh maraknya ASN yang melanggar aturan pada Pilkada tahun-tahun sebelumnya. Pada pelaksanaan Pilkada tahun 2020, tidak sedikit ASN yang terjerat kasus netralitas bahkan diantaranya telah dikenai sanksi hukuman disiplin.

Pelanggaran Netralitas ASN

KASN melalui Bidang NKK-Net bersama Bawaslu juga mengadakan Siaran Pers terkait Data Pengawasan Netralitas ASN Tahun 2019 dan 2020. Sejak Januari hingga Desember 2019, tercatat ada 412 pengaduan yang diterima oleh KASN dan Bawaslu, 386 diantaranya sudah masuk dan diproses menjadi rekomendasi oleh KASN dengan ASN yang melanggar sebanyak 528 orang. Sedangkan pada tahun 2020, terhitung hingga 15 Juni terdapat 351 pengaduan yang diteruskan oleh Bawaslu dan 243 diantaranya sudah diterima oleh KASN.

Pada tahun 2019 hingga 2020, jenis pelanggaran yang terjadi masih didominasi oleh kampanye/sosialisasi melalui media sosial (posting/komen/share/like), selain itu jumlah ASN yang melanggar juga diprediksikan akan meningkat pada tahun 2020, terhitung hingga medio Juni jumlah pegawai ASN yang melakukan pelanggaran netralitas telah mencapai 369 orang atau sudah melebihi setengah dari jumlah total pelanggar tahun 2019, dengan pelanggaran terbanyak sebesar 33 persen dilakukan oleh Jabatan Pimpinan Tinggi di daerah.

Sedangkan 10 instansi daerah yang terbanyak melakukan pelanggaran adalah di Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi NTB, Kabupaten Dompu, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Banggai, Kemendikbud, Kota Makassar, Kabupaten Supiori, dan Kabupaten Muna. Berdasarkan data KASN, di Nusa Tenggara Barat terdapat 11 kasus untuk pelanggaran netralitas ASN, pelanggaran ASN dapat terlihat pada Tabel berikut:

Netralitas ASN merupakan hal yang perlu terus dijaga dan diawasi, agar event Pemilu/Pemilihan dapat berjalan secara jujur (fairplay) dan adil antara calon yang memiliki kekuasaan dengan calon yang tidak memiliki relasi kuasa di lingkungan birokrasi pemerintahan.

Peraturan Netralitas ASN dalam Pemilu

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 atau yang lebih dikenal dengan sebutan UU ASN ialah undang-undang yang mengatur segala hal mengenai ASN. UU ini merupakan suatu kerangka regulasi untuk mendorong terciptanya ASN yang terdiri dari PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat, serta mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Adanya UU ASN juga menandai terbentuknya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah.

Delik pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilihan (Pilkada) yang diatur dalam Undang-Undang dapat ditemukan dalam Pasal 70 UU No. 1/2015, Namun larangan tersebut dialamatkan pada calon bukan pada ASN nya secara langsung, sehingga kalau menggunakan pasal ini yang perlu ditindak adalah calon bukan ASN nya. Pasal lain yang berkaitan dengan netralitas ASN adalah Pasal 71 UU No. 1/2015 yang berbunyi:

Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang Membuat Keputusan dan/atau Tindakan yang Menguntungkan atau Merugikan Salah Satu Calon selama masa Kampanye”.

Dalam pasal ini jelas ASN termasuk subjek hukum yang dilarang untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye, sehingga segala tindakan ASN baik berupa policy (kebijakan/keputusan) maupun tindakan konkrit (materiele daad) yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye merupakan delik pelanggaran Pemilu.

Dalam rumusan delik sebagaimana pasal 71 diatas, delik pelanggarannya dibatasi oleh limitasi waktu yaitu hanya selama masa kampanye. Artinya tindakan ASN dalam membuat keputusan (policy) dan tindakan konkrit yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon diluar masa kampanye tidak termasuk pelanggaran netralitas.  

Sedangkan pasal 188 dan 189 mengatur tentang ancaman sanksi pidana yang delik pelanggarannya tetap merujuk pada pasal 70 dan/atau 71 sebagaimana telah dijelaskan di atas. Selain ancaman sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan pasal 70 dan/atau 71 juga diancam dengan sanksi administrasi berupa pembatalan dari calon. Oleh karenanya, menurut penulis pemberlakuan sanksi pidana bersifat ultimum remedium atau alternative sanksi terakhir setelah sanksi administrasi diberlakukan terlebih dahulu.  

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tidak memasukkan delik pelanggaran netralitas ASN dalam nomenklatur larangan tetapi diatur dalam prinsip (asas) dan kewajiban, namun demikian prinsip maupun kewajiban dapat juga dimaknai sebagai larangan karena siapapun yang dikenai kewajiban pasti juga dikenai larangan untuk mentaati kewajiban tersebut. Selain tidak merumuskan dalam delik larangan, UU ASN juga tidak terlalu terperinci merumuskan prinsip-prinsip maupun kewajiban-kewajiban yang mengikat ASN. Rumusan delik dalam UU ASN masih sangat bersifat umum dan membutuhkan perincian dari regulasi turunannya.

Pentingnya Netralitas ASN dalam Pemilu

Netralitas ASN Adalah hal yang sangat penting dalam Pilkada/Pemilu. Netralitas ASN adalah hal yang harus dilaksanakan, namun tidak mudah untuk diterapkan. Apalagi Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat demokratis saat ini. Berdasarkan rekomendasi KASN, untuk menjaga netralitas ASN ialah antara lain :

  1. Perlu adanya penguatan Kode Etik ASN dengan batasan yang jelas dan tegas, serta jaminan perlindungan dalam menjaga kenetralitasan ASN.
  2. Perlu dibangun kerja sama dengan BKN untuk memberikan sanksi administratif berupa tidak diproses kenaikan jabatannya.
  3. Perlu dibangunnya kerjasama KASN, Badan Kepegawaian Negara (BKN) Regional dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) sebagai sumber informasi di daerah, serta Bawaslu untuk mengawasi jalannya pilkada dan pemilu.
  4. Adanya akses pelaporan atau advokasi mengenai permasalahan netralitas secara merata di seluruh Indonesia, serta jaminan terhadap pelapor.
  5. Adanya informasi berbentuk ajakan menjaga netralitas dalam bentuk iklan, video atau infografis yang dapat bekerja sama dengan media.
  6. Perlu adanya kerjasama dengan LAN dan KEMENPAN untuk memberikan pelatihan etika dan netralitas dalam seminar dan workshop, serta simulasi keadaan yang menguji netralitas.

ASN harus netral dalam Pilkada/Pemilu, bahwa menurut Pasal 2 UU ASN menyatakan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan salah satu pada asas, yaitu netralitas. Netralitas birokrasi adalah sebuah sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam melakukan menjaga pelayanannya kepada publik/masyarakat, walaupun pimpinannya berganti dengan pimpinan yang lain. Tugas birokrasi sebagai pemberi pelayanan tidak boleh berkurang kualitasnya, walaupun pimpinannya berganti.

Oleh karena itu, dibutuhkan ASN yang netral terhadap segala bentuk kegiatan politik, tidak terintervensi, tidak memihak dengan kubu politik manapun, serta bebas dari segala jenis tuntutan politik. Sikap netral dari pengaruh politik yang dimiliki oleh ASN menjadi hal yang wajib ada dalam diri ASN. Sebagai aparatur pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, ASN memberikan pelayanan publik secara langsung dan berinteraksi dengan masyarakat. Netralitas terhadap politik harus dimiliki oleh ASN agar tidak terlibat menjadi anggota partai politik dan terhindar dari kepentingan-kepentingan politik yang mengarahkan ASN untuk dapat memobilisasi (massa)/masyarakat untuk memenuhi kepentingan politik tersebut.

Netralitas ASN memiliki Peran penting dalam menjaga Profesionalisme Kerja ASN untuk menjalankan tugas dan Fungsi Pelayanan Publik. Politisasi birokrasi oleh pihak tertentu akan berimplikasi terhadap kualitas pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Pembentukan Produk hukum peraturan perundang-undangan harus memiliki norma hukum yang kuat sehingga tidak memiliki daya sanksi yang kuat dan tidak disalahgunakan oleh pemangku jabatan publik. Pentingnya kerjasama dan kesadaran seluruh pihak demi mewujudkan Netralitas ASN dalam Pemilu sehingga tidak mempengaruhi pelayanan publik demi tercapai Good Governance.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Lily Marfuatun, SH. MH

Penulis ialah Dosen dan Advokat

Artikel Terkait

OPINI