kicknews.today – Pada tanggal 13 November 2006 di Mataram, Lombok, pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani sebuah perjanjian kerangka kerjasama keamanan yang dikenal dengan sebutan Traktat Lombok yang intinya kedua negara sepakat untuk tidak berperang satu sama lain.
Traktat Lombok adalah perjanjian antara Australia dan Indonesia yang menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi tantangan keamanan tradisional dan non-tradisional. Perjanjian ini memberikan kerangka hukum yang kuat untuk mendorong dialog bilateral, pertukaran, dan pelaksanaan kegiatan secara kooperatif.
Ini memperkuat komitmen untuk bekerja sama dalam pertahanan, penegakan hukum, anti-terorisme, keamanan maritim, serta tentang manajemen dan tanggap darurat.
Kerjasama itu kemudian diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 2007. Namun, perselisihan antara Indonesia dengan Australia dalam bidang
keamanan tetap saja terjadi.
Kasus yang telah terjadi di antaranya ialah peristiwa penyadapan alat komunikasi oleh lembaga intelijen Australia terhadap presiden Republik Indonesia pada tahun 2009 yang lalu diketahui oleh publik pada tahun 2013.
Selain itu, terdapat kasus lain ketika pemerintahan Tony Abbot yang beberapa kali menindak imigran gelap yang menuju ke Australia dengan memanfaatkan wilayah kedaulatan Indonesia.
Ini seperti yang terjadi pada 15 Januari 2014 ketika sebuah perahu berwarna oranye berisi 60 orang imigran berlabuh di Jawa Barat yang kemudian diikuti oleh perahu kedua dengan penumpang sebanyak 34 orang pada tanggal 5 Februari (Toohey, 2014).
Namun begitu, saat ini kedua negara tampak hendak meperbaiki hubungan dan kembali pada nilai-nilai perjanjian Traktat Lombok 2006 dengan melakukan pertukaran kadet atau siswa militer.
Pengamat Hubungan Internasional Ian Montratama mendukung program pemerintah melakukan pertukaran kadetdengan Australia tersebut karena dinilai akan berdampak positif pada pembinaan personel.
“Ini harus berkesinambungan,” kata Ian Montratama kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/9).
Ian mengatakan Pemerintah Indonesia pernah melakukan program pertukaran Akademi Militer (Akmil) ke Inggris, namun akhirnya mandek.
“Saat Pak Prabowo Subianto masih aktif di militer, program pertukaran siswa militer juga dilakukan ke Amerika Serikat dan Jepang,” ucap Ian.
Melalui program tersebut diyakini para kadet akan banyak memperoleh pengetahuan di luar negeri. Apalagi, Akmil di negara maju selalu dikembangkan sesuai dinamika peran militernya dalam keamanan regional maupun global.
“Penting bagi taruna kita untuk mengalami proses pembelajaran di Akmil negara maju,” ujar Akademisi Universitas Pertamina tersebut.
Bagi para perwira yang penting adalah penyetaraan pendidikan luar negeri dengan pendidikan dalam negeri, sehingga mereka tidak khawatir bila dijadikan prasyarat promosi karir jika ikut pendidikan luar negeri.
Oleh sebab itu, Ian mendorong program pertukaran taruna juga dimasukkan ke dalam kurikulum akademi sehingga menjadi kebijakan tahunan.
“Ada bobot satuan kredit semesternya dan sasaran hasil yang dapat diukur prestasinya,” ucapnya.
Di satu sisi, ia berpendapat kerja sama Indonesia dan Australia tidak lepas dari kedekatan “Negeri Kanguru” dengan Amerika Serikat. Sehingga kebijakannya selaras dengan langkah pertahanan Amerika Serikat di Tanah Air.
Hal tersebut tidak akan menggoyahkan sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Alasannya, Indonesia beberapa kali sempat menjalin kerja sama dengan China ataupun Rusia. “Seperti Latma Pasukan Khusus Sharp Knife,” kata dia.
Terakhir, tawaran Australia perlu direspons baik mengingat kedua negara tidak memiliki sengketa perbatasan. Hal itu juga diperkuat dengan perjanjian Traktat Lombok 2006. (red-ant)