Menanti Cahaya di Hutang Pemprov NTB, Terbayar atau Tidak?

Oleh: Lalu Pahrurrozie (Ketua DPW Gelora NTB-Peneliti Nusra Institute)

Ada baiknya, di bulan Ramadhan ini, Pimpinan tertinggi Pemprov NTB, dan kita semuanya juga, mengingat kembali hadits Nabi yang begitu populer, yang tentunya sering kita simak dalam berbagai liqo dan pengajian kita pada waktu-waktu yang lampau, yang membentuk “ideologi” muamalah dalam relasi pemilik modal dan kelompok pekerja. Nabi mengingatkan:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah)

Mengapa upah atau dalam konteks pembicaraan kita saat ini yaitu kontrak kerja rekanan dengan Pemprov, mesti cepat dilunasi? Karena menunda pembayaran kontraktor adalah suatu kezaliman. Ini wasiat Nabi yang tegas mengingatkan itu:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) adalah kezaliman” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Beban utang ratusan miliar yang sebelumnya sempat kita ungkapkan, bukan sekadar angka akuntansi yang mati tanpa makna di laporan keuangan. Tapi angka itu hidup, punya darah dan daging, yang menceritakan banyak peristiwa dibelakangnya.

Bila bertanya pada para kontraktor, beragam kisah sedih menyayat hati akan diceritakan. Ada kontraktor yang mesti menjual rumahnya demi menutupi pinjaman atas modal kerjanya. Ada pula kontraktor yang dapatkan pinjaman modal kerja dari bank atau bahkan rentenir, dan mereka kesulitan membayar bunga akibat ketidakjelasan pembayaran. Ada juga yang belum berani pulang kampung, karena terus ditagih oleh istrinya terkait keuntungan bisnis kontraktornya. Bahkan, kontraktor bonafide yang saya jumpai pun, tetap mengeluhkan soal pembayaran. Jika mereka yang bonafide saja mengeluh, bagaimana dengan kontraktor-kontraktor kecil itu yang jumlahnya bejibun itu?

Karena itu, pesan hadits nabi tadi, patut untuk direnungkan oleh para pemangku kebijakan NTB yang dikomandani oleh Pak gubernur. Saya pribadi, agak menyesal membaca respon Bang Zul di Radar Mandalika (https://radarmandalika.id/utang-pemprov-ditagih-gubernur-ntb-malah-sindir-rekanan/) yang cenderung kurang berempati kepada kontraktor, Saya kutip saja, agar tidak dianggap memelintir berita “Zulkieflimansyah menyindir utang tersebut timbul dikarenakan kebiasaan kontraktor yang mengerjakan proyek tanpa belum ada kejelasan alokasi anggaran untuk proyek tersebut.
“Ini jadi pelajaran. Kontraktor kita senang mengerjakan apa-apa padahal dananya belum keluar. Akhirnya minjam dulu, nalangin dulu,” sindir gubernur.

Atas respon gubernur tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul, benarkah kontraktor mengerjakan proyek tanpa kejelasan alokasi anggaran? Beberapa kontraktor komplain dengan pernyataan tersebut, mereka mengatakan, mereka akan bekerja jika sudah memiliki kontrak kerja. Bahkan salah seorang kontraktor mengirimkan dua dokumen kontrak, satu bersumber dari dana direktif gubernur 2022, satu lagi bersumber dari pokir DPRD 2022, dengan nama program yang sama yaitu Peningkatan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum, masing-masing dengan nilai 190 juta dan 167 juta. Yang bersangkutan sudah menandatangani kuitansi, dan program sudah diselesaikan pada tahun 2022, namun sampai sekarang dana belum cair.

Mengapa pembayaran utang belum juga cair???

Pertama, kemampuan fiskal Pemprov NTB melemah. Total realisasi pendapatan pada tahun 2022 sebesar Rp 5,301 Triliun, minus Rp 25 Miliar dari realisasi pendapatan pada tahun 2021 sebesar 5,326 Triliun. Walaupun total pendapatan daerah berkurang, namun realisasi PAD pada tahun 2022 meningkat menjadi Rp 2,291 Triliun yang sebelumnya pada tahun 2021 dibukukan 1,888 Triliun. Jadi jumlah PAD-nya meningkat Rp 402 Miliar, namun jumlah total pendapatannya berkurang Rp 25 Miliar. Jadi secara umum, walaupun kemampuan lokal PAD-nya meningkat, tapi kemampuan total pemerintah provinsi NTB untuk membiayai belanja pembangunan di NTB melemah.

Kedua, kemampuan keuangan Pemprov NTB dibayang-bayangi oleh utang pada tahun 2021 sebesar Rp 685 Miliar, juga utang jangka pendek baru yang muncul pada tahun anggaran 2022, juga munculnya utang jangka Panjang berupa pinjaman PEN dari PT SMI sebesar Rp 549 Miliar yang akan mulai dihitung pembayarannya mulai tahun anggaran berikutnya.

Ketiga, proyeksi pendapatan di 2023 ditargetkan Rp 5,964 Triliun, meningkat lebih Rp 600 Miliar dari realisasi pada tahun 2022 sebesar 5,3 Triliun. Adapun target PAD juga diproyeksikan meningkat menjadi Rp 2,985 Triliun dibandingkan realisasi 2022 sebesar 2,291 Triliun. Sementara total belanja pada 2023 yaitu 5,991 Triliun. Apa arti angka-angka ini? Kebijakan “lebih besar pasak dari tiang” seperti kesimpulan pada seri 1, masih menjadi haluan kebijakan keuangan Bang Zul dan TAPD Pemprov NTB.
Penulis sendiri memprediksi, dengan tidak adanya kenaikan tarif pajak atau retribusi pada 2023, maka proyeksi PAD pada tahun 2023 kemungkinan meleset. Jika proyeksi pendapatan kembali meleset, sementara nafsu belanja tetap tinggi, maka kemungkinan pun pada tahun 2023 ini akan muncul utang baru lagi.

Keempat, ada potensi utang yang “idle” dan tersembunyi dari laporan keuangan. Bagaimana maksudnya? Saya mendapatkan informasi dari salah seorang anggota Banggar DPRD NTB. Misalnya, sebuah kegiatan A pagunya 200 juta pada APBD Murni 2022, program sudah selesai dikerjakan. Tapi secara sepihak pada APBD Perubahan, pagu kegiatan dipotong menjadi 25% atau setara hampir Rp 50 juta, tanpa mengubah volume kegiatan. Jika mekanisme keuangannya seperti itu, maka ada potensi utang pekerjaan yang “idle” karena tidak akan muncul sebagai utang di neraca keuangan pemprov. Oleh anggota banggar tadi, kemungkinan pengakuan utangnya melalui penerbitan akta pengakuan utang, oleh pihak yang lain akan diakui melalui addendum. Tapi semua mekanisme pengakuan utang ini diluar mekanisme keuangan yang lumrah kita kenal, karena tidak dijurnal secara tertib berdasarkan SAP yang diakui. Adabnya potensi utang yang “idle” itu menjadi beban terselubung dari keuangan daerah Pemprov NTB. Tentu semua pihak harus mencermati ini. Wabilkhusus para kontraktor yang sedang H2C (harap-harap cemas) menanti pembayaran.

Kelima, defisit (belanja lebih besar dari pendapatan) pada tahun anggaran 2022 sebesar Rp 572 Miliar,

Apakah utang kontraktor bisa dibayar?

Sekarang kita kembali kepada pertanyaan paling penting dari tulisan ini? Apakah utang rekanan bisa dibayar? Poinnya tentu ada dua.
Bisa, dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Pak gubernur bersama TAPD menerapkan pelajaran puasa Ramadhan dalam mengelola anggaran 2023, dengan mereformasi politik belanja. Politik belanja 2023 mestinya adalah politik berpuasa, dengan memangkas belanja-belanja yang tidak perlu, dan merealokasikan pendapatan untuk pembayaran utang.
Disinilah kita menunggu “originalitas” kesederhanaan yang sering dimunculkan dalam lapis pencitraan bang Zul dalam memimpin NTB, dengan memimpin “puasa berjamaah” politisi dan birokrat se-NTB, dengan memangkas direktif dan pokir atau kegiatan lain yang kurang mendesak.
Yang kedua, sulit hutang ini akan mendapat cahaya manakala nafsu belanja ugal-ugalan melalui direktif masih muncul. Segala macam proposal masuk diiyakan, segala macam permintaan dipenuhi, dan atas nama kemerakyatan, setiap turun ke bawah memberikan beragam janji program.

Tentu pemerintahan ini harus cakap melihat kondisi saat ini. Terlebih bila menghitung waktu, tinggal menghitung bulan untuk purna tugas. Jangan warisi utang ini ke pemerintahan berikutnya. Dan akhirnya semoga pemerintahan ini berakhir husnul khatimah. Menggembirakan para pihak yang tengah menanti cahaya pembayaran hutang di ujung terowongan. (*)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI