Lahan pertanian di Lombok Barat menyempit akibat pembangunan perumahan

kicknews.today – Belum jelasnya lokasi yang ditetapkan menjadi Lahan Sawah Dilindungi (LSD) menyebabkan lahan pertanian produktif di Lombok Barat banyak dibangun perumahan oleh pengembang. Akibatnya, lahan produktif di Lombok Barat banyak tergerus oleh pembangunan perumahan dan kantor pemerintahan.

Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Lombok Barat, H Baharuddin Basya mengatakan, dengan pengendalian ruang dan alih fungsi lahan yang masih menjadi perdebatan terkait revisi RTRW Nomor 11 tahun 2011. Dimana pemerintah pusat sudah menetapkan LSD seluas 14 ribu hektar, namun karena alasan tidak ada ruang untuk investasi LSD itu pun ditolak.

“Akhirnya ditetapkan 10 ribu hektar oleh Kementerian ATR. Hanya saja, belum dituangkannya kebijakan dalam revisi RTRW, hingga menjadi tarik ulur kepentingan LSD tersebut,” jelasnya, Jumat (3/2).

Baharudin mengatakan, pengendali ruang dan alih fungsi lahan berada di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) dan Dinas Pertanian. Sedangkan Dinas Perkim sebagai salah satu pelengkap terakhir dalam rekomendasi izin perumahan atau lainnya.

“Dalam hal ini, Dinas Pertanian mengeluarkan semua rekomendasi untuk alih fungsi lahan, kalau tidak ada rekomendasi dari Distan, maka tidak mungkin keluar rekomendasi dari Tim Koordinasi Penata Ruang Daerah,” jelasnya.

Ia mengatakan, Pemda harus lebih selektif memberikan rekomendasi penggunaan lahan produktif untuk pembangunan perumahan. Sebab masih banyak lahan-lahan tidak produktif yang bisa diarahkan ke sana.

“Sementara di satu sisi, pengembang mencari lokasi strategis, seperti dekat dengan ibu kota kabupaten, pelayanan umum, akses publik dan angkutan,” jelas Baharudin.

Dikatannya untuk mengantisipasi lahan produktif terus tergerus pembangunan perumahan, dalam hal ini, dirinya sering diundang dalam pembahasan masalah lahan. Tentunya perlu segera diperjelas lokasi atau titik LSD yang seluas 10 ribu hektar itu.

“Misalnya 10 ribu hektar itu di dusun mana, diblok dan dibuatkan peta, biar kita tahu. Mestinya kalau sudah disepakati 10 ribu hektar itu, itu jadi ketentuan sawah dilindungi kemudian itu dituangkan dalam dokumen revisi RTRW, kemudian lebih detail ke RDTR-nya,’’ jelas dia.

Sejauh ini, karena belum ditentukan di mana titik 10 ribu hektar itu mengakibatkan OPD tidak ada kejelasan, sehingga itu menjadi ruang abu-abu yang diduga dimanfaatkan kesempatan oleh pengembang. Pihaknya tetap meminta kepada OPD terkait untuk memperkuat dan memperketat pengendalian ruang dan alih fungsi lahan dari sekarang ‘’Kalau tidak ada kejelasan di situ, dimanfaatkan kesempatan oleh oknum pengembang, kan itu menjadi masalah nantinya,” pungkasnya. (ys)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI