Kisah nenek Saep asal Lombok Timur, jalani hidup sebagai pengrajin tungku sejak 1950

Nenek Saep saat membuat tungku dari tanah liat
Nenek Saep saat membuat tungku dari tanah liat.

kicknews.today – Baiq Adenin atau kerap dipanggil Nenek Saep (85 tahun) bertahan hidup sebagai seorang pengrajin tungku sejak tahun 1950-an hingga kini. Nenek Saep yang berasal dari Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur itu menjadi pengrajin tanah liat yang eksis, meski kebiasaan tradisional dari warga lainnya sudah mulai ditinggalkan.

Nenek Saep memulai pekerjaan tersebut sejak dirinya masih usia anak-anak. Ilmu pengrajin tungku itu didapatkan langsung dari kedua orang tuanya. Dimana saat itu satu tungku masih harga 2 sen.

Meski sebagian besar masyarakat sekarang ini banyak beralih menggunakan peralatan memasak modern, namun eksistensi tungku tanah liat ternyata masih banyak diminati. Perempuan lanjut usia itu bertahan hidup untuk dirinya serta dua orang cucunya yang ditinggal nikah oleh kedua orangtuanya.

“Meski sekarang sudah banyak orang-orang beralih menggunakan peralatan bagus, tapi alat masak tradisional tungku ini masih banyak diminati masyarakat,” kata Nenek Saep saat ditemui pada Minggu (3/3/2024).

Saking lamanya menggeluti pekerjaan tersebut, pembeli sampai datang ke rumahnya untuk membeli langsung karya Nenek Saep. Namun, untuk sampai ke rumahnya harus melewati gang sempit, yang hanya bisa dilewati sepeda motor dan pejalan kaki. Rumahnya pun berada di pojok gang. Tidak ada barang elektronik satupun terpajang. Hanya tumpukan tanah liat yang siap diolahnya untuk dijadikan tungku.

Di teras dengan lantai tanah itulah nenek Saep setiap hari menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai pembuat tungku tanah liat tersebut. Meski sudah sangat tua, Nenek Saep tidak ingin bergantung hidup pada orang lain atau ketiga anaknya apalagi meminta-minta.

Meski kadang ia diberikan uang oleh anak-anaknya. Namun itu tidak cukup baginya untuk membeli kebutuhan pokok dan menghidupi kedua cucunya.

“Ini menjadi motivasi saya untuk tetap membuat tungku tradisional,” tambahnya.

Diakuinya, di usia sekarang ini, nenek Saep hanya bisa membuat empat sampai lima tungku perhari. Untuk model tungku, ada tiga jenis yang dibuat yakni tungku model panjang dengan dua lubang tempat memasak, tungku satu lubang dengan ukuran besar dan kecil.

“Ketiga model ini sama-sama laku dan banyak peminat. Karena harga tungku ini juga terjangkau,” katanya.

Satu tungku dengan model panjang dijualnya harga Rp35 sampai Rp50 ribu. Sedangkan harga tungku satu lubang mulai harga Rp25 sampai Rp40 ribu. Kemudian tungku satu lubang kecil harga Rp20 sampai 35 ribu.

Nenek Saep mengaku tungku yang sudah jadi atau matang pun langsung diambil pemesan, sisanya langsung dibawa ke pasar oleh kerabatnya. Untuk hasil penjualan nantinya akan dibagi dua.

“Adik dari almarhum suami saya dia yang selalu bawa tungku-tungku ini ke pasar. Hasilnya kami bagi dua,” jelasnya.

Diakuinya sudah empat tahun belakangan ini nenek Saep tidak pernah ke pasar dan keliling desa lantaran tidak kuat membawa tungku. Dia mengaku hanya membuat saja.

“Meski saya jarang keluar tapi pelanggan saya yang dulu-dulu masih banyak yang mencari bahkan sampai tidak kebagian, karena usia saya sudah tidak bisa membuat banyak lagi,” pungkasnya. (cit)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI