Israel: Ilusi Teologis Mengingkari Fakta Empiris

Ilustrasi Zionisme

Dalam  Yehezkiel — kitab suci umat beragama Yahudi –, pasal 37: 21 terdapat doktrin yang menegaskan bahwa Tuhan telah  menjanjikan  kepada mereka untuk kembali ke Eretz Yisrael (tanah Israel) ‘tanah yang dijanjikan’ (The Promised Land). Dengan doktrin ini, mereka berkewajiban melakukan Aliyah (bahasa teologisnya) atau migrasi ke bukit Zion (dalam bahasa politiknya), yaitu tindakan kembali ke tanah yang dijanjikan.

Doktrin tersebut dipahami  dengan beragam tafsir. Namun, secara umum terdapat dua versi tafsir yang mengemuka di kalangan kaum pemeluk Yahudi. Pertama, kelompok yang memahami kata “tanah” dalam doktrin tersebut sebagai “Tanah Suci” (holy land). Dengan pemahaman seperti ini, mereka hanya berkewajiban berziarah. Kelompok ini mayoritas bermukim di Amerika Serikat.Kedua,  kelompok yang meyakini bahwa tanah Israel (Eretz Yisrael) dalam doktrin tersebut adalah “Tanah Air” (homeland). Dengan pandangan teologisnya, kelompok ini, terutama Yahudi Diaspora berusaha melakukan migrasi ke tanah Palestina baik secara legal maupun secara ilegal, seperti perampasan tanah secara paksa yang berakibat konflik dengan masyarakat lokal.

Sebelum terbentuknya organisasi Zionisme – organisasi yang mengupayakan kembalinya kaum Yahudi ke tanah Israel –,  awalnya mereka berimigrasi ke Palestina atas kesadaran teologis personal,  terutama ketika wilayah Kanaan – sebutan masa lalu Palestina – ini masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Turki Ustmani.

Sebenarnya, problematikanya sangat complicated ketika membincang eksistensi negara modern Israel vis a vis doktrin teologis Eretz Yisrael. Bukan hanya persoalan metodologis dalam menafsiri doktrin tersebut yang menjadi perdebatan sengit di internal mereka. Tapi, juga tidak mudah mendeskripsikan bangsa Yahudi dan umat beragama Yahudi – merupakan dua istilah yang berbeda – dan implikasinya terhadap versi tafsir yang dominan mempengaruhi migrasi mereka ke tanah Palestina dengan pola-pola migrasi yang dilakukan.

Sampai saat ini, di kalangan bangsa Yahudi dan umat beragama Yahudi terus terjadi perdebatan untuk menentukan mana yang benar di antara dua versi tafsir atas kata Eretz Yisrael di atas. Sejumlah ilmuwan terkemuka Yahudi, seperti Albert Einstein, Eric Fromm, Sigmund Freud, Eric Hobsbawn, dr. Siamak Morsadegh, dan Noam Chomsky, lebih menyakini bahwa Eretz Yisrael dalam doktrin tersebut dimaknai sebagai “Tanah Suci” daripada sebagai “Tanah Air”. Menurut Einstein, ide negara Israel akan banyak hal menumui kesulitan karena didasarkan atas pemikiran yang sempit dan itu buruk. Psikolog sosial terkemuka Eric Fromm juga  mengomentari bahwa klaim tanah untuk bangsa Yahudi bukanlah klaim politik yang realistis. Sebab jika setiap pihak tiba-tiba mengklaim teritori bangsa lain yang telah menghuninya selama beribu-ribu tahun, maka hasilnya adalah kekacauan besar. Sama dengan Fromm, Psikoanalis Sigmund Freud, seorang Yahudi Austria berpandangan bahwa fanatisme yang tidak berdasar dari orang-orang satu keturunannya membangkitkan ketidakpercayaan dari bangsa Arab. Menurutnya,  tidak pantas ada empati pada jenis kesalehan berupa ide negara (Israel) yang salah arah, jenis kesalehan yang menyinggung perasaan penduduk asli. Sejarawan Yahudi-Marxis Eric Hobsbawm juga menegaskan bahwa akan sia-sia membangun narasi untuk menghubungkan antara kaum Yahudi dan mitos kuno Tanah Israel demi membenarkan teritori negara Israel. Noam Chomsky, filsuf dan kritikus politik terkemuka sekaligus sebagai profesor linguistik, juga berujar bahwa okupasi Israel lebih parah daripada politik apartheid. Zacharias Szumer  — yang lahir sebagai keturunan Yahudi dan besar di Australia –juga merespon bahwa gagasan ide negara Israel yang didasarkan pada sentimen etno-religius adalah sebuah kekeliruan. Menurutnya, pendirian Israel melalui proyek Zionisme adalah solusi yang kacau untuk permasalahan yang kacau. Menegasi sejumlah pandangan di atas,  dr. Siamak Morsadegh — satu-satunya anggota parlemen Iran berdarah Yahudi – migrasi ke Israel bukan pilihan. Jika kaum Yahudi harus tinggal di satu tempat berarti membenarkan pandangan bahwa kaum Yahudi berbeda dengan manusia pada umumnya.

Tak ada yang meragukan peran dan kontribusi para ilmuwan tersebut terhadap bangunan sains modern sehingga dunia Barat (baca Eropa dan Amerika Serikat) mengalami lompatan kemajuan yang belum pernah dicapai oleh bangsa-bangsa sebelumnya. Namun, obyektivitas pemikiraan mereka menyangkut ide negara Israel tidak mendapatkan respon yang memadai dari masyarakat dimana paham Zionisme berkembang. Alih-alih dijadikan referensi, justru pandangan mereka mendapatkan perlawanan dari pihak yang berilusi teologis tentang ide negara tersebut.

Berbeda dengan penganut paham “Holy Land” yang hanya beraksi secara personal, nyaris tanpa gerakan yang memadai, Penganut paham “Homeland” melakukan gerakan struktural, sistematis, dan masif dalam mewujudkan ide negara Israel. Di samping itu, mereka membangun sinergi di wilayah ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya, sastra, sejarah, dan teologi untuk membangun tesis bahwa negara Israel adalah fakta, suatu realitas yang nyata bukan ilusi. Kemudian, gerakan ini didukung oleh kekuatan militer, politik, ekonomi dan press kelas dunia, khususnya yang berbasis di Inggris dan Amerika Serikat.    

Gerakan ini terorganisasi lebih rapi berawal dari adanya konsep historis Zionisme oleh Ben Zion-Dinur, sejarawan dan akivis Zionis generasi pertama  dan tulisan jurnalis berdarah Yahudi kelahiran Hungaria, Theodor Herzl yang berjudul Der Judenstaat (Negara Yahudi) pada tahun 1896. Dengan ide tersebut, Herzl membangun jaringan lintas batas untuk menghimpun setiap orang Yahudi Eropa yang mengalami diskriminasi. Pada 29 – 30 Agustus 1897 di Aula konser Casino Muncipal di kota Basel, Swiss, dia berhasil menggelar Kongres Pertama organisasi Zionisme di mana dia dipilih sebagai ketuanya. Gerakan ini semakin menemukan justifikasi historisnya setelah adanya konsep Zionisme yang ditulis oleh Sir Martin Gilbert — sejarawan kenamaan asal inggris – dalam Atlas of the Israel-Palestine Conflict. Di sini, narasi mitos historis mereka tidak saja mendapatkan dukungan di kalangan Yahudi, tetapi juga berhasil mempengaruhi sentimen kulkural dan ideolgi fundamentalis di luar masyarakat Yahudi.

Mendapatkan dukungan kultural dari Non-Yahudi dan pada saat yang bersamaan gelombang anti semit  Eropa dan Rusia semakin menggila, terumata oleh Adoft Hitler dengan mesin politiknya Nazi yang meng-holocaust sekitar 6 juta bangsa Yahudi, usaha pendirian Negara Israel semakin menguat. Pada kongres Keenam (26 Agustus 1903), Theodor Herzl sempat mengusulkan Afrika Timur (baca Uganda) sebagai tempat  tinggal bagi komunitas Yahudi. Namun, usulan tersebut justru memantik polemik baru di kalangan Yahudi. Gagal dalam kongres keenam, pada 2 November 1917, organisasi Zionisme berhasil merumuskan Deklarasi Balfour yang memberi mandat kepada Inggris untuk menjadikan Palestina sebagai rumah bangsa Yahudi. Namun, Inggris dianggap tidak berindak sesuai harapan dalam menjalankan mandat tersebut. Selanjutnya,  para pemimpin Zionis berkumpul di hotel Biltmore New York pada tahun 1942 dan menetapkan secara Resmi Palestina sebagai wilayah Persemakmuran Yahudi. Akhirnya, pada tahun 1948, negara modern Israel resmi berdiri.

Ada sejumlah faktor terpilihnya Palestina (tepatnya wilayah Palestina bagian Timur) sebagai wilayah teritorial negara Israel, yaitu: 1) Fakta historis, secara kultural-teologis orang Yahudi di luar Palestina biasa datang ke daerah tersebut untuk melakukan ziarah ke Tanah Suci (Eretz Yisrael); 2) Berubahnya konsep “Holy Landa” menjadi “Homeland” yang didukung oleh narasi-narasi ‘ilmu pengetahuan yang terkendali’ dalam berbagai disiplin ilmu; 3) konsep historis yang berbau mitos yang disusun Sir Martin Gilbert mampu meyakinkan masyarakat luas baik Yahudi maupun Non-Yahudi; 4) Sentimen anti-semitisme bangsa-bangsa Eropa yang meyakini bahwa bangsa Yahudi tidak dapat beritegrasi dengan bangsa Eropa; 5) Kerajaan Turki Ustmani memilih bersekutu dengan Jerman dalam perang dunia I (1914 -1918) untuk menghadapi perang melawan Inggris dan Perancis. Selanjutnya, sesuai isi perjanjian Damai Sevres pada tahun 10 Agustus 1920 antara Kerajaan Turki dengan Sekutu di ujung perang Dunia I, Palestina sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Turki Ustmani harus diserahkan kepada Inggis sebagai pihak yang menang perang; 6) Korespondensi Pimpinan Makkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon (tahun 1914-1915) yang menghasilkan kerja sama bidang politik, termasuk masa depan politik Palestina.

Pada hakekatnya, mitos historis-teologis yang dibungkus dengan narasi ilmu pengetahuan sebagai dasar penetapan Palestina sebagai wilayah negara modern Israel adalah sebuah anomali yang ekstrim dalam koridor berpikir positivistik – suatu paradigma sebagai basis epistemologis sains modern yang notabenenya menolak mitos, ilusi, dan hal-hal berbau teologis. Lebih ironi lagi, narasi ilmu pengetahuan yang dibangun tersebut menolak realita, fakta empiris atas keberadaan Palestika sebagai daerah yang berpenghuni, bukan tanah  kosong tak bertuan sebagaimana dijelaskan dalam tesis-tesis teologis para penganut Zionisme. Menurut sejarawan Yahudi Shlomo Sand dalam The Invention of the Land of Israel: From Holy Land to Homeland (2012), keyakinan Yerusalem sebagai tanah air bagi kaum Yahudi merupakan temuan modern – untuk tidak disebut temuan fiktif — daripada sebuah tradisi yang ditampilkan kembali. Baginya, Yerusalem lebih bermakna sebagai tanah suci daripada tanah air. Karen Armstrong dalam bukunya Jerusalem: Satu Kota Tiga Iman, menyatakan banyak bukti yang memperkuat pernyataan bahwa Bangsa Kanaan lebih dahulu mendiami Palestina. Menegasi temuan Armstrong, Umar Anggara Jenie, kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan, Kota Jerusalem merupakan bukti yang paling baik dalam kekunoaan permukiman-permukiman bangsa Arab –semistis purba di Palestina– yang telah berada di sana jauh sebelum bangsa-bangsa lainnya datang. Menurutnya, kota ini didirikan oleh suku-suku Jebus, yaitu cabang dari bangsa Kanaan yang hidup sekitar 5000 tahun lalu.

Data-data empiris  tentang ketiadaan tanah kosong dan bangsa Arab sebagai penghuni pertama di Palestina  — termasuk pada masa khalifah Umar Ibn Khattab r.a. — yang diungkap di atas mestinya menjadi pegangan utama bagi dunia Barat dalam merespon isu Zionisme. Alih-alih mengakui kebenaran data empiris tersebut, Barat yang sangat fanatik dengan logika empirisme justru harus melemahkan logikanya sendiri demi mendukung ide negara Israel yang dibangun atas mitos-mitos historis yang sesungguhnya berlawanan dengan budaya berpikir rasional-empiris mereka.  Inilah anomali di atas anomali, kriminalisme intelektual yang berujung pada pengabsahan tindakan dehumanisasi ekstrim atas nama mitos kuno dan ilusi teologis yang dipertontonkan oleh Barat, khususnya Inggris, Amerika Serikat, bangsa yang mengaku mencapai puncak medernisme sebagaimana dideklarasikan oleh Francis Fukuyama melalui judul bukunya The End of History and the Last Man.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Dr Syamsul Arifin, MA

Penulis ialah seorang akademisi dan peneliti

Artikel Terkait

OPINI