Desa yang hilang di Lombok Utara: Menguak jejak gaib Besari, kampung yang tak pernah benar-benar pergi

Ilustrasi Desa Besari
Ilustrasi Desa Besari

kicknews.todayDi tengah hijaunya lereng Gangga, tersimpan kisah yang tak ditemukan dalam buku sejarah sekolah. Sebuah desa yang diyakini telah hilang secara fisik, namun tetap hidup dalam kesaksian, jejak artefak, dan bisikan alam. Namanya: Desa Besari.

“Kami diajari sejak kecil, Besari itu bukan mitos. Ia pernah ada, dan masih ada, hanya tak kasat mata,” ujar Lalu Muhammad, seorang tetua adat di Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Lombok Utara.

Cerita itu diwariskan turun-temurun. Sekitar abad ke-17, saat pasukan Kerajaan Karangasem dari Bali menginvasi Lombok, Datu Besari pemimpin wilayah itu memilih tidak menyerah. Ia melindungi rakyatnya bukan dengan senjata, tapi dengan spiritualitas. Ia memimpin doa, lalu menyiram air yang telah dibacakan mantra ke seluruh penjuru desa. Sejak saat itu, desa itu dan semua yang ada di dalamnya menghilang dari pandangan.

Namun bagi masyarakat sekitar, desa itu tidak lenyap. Ia hanya pindah ke “dunia lain”.

Salah satu cerita paling populer datang dari seorang pedagang tikar yang hendak pulang dari Bayan. Ia mengaku menjual dagangannya ke sebuah desa ramai di sekitar hutan Gangga. Tapi keesokan harinya, saat ia kembali untuk mengantar pesanan, desa itu tak lagi ada. Yang tersisa hanya semak belukar dan sunyi.

Cerita lain terjadi pascagempa Lombok 2018. Tim medis dari relawan PMI mendirikan posko kesehatan di dekat Air Terjun Kerta Gangga. Puluhan warga datang berobat. Anehnya, saat dilakukan pendataan lebih lanjut, tak satu pun nama pasien tercatat sebagai penduduk resmi desa mana pun di sekitarnya.

“Kami sempat bingung, semua pasien datang dari arah utara lembah, pakai pakaian sopan, dan logatnya halus. Tapi tak ada satu pun nama mereka ditemukan dalam sistem distribusi logistik,” ujar Ade Lativa Fitri, relawan medis, kepada Liputan6 pada 2023.

Di balik misteri itu, ada pula bukti-bukti nyata. Di Museum Desa Genggelang, tersimpan benda-benda yang disebut sebagai peninggalan Besari: rompi raja, papan warige, lampu minyak, hingga botol tinta kuno. Beberapa artefak ditulis dengan aksara kuno yang belum sepenuhnya bisa diterjemahkan.

“Rompi ini katanya peninggalan Datu Besari. Kami rawat baik-baik, karena ini bukti bahwa mereka pernah hidup di sini,” kata Jumahir, pengelola museum dan kepala dusun setempat.

Tak jauh dari museum, sisa pondasi masjid tua masih bisa dijumpai di tengah hutan. Dikelilingi akar dan pohon besar, bangunan itu diyakini sebagai pusat spiritual Desa Besari sebelum hilang.

Tahun 2022, Lembaga Kajian Sosial Politik Mi6 bersama PDIP NTB melakukan ekspedisi khusus. Mereka menggunakan pendekatan budaya, spiritual, dan penerawangan batin untuk memetakan potensi lokasi kampung yang hilang.

“Hasilnya mengejutkan. Kami temukan pola benteng dan jejak permukiman berbentuk lingkaran. Lokasi ini tidak tercatat dalam peta resmi,” kata H. Hermansyah, ketua tim ekspedisi, kepada Radar Lombok.

Mereka menyarankan agar dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut, terutama pada zona yang disebut warga sebagai “Bukit Jeloq”, yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir Datu Besari.

Namun hingga kini, belum ada tindak lanjut resmi dari instansi arkeologi atau pemerintah.

Cerita Besari kini mulai menjadi daya tarik. Banyak wisatawan spiritual mengunjungi kawasan Air Terjun Kerta Gangga dan Rumah Pohon Murmas bukan hanya untuk foto-foto, tapi mencari pengalaman batin.

“Beberapa pengunjung datang hanya untuk duduk diam. Katanya ingin ‘bertemu’ atau dapat petunjuk. Kami hanya bisa bilang: jangan macam-macam, hormati tempat ini,” ucap Nurhayati, penjaga warung di sekitar lokasi.

Namun sisi lain dari cerita ini adalah potensi ekonomi dan warisan budaya. Desa Genggelang kini mengembangkan wisata edukatif dan ecoprint, berusaha mengangkat kisah Besari sebagai bagian dari identitas lokal.

Desa yang hilang ini menjadi cermin: tentang betapa tipisnya batas antara sejarah dan kepercayaan. Meski belum terbukti secara ilmiah, Besari telah menjadi bagian tak terpisahkan dari memori kolektif masyarakat Lombok Utara.

Dan mungkin, seperti kata orang-orang tua di sana:

“Besari tidak pernah pergi. Kita saja yang tak lagi bisa melihatnya.”

Maka jika suatu malam kamu berada di Gangga dan melihat pasar tiba-tiba muncul di tengah kabut—barangkali kamu sedang menginjakkan kaki di Besari. Tapi ingat, jangan bawa pulang apapun kecuali cerita. (red.)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI