Dari Ruang Operasi ke Ruang Senat: Jejak Inovasi Prof. Hamsu di Era Digital Kesehatan

Prof Hamsu Kadriyan saat memimpin operasi
Prof Hamsu Kadriyan saat memimpin operasi

Oleh: Redaksi

kicknews.today – Di ruang operasi yang sunyi, di tengah denting instrumen bedah dan cahaya lampu putih, Prof. Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K), M.Kes berdiri tegak di balik masker dan kaca pelindungnya. Suara napas pasien tersambung ke monitor, dan di hadapannya terbentang layar digital berisi citra rongga di dalam telinga. Dengan tenang, ia memandu timnya menuntaskan tindakan operasi yang dulu hanya bisa dilakukan di rumah sakit besar di Jawa. Kini, semua itu terjadi di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Namun kisah Prof. Hamsu tidak berhenti di ruang operasi. Di balik jas dokternya, ia adalah akademisi yang membawa semangat Revolusi Industri 4.0 ke dunia medis dan kini berupaya menularkannya ke dunia akademik yang lebih luas: Universitas Mataram (Unram).

Dokter yang Menulis Tentang Zaman

Tahun 2019, Prof. Hamsu menulis buku berjudul Pelayanan Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan–Kepala dan Leher pada Masa Revolusi Industri 4.0: Refleksi dan Studi Kasus di NTB.
Buku itu menjadi semacam otobiografi intelektual: bagaimana seorang dokter daerah membaca tanda-tanda zaman digital, lalu mengubahnya menjadi aksi nyata.

Ia menulis, “Revolusi industri 4.0 mempunyai manfaat yang sangat banyak, termasuk dalam bidang kedokteran dan THT-KL, namun harus digunakan secara bijak agar tidak menimbulkan dampak negatif.”

Dari kutipan sederhana itu, terlihat satu hal: ia bukan sekadar penganut teknologi, tapi penganjur kearifan digital. Ia mengingatkan bahwa antara pasien dan dokter harus ada “jembatan komunikasi”- konsep yang kini menjadi pijakan penting dalam kepemimpinan akademik yang ingin ia bangun di Unram.

Membangun Medis NTB

Saat pertama kali pulang ke NTB awal 2000-an, jumlah dokter spesialis THT-KL di provinsi ini hanya tiga orang. Laboratorium penelitian nyaris tidak ada, alat endoskopi masih menjadi barang mewah, dan sebagian besar pasien harus dirujuk ke Surabaya atau Denpasar.

Dua dekade kemudian, situasinya berubah total. NTB kini memiliki jauh lebih banyak dokter spesialis THT-KL dibanding awal 2000-an. Layanan operasi mikro, laboratorium biomolekuler, hingga riset onkologi kepala-leher kini tumbuh pesat dan bahkan telah dipresentasikan di forum internasional seperti di Jepang dan ASHNO.

Semua itu, menurut catatan berbagai publikasi ilmiah, terjadi tidak lepas dari peran Prof. Hamsu. Ia membangun sistem pendidikan berkelanjutan bagi dokter muda, mendirikan cabang PERHATI-KL NTB, dan menginisiasi penggunaan teknologi seperti video-otoskopi, OAE digital, dan telekonsultasi medis di rumah sakit daerah.

Inovasi yang semula dianggap “terlalu canggih untuk NTB” kini menjadi standar pelayanan.

Kedokteran Sebagai Cermin Kepemimpinan

Dalam berbagai kesempatan, Prof. Hamsu sering berkata,

“Menjadi pemimpin itu seperti menjadi dokter - mendengarkan dulu, baru menindak.”

Filosofi itu kini ia bawa ke dunia kampus. Bagi Hamsu, universitas harus bertransformasi layaknya sistem pelayanan kesehatan: berbasis data, berorientasi pada pelayanan publik, dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

Ia menyebut konsep itu sebagai “Smart University, Smart Humanity.”
Sebuah gagasan bahwa digitalisasi bukan tujuan akhir, tetapi sarana untuk memperkuat nilai kemanusiaan dalam pendidikan tinggi.

NTB Sebagai Laboratorium Ilmu dan Empati

Dari penelitian tentang human beta defensin hingga studi tentang gangguan pendengaran pada bayi di ruang NICU, Prof. Hamsu selalu menjadikan NTB sebagai laboratorium terbuka.
Ia percaya, inovasi tidak hanya lahir di gedung-gedung tinggi Jakarta, tetapi juga di lapangan tempat data nyata dihasilkan.

Bahkan, ia mengaitkan dunia medis dengan pariwisata – mengembangkan konsep “Health Tourism” di Lombok yang kini menjadi bagian dari kurikulum Fakultas Kedokteran Unram. Gagasannya sederhana: wisata kesehatan yang berkelanjutan akan memperkuat citra NTB sebagai daerah cerdas dan sehat.

Dari Klinik ke Senat

Kini, Prof. Hamsu bersiap membawa semangat yang sama ke Ruang Senat Universitas Mataram.
Baginya, rektor bukan sekadar jabatan administratif, melainkan simbol keilmuan yang harus terus “mendiagnosis” problem kampus dan memberi “terapi kebijakan” yang berbasis bukti.

“Kampus dan rumah sakit sebenarnya serupa,” ujarnya suatu kali. “Keduanya hidup dari kepercayaan masyarakat dan integritas orang-orang di dalamnya.”

Dalam tangannya, konsep pelayanan akademik menjadi analogi dari pelayanan kesehatan – keduanya harus cepat, transparan, beretika, dan berorientasi pada manusia.

Perjalanan Prof. Hamsu adalah perjalanan seorang ilmuwan yang menolak untuk diam di zona nyaman. Dari ruang operasi ke ruang senat, dari penelitian biomolekuler hingga gagasan manajemen kampus, ia membawa satu pesan yang tak lekang oleh waktu:

“Transformasi sejati bukan soal teknologi, tapi soal keberanian manusia untuk belajar lagi.”

Dan mungkin, itulah diagnosis paling tepat untuk dunia pendidikan kita hari ini. (*)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI