kicknews.today – Gunung Rinjani, megah dan mistis, tidak hanya menyimpan pesona alam tapi juga kisah luka. Di balik kabut yang menyelimuti puncaknya akhir Juni lalu, seorang perempuan dari Brasil bernama Juliana Marins menghembuskan napas terakhirnya. Dan dari balik tragedi itu, lahirlah sebuah kesadaran baru: bahwa pendakian bukan hanya tentang menaklukkan alam, tapi juga tentang menghormatinya.
Di ketinggian lebih dari 2.000 meter, seorang pria berkemeja lusuh dan tas carrier yang sudah banyak tambalan berdiri menatap kawah Rinjani. Namanya Agam. Warganet mengenalnya sebagai “Agam Rinjani” – relawan evakuasi yang ikut mengangkat jenazah Juliana dari tebing curam Rinjani.

Namanya sontak viral. Foto dan videonya tersebar di media sosial, disebut sebagai “pahlawan”, bahkan dirayakan dengan rencana penggalangan dana oleh warganet Brasil. Tapi ketika kami menemuinya beberapa hari setelah proses evakuasi, kata-kata pertamanya justru membalik narasi itu.
“Pahlawan Rinjani itu Juliana, bukan saya,” ucapnya pelan, sambil menunduk.
Agam bukan siapa-siapa. Ia bukan anggota SAR resmi, bukan aparat, bukan juga tokoh publik. Lelaki asal Makassar ini memilih hidup sederhana di kaki Rinjani, membantu para pendaki, ikut bersih-bersih gunung dan menjadi kawan sunyi bagi alam. Ketika kabar hilangnya Juliana tersebar, ia ikut naik, tanpa banyak bicara, hanya membawa tekad: menyelamatkan manusia.
Tapi medan terlalu berat. Hujan, kabut tebal, dan jurang yang licin memperlambat pencarian. Juliana ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Agam dan tim harus mengangkat jenazah Juliana sejauh 600 meter tanpa helikopter.
“Saya cuma mikir, gimana kalau itu adik saya sendiri,” kata Agam, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh angin gunung.
Tragedi itu menggugah banyak pihak. Pemerintah Provinsi NTB pun akhirnya angkat suara. Dalam unggahan video di media sosial resminya, Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menyampaikan belasungkawa dan janji: regulasi pendakian Rinjani akan dibenahi.
“Kami akan melakukan evaluasi menyeluruh. SOP pendakian, pelatihan petugas, sampai skema evakuasi. Ini janji kami, agar tak ada lagi Juliana lain di masa depan,” ucap Gubernur Iqbal.
Pemerintah langsung menggelar rapat koordinasi lintas sektor yang dipimpin Pelaksana Harian Sekda NTB. Fokus utama: keselamatan. Karena selama ini, daya tarik Rinjani seringkali melebihi kesiapan teknis para pendaki maupun pengelola jalur.
Namun, di tengah gegap gempita perbaikan dan pencitraan, Agam justru memilih menjauh. Ia tak ingin disebut pahlawan. Ia merasa tak pantas.
“Saya cuma bantu. Yang berani ambil keputusan turun saat semua ragu-ragu, itu Tim SAR. Yang terus panggul sampai turun gunung, itu kerja tim. Dan yang membuat kita semua peduli lagi pada regulasi dan keselamatan… itu Juliana,” katanya.
Hari ini, di jalur Senaru, papan-papan peringatan mulai ditambah. Petugas mulai rutin patroli. Tapi di hati para pendaki yang tahu cerita ini, satu hal tak berubah: nama Juliana akan selalu diingat sebagai perempuan yang mengorbankan nyawanya di Rinjani, agar gunung itu jadi lebih aman bagi semua.
Dan Agam?
Dia tetap di sana. Di antara pohon cemara dan angin, menjadi saksi bisu, sambil sesekali mengingatkan lewat bisikannya yang jujur:
“Jangan lupa… kita ini tamu di rumah Anjani.” (red.)