kicknews.today – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan di Kota Tua Ampenan, Lombok, sebuah kisah indah terukir di balik pendirian Rumah Sakit St. Antonius. Sejarah ini dimulai pada tahun 1948/49, ketika sekelompok orang Tionghoa yang tergabung dalam perkumpulan Chung Hua Chung Hueei, mendengarkan panggilan hati mereka untuk membangun sebuah tempat yang bisa memberikan harapan dan pengobatan bagi sesama. Inisiatif ini lahir berkat anjuran seorang dokter pemerintah, Dr. Liem, yang percaya bahwa kesehatan adalah hak setiap individu.
Dengan tekad kuat, perkumpulan ini mengadakan perjanjian dengan Misi Katolik di Lombok. Mereka bersedia menyediakan tanah, membangun, dan memberikan fasilitas rumah sakit dengan kapasitas 200 tempat tidur, sementara pihak misi diminta untuk menyediakan staf medis selama satu dekade. Pada saat itu, Pastor A de Boer, SVD, menjadi satu-satunya pastor yang berdedikasi di Mataram, mengawasi kelahiran harapan baru di tengah komunitas yang sedang berjuang.
Namun, seperti hidup yang penuh liku-liku, rencana ini menemui batu sandungan. Tahun 1950 membawa krisis ekonomi yang menghancurkan, dengan devaluasi mata uang yang mencapai 50%. Chung Hua Chung Hueei pun terpaksa membatalkan rencana mulia mereka. Hanya ada segelintir tokoh yang berjanji membantu, dan hanya satu yang setia pada janjinya, memberikan dukungan sebesar Rp 10.000,-. Dalam keputusasaan, Pater Gierlings, SVD, tidak menyerah; ia melanjutkan misi dengan hati yang teguh.
Dengan cerdas, Pater Gierlings memanfaatkan gedung bekas sekolah Tionghoa untuk dijadikan poliklinik. Ruang kelas yang dulunya dipenuhi tawa anak-anak, kini menjadi tempat harapan baru bagi mereka yang membutuhkan perawatan. Dan pada 8 Desember 1950, poliklinik itu resmi dibuka, di bawah bimbingan dokter Liu yang menamai tempat itu “St. Antonius dari Padua.” Pasien pun berdatangan dengan harapan besar, namun tantangan terus menguji.
Ketika Dr. Liu tiba, ijazahnya tidak diakui di Indonesia, namun komitmennya untuk membantu masyarakat Lombok tak tergoyahkan. Ia menolak tawaran lain dan memilih untuk tinggal, bahkan jika itu berarti kembali ke tanah kelahirannya. Pada akhirnya, pada 3 Mei 1952, kehadiran para suster religius menjadi kunci untuk mewujudkan pelayanan yang lebih luas. Mereka datang sebagai pelayan cinta, siap memberikan perhatian dan kasih sayang kepada setiap pasien yang memerlukan.
Di kompleks Rumah Sakit St. Antonius, sebuah gereja pun didirikan. Awalnya, gereja ini berada di kompleks RS Antonius Karang Ujung dan diresmikan oleh Uskup Denpasar, Mgr. Paulus Sani Kleden SVD, pada tahun 1963. Namun, seiring berjalannya waktu, gereja ini dirobohkan dan dibangun kembali pada tahun 2002 di lokasi yang lebih baik, dengan pemberkatan oleh Uskup Denpasar, Mgr. Silvester Tung Kiem San, pada tahun 2009.
Paroki Ampenan, tempat di mana rumah sakit ini berada, menjadi rumah bagi umat Katolik yang berasal dari berbagai daerah, termasuk Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa, dan pulau-pulau lainnya. Keturunan Tionghoa juga berperan penting dalam dinamika paroki ini. Paroki Ampenan, yang dilayani oleh para pastor dari ordo Serikat Sabda Allah (SVD), menjadi saksi bisu perjalanan iman dan harapan masyarakatnya.
Suster-Suster Misionaris Abdi Roh Kudus (SSpS) mengungkapkan, “Rumah Sakit St. Antonius bukan hanya tempat perawatan fisik, tetapi juga ruang spiritual di mana setiap pasien diperlakukan dengan kasih dan hormat, mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh misi kami.” Kalimat ini menggambarkan esensi dari pelayanan di rumah sakit ini, di mana setiap tindakan penuh makna dan dedikasi.
Dalam perjalanan panjangnya, Rumah Sakit St. Antonius dan Gereja di Ampenan telah menjadi simbol persatuan dan cinta kasih antar komunitas. Di tengah berbagai tantangan sosial dan ekonomi, mereka terus melayani dengan semangat yang tak pernah padam, menjadi harapan bagi mereka yang membutuhkan. Kisah ini adalah pengingat bahwa di balik setiap gedung dan fasilitas, ada jiwa-jiwa yang berjuang, saling menguatkan, dan menghadirkan harapan bagi masa depan. (red.)