kicknews.today – Pada tanggal 5 Agustus 2018, ketika matahari mulai terbenam dan penduduk Pulau Lombok bersiap untuk menikmati malam yang tenang. Muadzin adzan maghrib baru juga turun dari mimbar. Bumi tiba-tiba bergetar dengan kekuatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tepat pada pukul 19:46 WITA, gempa bumi berkekuatan 7.0 Ms (6.9 Mw) mengguncang Lombok, dengan pusat gempa terletak di 18 km barat laut Lombok Timur dan kedalaman 15 km. Gempa ini tidak hanya meruntuhkan bangunan, tetapi juga mengguncang hati dan jiwa masyarakat Lombok.
Awal Malam yang Mengubah Segalanya
Getaran hebat dirasakan di seluruh pulau, bahkan sampai ke Bali dan Sumbawa. Di Kabupaten Lombok Utara, pusat gempa, hampir 80% bangunan rusak atau hancur. Rumah-rumah, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya roboh, meninggalkan puing-puing dan kerusakan yang luar biasa. Guncangan ini tidak hanya menghancurkan bangunan fisik tetapi juga merobek kehidupan ribuan orang.
Malam itu, di tengah guncangan yang mengguncang, masyarakat Lombok berlarian keluar rumah, mencari tempat yang aman. Suara tangisan, teriakan, dan doa menyatu dalam kebingungan dan kepanikan. Peringatan tsunami yang dikeluarkan oleh BMKG semakin menambah kecemasan.
Peringatan Tsunami
Pengumuman dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pusat dikeluarkan seketika setelah gempa besar itu. Warga diminta tetap tenang dan menjauhi bibir pantai pasca gempa 7 Skala Richter (SR).
Dinyatakan bahwa gempa yang berlokasi di 8.37 LS, 116.48BT dengan kedalaman 15 Kilometer berpotensi mengakibatkan terjadinya tsunami.
“Meski prediksi gelombang paling tinggi hanya setengah meter, tapi kami minta masyarakat segera jauhi bibir pantai dan mencari tempat yang jauh lebih tinggi. Upayakan untuk tetap tenang dan tidak panik,” ungkap Kepala BMKG Pusat, Dwikorita Karnawati di Jakarta, Minggu (5/8/2018).
Dwikorita mengatakan gelombang tsunami yang tiba bisa saja berbeda-beda. “Gelombang yang pertama bisa saja bukan yang terbesar,” tuturnya.
Kehilangan yang Tak Tergantikan
Tragedi ini menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebanyak 564 orang meninggal dunia, lebih dari 7.000 orang terluka, dan lebih dari 417.000 orang kehilangan tempat tinggal. Sebagian besar korban tewas akibat tertimpa puing-puing bangunan yang runtuh. Di Lombok Utara, korban tewas mencapai 464 orang, sementara di Bali dua orang meninggal dunia.
Senin malam, pasca gempa, evakuasi segera dilakukan terhadap para wisatawan dan warga di Pulau Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Sebanyak 3.000 orang dievakuasi, dan hingga pukul 17.00 WITA, tim SAR gabungan telah mengevakuasi 2.700 orang menggunakan kapal. Menko Polhukam Wiranto menyatakan bahwa personel dari Pemda, TNI, dan Polri serta ekskavator dari Pemda dan pihak swasta diperlukan untuk menyelamatkan warga yang terjebak di bawah reruntuhan.
Bagi banyak keluarga, gempa ini berarti kehilangan orang-orang tercinta. Anak-anak kehilangan orang tua, pasangan kehilangan belahan jiwa, dan banyak yang kehilangan sahabat serta tetangga. Kehilangan ini terasa begitu mendalam dan menyakitkan, meninggalkan luka yang sulit untuk sembuh.
Di tengah kehancuran dan kesedihan, upaya bantuan segera dilakukan. Relawan dari berbagai daerah datang untuk membantu. Bantuan makanan, air bersih, dan perlengkapan medis didistribusikan. Namun, tantangan yang dihadapi sangat besar. Jaringan telekomunikasi yang padam dan akses yang sulit membuat distribusi bantuan menjadi lambat dan tidak merata.
Namun, di balik setiap tragedi, selalu ada kisah kemanusiaan yang mengharukan. Di Desa-desa Lombok Utara, penduduk saling membantu satu sama lain, berbagi makanan dan tempat berlindung. Relawan dari luar daerah datang membawa harapan dan semangat. Mereka bekerja siang dan malam, tanpa kenal lelah, untuk membantu para korban. Solidaritas dan kebersamaan menjadi kekuatan yang menggerakkan mereka.
Teror Telapak Tangan Ghaib pasca gempa
Di tengah upaya pemulihan, muncul teror baru yang mengganggu ketenangan para pengungsi. Setelah gempa, beberapa rumah warga ditemukan memiliki cap telapak tangan yang misterius. Cap-cap ini menyebar dari satu rumah ke rumah lainnya, menciptakan ketakutan di kalangan warga. Banyak yang percaya bahwa cap tersebut adalah ulah makhluk gaib, namun penyelidikan menunjukkan sebaliknya.
Danrem 162/WB, Kolonel Czi Ahmad Rizal Ramdhani, mengungkapkan bahwa cap telapak tangan tersebut merupakan rekayasa dari oknum-oknum yang ingin menjarah rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya. “Cap tangan itu indikasinya sudah kami teliti dengan teman-teman Polda bahwa itu adalah rekayasa masyarakat. Dari kelompok-kelompok yang sengaja membuat resah, dengan harapan masyarakat meninggalkan rumah masing-masing. Begitu masyarakat meninggalkan rumah, mereka akan masuk untuk menjarah rumah tersebut,” ujarnya, Rabu (29/08/2018).
Untuk menjaga kondusivitas masyarakat, TNI dan Polda NTB meningkatkan patroli malam di rumah-rumah yang ditinggalkan warga mengungsi. “Kami dengan teman-teman Polda sekarang tiap malam patroli terus untuk mengamankan rumah-rumah masyarakat yang ditinggalkan. Isu cap tangan hanya isu saja,” tutupnya.
Pelajaran dari Bencana
Bencana ini mengajarkan banyak hal penting. Pentingnya bangunan yang tahan gempa, kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan pengetahuan tentang mitigasi bencana menjadi pelajaran berharga. Namun yang terpenting, bencana ini mengingatkan kita akan kekuatan solidaritas dan kemanusiaan. Di tengah kehancuran, manusia mampu bangkit dan saling membantu untuk membangun kembali kehidupan.
Gempa bumi Lombok 2018 akan selalu menjadi kenangan yang menyedihkan. Namun, dari tragedi ini juga muncul harapan dan tekad untuk membangun kembali. Lombok akan bangkit, dengan semangat dan kebersamaan yang lebih kuat dari sebelumnya. Kekuatan alam memang dahsyat, tetapi kekuatan kemanusiaan tidak kalah hebat. (red.)