kicknews.today – Desa Tete Batu, Kecamatan Sikur, Lombok Timur mewakili Indonesia di ajang Best Tourism Village (BTV) yang digelar United Nation World Tourism organization (UNWTO).
Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Timur H. Muhammad Juaini Taofik menyampaikan terima kasihnya kepada semua pihak yang telah membantu sehingga Desa Tete Batu terpilih mewakili Indonesia dalam ajang bergengsi dunia itu dari 75 ribu desa yang ada di Indonesia.

“Momentum ini akan membawa pariwisata NTB, khususnya Lombok Timur ke kancah Internasional,” katanya.
Sementara itu, Taufan Rahmadi, Pemerhati Pariwisata Nasional yang sekaligus PIC yang ditunjuk Menparekraf Sandiaga Salahudin Uno untuk mengawal proses perjuangan Desa Tete Batu menuju Best Tourism Village 2021 menyampaikan setidaknya ada 7 alasan Desa Tete Batu layak sebagai kandidat Desa Wisata Terbaik Dunia.
Yang pertama menurutnya, hutan Tete Batu selatan Rinjani berkontribusi terhadap perubahan iklim global.
“Hutan tropis Tete Batu membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Pembuangan karbon dioksida ke atmosfer diyakini berpengaruh terhadap perubahan iklim melalui pemanasan global. Oleh karena itu, hutan hujan Tete Batu memiliki peran penting dalam mengatasi pemanasan global hari ini. Selain itu, hutan selatan Rinjani di Tete Batu merupakan rumah bagi flora dan fauna endemik nasional,” jelasnya dalam siaran tertulis yang diterima di Mataram, Senin (2/8).
Lalu menurut Taufan, Desa Tete Batu juga berperan penting dalam mewujudkan perdamaian dunia.
“Berdampak positif pada tonggak awal perdamaian dunia dalam konteks saling pengertian, dan toleransi di desa-desa pedalaman. Kemunculan ini setidaknya dimulai dengan Desa Tete Bbatu yang telah menjadi desa wisata sejak tahun 1930 hingga sekarang. Tentu saja, melihat keragaman berbagai suku, agama, budaya, dan latar belakang pengunjung di seluruh dunia berpotensi menjadi ancaman terutama daerah pedesaan. Oleh karena itu, dengan representasi Desa Wisata Tete Batu, membuka transformasi inklusivitas universal perdamaian dan kerukunan internasional dalam konteks daerah pedalaman,” jabarnya.
Yang ketiga ialah pergeseran paradigma lokal dalam hal pariwisata negatif karena sebelumnya, masyarakat pedesaan di hampir seluruh pulau Nusantara mendiskreditkan posisi perempuan yang bekerja di sektor pariwisata.
“Keberadaan mereka tidak diterima dengan baik oleh masyarakat jika mereka sudah bekerja di sektor pariwisata. Maka biasanya mereka akan menjadi keluarga yang terbuang dan dipojokkan oleh lingkungannya sendiri. Paradigma ini kemudian dilawan dengan keberadaan desa wisata Tete Batu yang mulai memperkenalkan dan mempromosikan nilai-nilai inti pariwisata yang melibatkan tokoh agama, budaya, tokoh masyarakat setempat untuk mengatur kesetaraan individu, hak, dan kesempatan yang sama dalam kesataraan gender. Dengan demikian, perempuan berperan sangat penting dalam pembangunan desa Tete Batu,” katanya.
Keempat ialah soal keaslian Desa Tete Batu.
“Keindahan bentang alam, perkebunan, pertanian, peternakan, perbukitan, air terjun, budaya, seni dan tradisi yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi paduan nilai yang sangat tinggi untuk dilestarikan, dijaga dan dirawat dengan langkah awal pelibatan masyarakat. Dalam aspek ini, masyarakat sangat ramah dan terbuka terhadap pengunjung. Layanan inilah yang kemudian menjadi nilai tambah yang membuat pengunjung nyaman dan aman. Alhasil, tak sedikit tamu yang menjadikan tuan rumah sebagai ayah atau ibu angkatnya sendiri di Tete Batu dan sering kembali berkunjung,” ujarnya.
Yang kelima karena Desa tete Batu merupakan salah satu pelopor Desa Wisata di kawasan Timur Indonesia. Maka itu tak jarang kemudian pengunjung mengatakan Tete Batu adalah Ubud kedua yang dulu ada.
“Perbedaan yang paling dominan adalah keberadaan seni dan kultur masyarakat setempat. Namun dalam konteks subtansi tradisi pedesaan dan alam memiliki karakteristik yang sama. Sejak kedatangan dr. Soedjono di Tete Batu pada tahun 1920, Tetebatu telah menjadi rumah bagi pengunjung dari seluruh dunia di Lombok yang difasilitasi Soedjono. Berawal dari aktivitas pengunjung Tetebatu yang menjadi cikal bakal desa Tetebatu diperhatikan dan memotivasi perkembangan desa wisata lainnya di kawasan timur Indonesia sebagai daerah exsplorasi lanjutan,” kata Taufan.
Yang keenam karena Tete Batu memiliki Pendidikan Anak Usia Dini, yakni sekolah PAUD yang spesifik pada aspek Pariwisata.
Hal ini tentunya menarik, karena Tete Batu memiliki PAUD Pariwisata (taman kanak-kanak) dimana seluruh rangkaian kegiatan mengenalkan lingkungan, budaya, dan toleransi telah diperkenalkan sejak dini. Kegiatan ini jarang dilakukan oleh kebanyakan desa wisata pedalaman lainnya. Lingkungan ini kemudian membentuk kepribadian anak-anak yang inklusif terhadap kemajuan pariwisata secara universal.
“Hal ini juga sering sebagai lokus pemahaman lintas budaya (cross culture understanding). Keterlibatan baik pengunjung maupun anak-anak dari keluarga pengunjung internasional seringkali memilih tempat ini untuk menitipkan anak-anaknya untuk belajar aktivitas sehari-hari dan menjadi lingkungan bermain bersama. Tinjauan ini setidaknya Tete Batu yang berada pada desa pedalaman, telah menyematkan destinasi ramah anak dan keluarga sehingga memberikan rasa aman dan nyaman pada pengunjung internasional,” jelas dia.
Yang ke tujuh karena di Desa Tete Batu memiliki kehidupan lokal yang harmonis (Lingkungan, Economy, Social-Culture).
Taufan mengatakan, suasana desa yang damai ini sangat ideal bagi pengunjung yang ingin beristirahat dan bersantai mencari ketenangan. Sungai yang terbentuk di kaki gunung Rinjani memberikan energi positif bagi pikiran dan motivasi hidup serta melakukan aktivitas selanjutnya. Hal ini didukung pula oleh keseimbangan kearifan lokal. Kesetaraan gender, rantai penggerak ekonomi lokal, sosial budaya, dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
“Potensi inilah yang kemudian dibentuk menjadi wisata berbasis masyarakat Tetebatu untuk merasakan pengalaman hidup di pedesaan bersama penduduk lokal Tetebatu dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal,” pungkasnya. (red.)