kicknews.today – Kasus mutilasi di Desa Bara, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2017 hingga kini masih berlanjut. Sebanyak lima terpidana mati kasus mutilasi tersebut yakni AM, SY, IR, HE, IR dan SU mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung
Sebelumnya, lima terdakwa divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram pada 18 Januari 2018. Pengajuan PK dilakukan karena menilai putusan hakim berlebihan, sebab tidak sesuai dengan perbuatannya.
“Vonis mati pada lima terdakwa berlebihan karena tidak sesuai dengan perbuatan mereka,” kata Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram (Unram), Joko Jumadi, Sabtu (17/9).
Menurut Joko Jumadi, pada persidangan awal di PN Dompu Dompu, kelima terdakwa tidak mengaku telah memutilasi korban sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka diduga dipaksa mengakui itu saat proses penyidikan berlangsung.
“Di PN Dompu lima terdakwa divonis seumur hidup,” kata Joko.
Vonis hakim PN Dompu tersebut selanjutnya diajukan banding oleh seseorang ke Pengadilan Tinggi Mataram dengan hasil BAP mutilasi. Hasilnya lima terdakwa diputuskan hukuman mati.
“Kemudian di tingkat kasasi lima terdakwa juga tetap dibuat hukuman mati,” jelas Joko.
Joko menegaskan, hukuman mati lima terdakwa berlebihan. Karena pada dasarnya, kelima terpidana ini hanya mengaku membuang jasad korban ke parit setelah ditemukan tersengat kabel listrik tegangan tinggi di area kandang ayam yang mereka jaga.
“Mayat itu ditemukan 14 hari kemudian. Jadi korban meninggal akibat tersengat listrik bukan dimutilasi,” katanya.
Dari BAP disebutkan terdapat potongan kaki dan leher. Namun pada kenyataannya hasil otopsi tidak ditemukan unsur mutilasi karena tulang masih lengkap.
“Kami melihat ini layak dibantu dengan PK ke Mahkamah Agung. Selain membebaskan dari hukuman, apa yang mereka lakukan memang salah karena menyembunyikan suatu kasus. Tapi saya kira pidana mati tidak adil,” pungkasnya. (jr)
Editor: Awen
Laporkan Konten