kicknews.today – Kisruh dalam perayaan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 di Lapangan Tioq Tata Tunaq, Kabupaten Lombok Utara (KLU), menuai sorotan tajam publik setelah insiden kegagalan pentas anak yang membuat sejumlah anak menangis karena sound system tak berfungsi.
Peristiwa itu akhirnya direspons resmi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) melalui konferensi pers yang digelar di Kantor Bupati Lombok Utara, Kamis (24/07/2025).

Dalam konferensi tersebut, Kepala Dinas Pariwisata KLU, Denda Dewi Tresni bersama pihak Event Organizer (EO), menyampaikan permohonan maaf kepada publik, khususnya kepada Lembaga Perlindungan Anak (LPA) KLU. Denda menyebut insiden tersebut terjadi di luar kendali panitia HUT KLU maupun Dispar sebagai penanggung jawab utama kegiatan.
“Kami sudah mengantisipasi sejak awal agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tapi kenyataannya di lapangan berkembang tak sesuai harapan,” ujar Denda.
Denda mengaku mendapat laporan teknis bahwa semua berjalan aman. Namun, saat pentas anak berlangsung, sound system justru tidak bisa digunakan, yang berujung pada batalnya pertunjukan. Ia menambahkan bahwa pihak EO tidak pernah melaporkan adanya permintaan biaya dari anak-anak yang tampil.
“Vendor yang kami libatkan sudah termasuk untuk semua kegiatan, termasuk Pentas Anak. Tapi soal tambahan waktu dan kendala lapangan, kami tidak dapat informasi cukup,” jelasnya.
Pihak panitia juga telah mengusulkan pelaksanaan ulang pada hari Sabtu. Namun LPA menolak, karena ingin acara tetap digelar tepat di Hari Anak Nasional.
Sementara itu, Raden Prawangsa selaku Koordinator Lapangan HUT KLU sekaligus perwakilan EO, turut menyampaikan permintaan maaf dan mengakui telah terjadi miskomunikasi fatal dengan vendor sound system.
“Ini murni miskomunikasi antara EO dan pihak sound. Dari pagi sampai siang sound ada, tapi tidak tersedia di sore hari saat pentas anak. Kami akui ini kesalahan koordinasi yang berdampak besar,” tegasnya.
Namun, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan temuan di lapangan. Ketua LPA KLU, Bagiarti, mengungkap bahwa pihak EO dan vendor sound sempat meminta uang kepada anak-anak yang akan tampil. Ia bahkan menyebut ada bukti permintaan dana melalui chat WhatsApp kepada Klub Baca Perempuan KLU.
“Ini kegiatan resmi yang sudah mendapatkan slot penuh dari panitia. Tapi EO justru meminta uang sewa terop, dan sound man bahkan meminta tambahan Rp1 juta. Itu kami penuhi, tapi sound tetap tidak dinyalakan. Anak-anak sampai menangis karena tidak bisa tampil,” ungkapnya kecewa.
Bagiarti berharap kejadian ini menjadi evaluasi serius bagi Pemerintah Daerah untuk lebih selektif dan profesional dalam memilih EO yang akan terlibat dalam kegiatan penting, apalagi yang berkaitan dengan anak-anak.
“Pemda harus belajar dari kejadian ini. Jangan main tunjuk saja tanpa mempertimbangkan rekam jejak dan kapasitas,” tutupnya. (gii-bii)