kicknews.today – Kasus pernikahan dini atau anak dibawah umur di Kabupaten Bima masih cukup banyak. Sayangnya, trend itu tidak dianggap sebagai masalah oleh sebagian pihak, meski hal itu sudah jelas diatur dalam undang-undang.
Hal itu disampaikan Kepala UPT PPA Kabupaten Bima, M Umar. Dia mengaku, selama ini kasus pernikahan yang melibatkan anak dibawah umur tidak sampai ke kantor UPT PPA.
“Jadi masalahnya itu ,hanya mentok pada dinas terkait. Ini yang mesti kita benahi ke depan,” tegas Umar, Kamis (30/11/2023).
Dari data yang dihimpun, kasus pernikahan dini di Bima umumnya masih dianggap sebagai aib di masyarakat. Terkadang kasus itu diselesaikan dengan mediasi antara kedua belah pihak, agar tidak menimbulkan masalah baru.
“Munculnya kasus pernikahan dini di Bima kebanyakan dipicu karena pergaulan bebas. Anak hamil diluar nikah, hingga pilihannya harus dinikahkan,” katanya.
Kasus pernikahan dini di Bima menurut Umar harus dihentikan. Bima harus berkaca pada masyarakat Lombok yang terkenal dengan Merarik Kode kini mulai berkurang dengan adanya peraturan yang dibuat.
“Saya sering membahas bagaimana masyarakat, pemerintah desa dan sejumlah pihak ikut terlibat dalam menekan kasus pernikahan dini di Lombok. Hal itu yang mendorong saya agar Bima juga harus menerapkan hal yang sama,” katanya.
Dia menegaskan, UPT PPA dan organisasi yang bergerak pada persoalan anak harus dilibatkan dalam menekan kasus pernikahan dini di Bima. Yang tidak kalah penting menjalin kerjasama dengan Kantor Urusan Agama (KUA), Polres dan lembaga yang fokus di bidang perlindungan anak.
”Ini menyangkut pendidikan dan masa depan anak. Akan banyak resiko yang dihadapi oleh mereka jika pilihannya harus dinikahkan. Kami membuka ruang bagi semua pihak untuk menemukan formulasi yang tepat dalam menekan angka pernikahan dini di Bima,” kata Umar.
Untuk diketahui, UPT PPA Bima selama Januari-November 2023 sudah melayani 64 kasus kekerasan anak. Baik bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran serta perebutan hak asuh anak.
Terhadap layanan penangan kasus tentunya membutuhkan kemitraan yang sangat baik dari beberapa pihak seperti PPA Polres, LPA dan unit kerja/ stakeholder dan lembaga lain yang mempunyai rasa kepedulian akan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Supaya persoalan yang terjadi akan menjadi atensi bersama bukan hanya dari pemangku kepentingan dalam tataran Pemda, Pemdes, namun yang lebih diharapkan adanya partisipasi dan peran aktif masyarakat. “Kasus anak dapat diselesaikan jika semua pihak berperan, ini yang kami harapkan ke depan,” pungkasnya. (jr)