Sudah 3 tahun, ribuan lahan petani Lombok Timur terdampak limbah galian C

Sekitar 1.500 hektare lahan petani di Kecamatan Wanasaba, Labuhan Haji dan Kecamatan Pringgabaya Lombok Timur mati karena terdampak limbah tambang galian C
Sekitar 1.500 hektare lahan petani di Kecamatan Wanasaba, Labuhan Haji dan Kecamatan Pringgabaya Lombok Timur mati karena terdampak limbah tambang galian C.

kicknews.today – Sekitar 1.500 hektare lahan petani di Kecamatan Wanasaba, Labuhan Haji dan Kecamatan Pringgabaya Lombok Timur mati karena terdampak limbah tambang galian C. Kondisi itu dikeluhkan para petani setempat.

“Tanaman kami semuanya mati, kalau sudah begini kondisinya sudah tidak ada harapan lagi untuk bisa untung. Balik modal pun sulit. Kondisi ini hampir sudah tiga tahun lebih berjalan,” ungkap Hudar salah seorang petani bawang di Desa Tirtanadi, Kecamatan Labuhan Haji, Kamis (9/11).

Tanaman apapun yang ditanam di lahan tersebut diakuinya tidak akan pernah bisa tumbuh dengan baik. Mengingat lahan pertanian warga sudah tercemar oleh limbah dari galian C. Bahkan tanah pertanian yang biasanya hitam saat ini sudah berubah warna menjadi merah keputih-putihan akibat limbah.

Tidak hanya itu, lahan petani juga dipenuhi oleh batu-batu apung yang dibawa oleh air. Bahkan setiap jelang panen tiba sedikitnya 5-6 karung batu apung dan pasir dibuang oleh para petani dari lahan miliknya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh petani agar lahan bisa kembali subur, tapi hal itu butuh biaya banyak untuk bisa mengembalikan seperti semula.

“Sekarang lahan kami bukan berbentuk tanah lagi, tapi dipenuhi oleh pasir, batu apung dan bekas limbah-limbah dari tambang. Sudah tidak bisa subur lagi kalau sudah begini kondisinya. Tanaman apapun kita tanam sudah tidak bisa tumbuh. Kalaupun tumbuh dia akan mati, seperti bawang,” tambahnya.

Sebelumnya, ia bersama pemerintah desa dan warga lainnya sempat melakukan protes terhadap Pemda Lombok Timur dan pihak tambang. Protes itu diakuinya sempat direspon, sehingga sejak itu pihak tambang tidak lagi membuang limbahnya ke aliran sungai. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Begitu sudah tidak ada protes dari masyarakat, limbah tersebut kembali dibuang terus-menerus.

Aksi protes tidak hanya dilakukan kepada pihak tambang, namun protes juga sempat dilakukan kepada pemerintah daerah, desa hingga provinsi. Namun semuanya sia-sia, terlebih, pada malam hari air irigasi akan menjadi sangat keruh, kental dan berbau. Tapi karena tidak ada sumber irigasi lain para petani terpaksa harus menggunakan air tersebut meski sudah tercemar limbah.

“Pokoknya setiap kami protes air irigasi ini akan kembali jernih paling lama itu satu bulan. Setelah satu bulan mereka akan kembali lagi membuang limbahnya ke sungai begitu saja seterusnya,” katanya.

Dalam sekali tanam dirinya merugi sekitar Rp45-Rp50 juta, untuk tanaman bawang. Terlebih lagi perawatan tanaman bawang membutuhkan perawatan yang lebih ekstra dari tanaman lain, ditambah lagi dengan mahalnya harga pupuk dan pestisida.

Dirinya berharap agar Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dan Pemerintah Provinsi NTB maupun pihak-pihak lainya untuk membuka mata kepala dan membuka mata hati dan turun melihat kondisi di lapangan dampak dari limbah tambang.

Sementara itu, salah satu subak air Desa Tirtanadi Sahiri menambahkan tahun ini menjadi tahun terparah bagi pertanian, akibat dari limbah galian C yang dibuang sembarangan. Terlebih petani yang ada di wilayah Nurul Huda menjadi wilayah yang paling terdampak. Sepanjang tiga tahun ini hasil pertanian mengalami penurunan yang sangat drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan tidak jarang petani gagal panen dan merugi puluhan juta.

Kepala Desa Tirtanadi, Kecamatan Labuhan Haji Ruspan menambahkan khusus di Desa Tirtanadi, lahan pertanian yang terdampak akibat aktivitas tambang ini sekitar 250 hektare. Semua lahan yang terdampak ini merupakan lahan produktif bahkan menjadi lahan pertanian abadi. Berbagai cara dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah desa untuk menyelesaikan persoalan ini, mulai dari bersurat ke Pemda, Pemprov bahkan sampai mengadakan pertemuan dengan pihak terkait. Namun hasilnya tetap saja tidak membuahkan hasil.

“Kami bersurat sejak tahun 2017 lalu. Tapi begitu ada protes atau laporan maka limbahnya tidak ada. Paling lama air irigasi ini jernih selama satu bulan, setelah itu kembali seperti biasa lagi. Begitu saja sepanjang tiga tahun ini,” bebernya.

Disebutkan, saat pihak desa melaporkan hal tersebut ke Pemda dan Pemprov NTB terkesan saling lempar dan saling lepas tanggung jawab. Jika persoalan itu dilaporkan ke pemda, jawaban yang diterima adalah wewenang ada di provinsi, sebab yang mengeluarkan izin penambangan adalah provinsi. Begitu juga sebaliknya jika persoalan ini dilaporkan ke provinsi, jawaban yang diterima adalah yang merekomendasikan adalah kabupaten.

Di satu sisi, di tempat itu pemerintah tengah menggalakkan pembangunan saluran irigasi untuk petani, namun pembangunan irigasi itu dinilai tidak akan bermanfaat selama air yang mengalir dari saluran itu adalah air limbah yang merusak lahan dan tanaman petani.

Pemerintah hanya memperhatikan saluran irigasi tapi tidak memperhatikan kualitas air yang akan mengalir dari saluran irigasi itu. Padahal salah satu tujuan dari pemerintah untuk membangun irigasi agar hasil pertanian masyarakat menjadi bagus dan lahan pertanian menjadi subur. (cit)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI