Di kampung-kampung nelayan kumuh Kota Tua Ampenan, politik bukan soal program dan janji visi-misi. Di sana, demokrasi datang dalam bentuk amplop dan sembako yang berumur sehari.
kicknews.today – Di balik bau asin laut dan gemuruh ombak yang memukul tanggul-tanggul batu, kampung-kampung nelayan di bibir-bibir pantai Ampenan menyimpan kisah pahit soal pesta demokrasi. Bukan karena mereka apatis. Tapi karena terlalu sering diabaikan, hingga akhirnya belajar mencintai yang datang sekejap: “serangan fajar“.

Setiap lima tahun sekali, sebelum matahari terbit, jalanan kampung yang biasanya gelap dan lengang mendadak ramai. Motor mondar-mandir. Tangan-tangan asing mampir ke rumah-rumah bambu membawa “oleh-oleh demokrasi”: amplop, minyak goreng, mie instan, dan janji yang tak perlu diingat.
Bukan hanya serangan fajar. Di tempat ini, istilah baru lahir: serangan duha’ – amplop susulan yang datang setelah subuh, menyisir rumah-rumah yang belum tersentuh. Dalam hitungan kepala, satu suara punya harga. Tidak mahal, tapi cukup untuk beli lauk hari itu.
“Waktu itu saja kami tahu rasanya punya nilai,” ujar Inaq Almah, 45 tahun belum lama ini, sambil merapikan jemuran ikan. “Setelah itu, kami kembali bekerja seperti biasa tanpa tau siapa yang pemimpin kami.”
Tak banyak dari warga di kampung ini yang tahu nama-nama lengkap kandidat, apalagi program kerja mereka. “Yang penting bisa beli beras hari ini,” kata pak Wildan, seorang warga sehari hari menjadi tukang bangunan.
Di masa kampanye, kampung padat penduduk ini jadi incaran. TPS padat suara, DPT tinggi, akses masuk mudah, dan warga yang ‘tahu diri’. Mereka tahu bahwa harapan terlalu mahal, jadi yang mereka minta hanya: “Ada yang bisa dibawa pulang malam ini?”
Setelah pesta usai, bau amis kembali menyengat. Para pejabat yang dulu datang berfoto, kini dirasa cenderung menghindar. Beberapa bahkan mengenakan masker saat kunjungan kembali, tak tahan aroma kampung yang dulu mereka datangi dengan senyum.
Ironisnya, usai dilantik, para elite mulai bicara soal pendidikan politik. Menyalahkan rakyat kecil karena mau menerima uang. Mereka lupa, bukan rakyat yang memulai transaksi itu.
Warga di kampung-kampung nelayan di Ampenan hidup dalam ketidakpastian cuaca laut, tapi pasti soal politik: bahwa lima tahun sekali, suara mereka dihargai. Selebihnya, mereka kembali ke rutinitas: memperbaiki perahu bocor, mengais ikan di laut keruh, dan mendengarkan cerita tetangga tentang anak muda yang beli HP dari ‘amplop terakhir’.
Dan di sanalah demokrasi berakhir. Bukan di kotak suara, tapi di dapur-dapur yang sempat mengepul karena bantuan sekali seumur musim kampanye. (red.)