Sejarah kelahiran Nabi Muhammad pada tahun gajah

kicknews.today – Tahun kelahiran Rasulullah dihubungkan dengan Tahun Gajah (570 M), ketika Abrahah, penguasa Yaman kala itu berniat menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu direkam dalam Alquran, Surah al-Fil (105).

Penamaan Tahun Gajah didasarkan pada pasukan bergajah yang dibawa Abrahah al-Asyram untuk meratakan Ka’bah.

Ada beberapa alasan Abrahah berniat demikian. Ia membangun gereja megah di Sana’a yang diberi nama al-Qalis dengan harapan dapat menjadi tempat ibadah haji terbesar di seluruh Arab untuk menyaingi Makkah.

Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015: 32-22) menuliskan, hal ini mengundang kemarahan suku yang tersebar di Hijaz dan Najd. Seseorang dari suku Kinanah, yang punya hubungan nasab dengan Quraisy, meruntuhkan gereja itu. Abrahah geram dan bersumpah meratakan Ka’bah.

Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menyebutkan, Abrahah yang sudah menghiasi rumah sucinya sedemikian rupa, berhadapan dengan kenyataan: orang-orang Arab hanya berniat ziarah ke Mekkah. Mereka menganggap ziarah tidak akan sah jika tidak ke Ka’bah.

Abrahah kemudian mengambil keputusan menyerang Mekkah. Dia sendiri tampil paling depan di atas seekor gajah besar. Suku-suku Quraisy, yang ketika itu secara de facto dipimpin oleh Abdul Muthalib, tidak melakukan perlawanan. Mereka bukan lawan seimbang untuk bala tentara Abrahah.

Di sisi lain, Abrahah melalui utusannya menekankan, dirinya tidak ingin berperang, hanya menghancurkan Ka’bah. Selama tidak ada bentrok, maka tidak akan ada pertumpahan darah.

Raja Abrahah atau Abrahah Al Arsyam sendiri mulanya hanya seorang kepala tentara di wilayah Yaman. Wilayah yang dipimpin seorang Gubernur Kerajaan Habasyah, Aryath. Aryath merupakan gubernur pertama di negeri itu yakni pada 535 masehi pascaditaklukannya Himyariyah, sebuah kerajaan yang menguasai Yaman beratus-ratus tahun sebelumnya. Sedang Kerajaan Habsyah sendiri berada di Abissinia, Ethiopia dan diperintah Negus (Najasyi) yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi dengan kaisarnya bernama Justin I.

Namun tak lama setelah raja Negus menunjuk dan menempatkan Aryath sebagai guberur di Yaman, terjadilah perselisihan. Abrahah membunuh Aryath dan menguasai seluruh bala tentara negeri Yaman.

Raja Negus mulanya tak membenarkan tindakan Abrahah, bahkan memberikan teguran keras kepada Abrahah. Meski demikian, Abrahah berhasil meluluhkan hati Raja Negus hingga memaafkannya. Negus pun mengesahkan Abrahah sebagai gubernur kerajaan Habasyah di Yaman.

Abdul Muthalib diriwayatkan bertemu dengan Abrahah di perkemahan sang penguasa Yaman. Namun, Abdul Muthalib justru hanya meminta 200 ekor untanya yang dirampas pasukan Abrahah dalam perjalanan ke Makkah.

Ini membuat Abrahah kecewa, karena ia menganggap pimpinan suku Quraisy tidak berniat melindungi Ka’bah. Abdul Muthalib berkata, “Aku pemilik unta-unta itu, sementara Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya”.

Abdul Muthalib menasehati orang-orang Makkah untuk pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari pasukan Abrahah, sembari mencari tempat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di kota esok hari. Lalu, di tengah Makkah yang sunyi, ketika penghancuran Ka’bah tampak akan berjalan begitu mudah, rencana Abrahah gagal total.

Lings (2015:35) menyebutkan, gajah yang ada di barisan terdepan diarahkan pemandunya, Unays menuju Ka’bah. Namun ada Nufail, tawanan penunjuk jalan yang mempelajari aba-aba yang dipahami gajah itu. Ketika Unays memberi komando agar sang gajah bangun, Nufail melakukan hal sebaliknya: memintanya duduk berlutut. Pasukan Abrahah melakukan segala cara agar gajah itu bangun, termasuk dengan memukul kepalanya dengan besi. Namun, sang gajah bergeming. Abrahah dan pasukannya tak mungkin bergerak lebih jauh lagi.

Peristiwa pasukan Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah ini terekam dalam Surah al-Fil (105) yang berbunyi sebagai berikut.

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ – ١ Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?

اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ – ٢ Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?

وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ – ٣ dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,

تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ – ٤ yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar,

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ – ٥ sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

Akibat kejadian mendadak ini, pasukan gajah Abrahah berantakan. Lings (2015:37) menulis, tubuh mereka membusuk, ada yang sangat cepat, ada yang perlahan. Semuannya terkena wabah. Dalam kondisi kacau balau, banyak pasukan yang mati di tengah perjalanan pulang, dan banyak pula yang mati begitu sampai di Sana’a termasuk Abrahah. Kegagalan pasukan Abrahah ini di sisi lain membuat kaum Quraisy semakin dikagumi di jazirah Arab. Tuhan mengabulkan doa mereka agar Ka’bah selamat dari kehancuran.

Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad

Sebelum Tahun Gajah, ada sebuah peristiwa lain yang jadi salah satu kunci perubahan sejarah kaum Quraisy dan bangsa Arab.

Peristiwa itu tidak lain adalah pernikahan putra Abdul Muthalib, Abdullah dengan Aminah binti Wahab. Ketika tentara bergajah Abrahah hendak menyerbu Ka’bah, Abdullah tidak berada di Makkah Ia meninggalkan Aminah untuk urusan dagang ke Palestina dan Suriah yang memakan waktu panjang.

Dalam perjalanan pulang ke Makkah, Adullah menginap di rumah keluarga neneknya di Yastrib. Ia jatuh sakit.

Abdul Muthalib mengutus Harits, putra sulungnya untuk menjemput Abdullah dari Yastrib, dan membawanya pulang ke Makkah jika sudah sembuh. Namun, ketika sampai di Yastrib, Harits harus menerima kabar pahit: Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula.

Duka mendalam dirasakan oleh Aminah. Dalam waktu pernikahan yang singkat, ia kehilangan sang suami. Namun, dalam lara itu, ia menguatkan hati: menunggu kehadiran buah cintanya dengan Abdullah Bayi yang ditunggu-tunggu itu akhirnya lahir: seorang laki-laki.

Abdul Muthalib yang mendengar kabar ini demikian gembira, mengangkatnya, dan membawanya ke Ka’bah. Ia memberi nama Muhammad untuk sang cucu, bukan nama umum di kalangan Arab saat itu. Namun, Abdul Muthalib, yang menjadi saksi bagaimana Tuhan melindungi Ka’bah dari serangan pasukan Abrahah punya alasan kuat. “Aku menginginkan dia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” katanya. (tirto-red)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI