Ular ‘Belae’ Lombok, antara mitos dan fakta Dunia

Ilustrasi Ular

kicknews.today – Ali sedang berjalan menyusuri tepian sawah di kampungnya usai menangkap belalang. Sepertinya senja hari itu datang lebih cepat dari biasanya. Dia memutuskan mengambil jalan singkat untuk pulang. Namun seorang warga memperingatinya untuk tidak melewati jalan itu karena ada ular ‘belae‘ yang bersarang dan keluar terutama kala senja.

Ali mengabaikan saran itu karena ingin cepat-cepat sampai di rumah. Tiba di sebuah persimpangan air sungai kecil, dia melihat burung tengkoah (kareo padi) yang sedang mencari makan di air yang menggenang. Sempat terlintas untuk menangkapnya tapi senja kian beranjak. Alipun mengabaikan, tapi bunyi kretek seperti kulit bambu yang bergesek tiba-tiba terdengar semakin keras. Dia penasaran dengan bunyi yang mengganggunya tersebut. Matanya tertuju pada satu semak belukar yang rimbun.

Dengan sebilah kayu Ali menyibak semak itu. “Saya terkejut melihat seekor ular ‘belae salak’. Matanya merah menyala dengan sisik tebal seperti salak. Panjangnya kira-kira hanya sejengkal,” katanya bertutur mengenang perjumpaannya dengan ular yang hingga kini menjadi mitos yang sangat dipercayai masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat itu. Kejadian tersebut sekitar tahun 90-an saat dia muda dan masih terdapat banyak hamparan sawah di Kota Mataram.

Lain lagi yang diceritakan Agus, seorang warga di Sembalun, Lombok Timur. Dia melihat ular ‘belae‘ seperti sosok unggas namun berekor ular dengan kaki berotot seperti kadal dengan sisik tebal yang bisa terbang. Masyarakat setempat menyebutnya ‘belae kolo‘ (Kolo berarti perkutut dalam bahasa Sasak-red).

Menurut Agus, ular tersebut ditemuinya di savana dengan beberapa batang pohon berdahan rendah tidak jauh dari rumahnya di bawah kaki Gunung Rinjani beberapa tahun lalu. Tidak mau berurusan dengan mahluk berbahaya itu, diapun berlari sekencang-kencangnya untuk pulang dan menceritakan kejadian itu kepada warga sekitar.

Ilustrasi ular pendek dengan sisik tebal

Spesies Ular Terbang

Dunia sains ternyata mendokumentasikan spesies ular terbang dengan baik. Namun pada awal penampakannya, bahkan para zoologyst asingpun tidak dapat mempercayainya. Sebenarnya ular ini tidak benar-benar terbang, namun nama ini telah melekat pada hewan yang satu ini selama lebih dari 100 tahun.

Laporan mengenai ular terbang di Indonesia pertama kali diceritakan oleh para Misionaris asing yang bekerja di Pulau Sumatera. Pada suatu hari di tahun 1833, seorang sesepuh penduduk lokal di Sumatera mendatangi dua misionaris barat yang sedang bekerja di sana untuk menceritakan pengalaman anehnya.

Sesepuh yang bernama Tam Basar itu bersumpah bahwa ia dan para penduduk lainnya pernah melihat ular yang sedang terbang di udara. Takut dengan bahaya yang mungkin ditimbulkannya, mereka segera membunuh ular itu sesaat setelah mendarat di dekat mereka.

Kedua misionaris barat itu tidak begitu saja mempercayai kisah itu. Namun Tam Basar bersikeras bahwa ia menceritakan hal yang sesungguhnya. Ia juga menambahkan bahwa ular itu memiliki panjang sekitar 1,2 meter dan tidak memiliki sayap.

Satu tahun kemudian, pada Januari 1834, salah satu diantara misionaris tersebut, NM Ward, sedang berjalan melewati hutan dekat sungai Pedang Bessie, sekitar 1,6 km dari lokasi dimana Tam basar melihat ular terbang.

Foto ular terbang dari jenis Chrysopelea Paradisi ketika sedang take off. Tubuhnya yang membentuk huruf S membantunya untuk memberikan daya dorong yang lebih kuat

Ia dan teman seperjalanannya berhenti sebentar untuk mempelajari sebuah pohon tinggi di dekat situ. Ketika mereka melihat ke atas, mereka begitu terkejut karena melihat seekor ular yang sedang terbang, persis seperti yang diceritakan oleh Tam Basar. Ular itu terlihat bergerak dengan cepat di udara di bawah pohon tempat mereka berdiri.

Ward kemudian menceritakan pengalamannya dalam surat kabar “Missionary Herald” edisi Maret 1841. “Dengan demikian, aku menjadi yakin dengan adanya ular terbang. Para penduduk lokal yang mengenal wilayah hutan di situ juga mengetahui fakta ini dengan jelas.” Katanya.

Di Asia Tenggara paling tidak tercatat ada lima spesies “ular terbang”. Dikatakan bahwa ular-ular tersebut sebenarnya tidak terbang, melainkan meluncur atau melompat dan keberadaan ular ini bahkan sudah dibuktikan dengan beberapa foto dan rekaman video.

Mitos di Dunia

Ilustrasi Basilisk

Eropa

Di Eropa pada abad pertengahan begitu percaya dengan ular mematikan yang mereka sebut ‘Basilisk‘. Basilisk (dari bahasa Yunani: βασιλίσκος basiliskos, raja kecil, bahasa Latin: Regulus) adalah reptil dalam legenda Eropa yang dikenal sebagai raja ular dalam mitologi (serpent) dan memiliki kemampuan untuk menimbulkan kematian bila menatapnya.

Bila dideskripsikan, basilisk adalah kadal besar, ular raksasa atau ayam jantan setinggi tiga kaki dengan ekor dan gigi ular. Deskripsi ini mirip dengan mitos cockatrice. Basilisk disebut raja karena digambarkan memiliki mitre – atau tonjolan tengkorak berwujud mahkota.

Dilegendakan, basilisk berasal dari telur ular yang ditetaskan ayam jantan (kebalikan dari cockatrice yang berasal dari telur ayam yang dierami oleh ular.

Di dunia Harry Potter, Basilisk diceritakan sebagai ular raksasa dengan mata yang bisa membunuh dan tinggal di sebuah ruangan rahasia di sekolah sihir Hogwarts.

Bahkan Basilisk dianggap sejenis ular dengan panjang 12,8 meter yang hidup 60 juta tahun lalu di dunia Harry Potter.

Awalnya Basilisk tidak berawal dari novel karangan J.K. Rowling ini. Sejarawan Romawi, Pliny the Elder, Leonardo Da Vinci, Shakespeare, dan Charles Dickens semuanya menulis tentang Basilisk sebelum J.K. Rowling.

Jepang

ilustrasi tsuchiniko

Pada 6 Juni 2001, di sebuah kota resort bagi para peski yang bernama Mikata, Jepang ditemukan seekor reptil yang tidak biasa. Reptil yang dianggap sebagai hewan mistik “Tsuchinoko“, seekor makhluk berbentuk ular legendaris yang pertama kali disinggung pada abad ke-8.

Makhluk itu pertama kali disinggung dalam “Kojiki“, sebuah teks kuno abad ke-8 yang merupakan sebuah manuskrip bahasa Jepang tertua di dunia. Walaupun banyak penampakan makhluk ini yang dilaporkan selama periode perang, namun laporan ini ditanggapi dengan skeptis mengingat tidak ada satupun makhluk yang pernah tertangkap untuk dipelajari.

Namun semuanya berubah saat itu. Menurut pejabat pemerintah lokal bernama Toshikazu Miyawaki, makhluk yang berhasil ditangkap oleh penduduk Jepang beberapa waktu yang lalu adalah benar makhluk legendaris tersebut. “Kami memutuskan untuk membiarkan hewan ini beradaptasi dengan lingkungan barunya.” Katanya seperti yang pernah dipublikasikan oleh japantimes.co.jp.

Menurut laporan-laporan sebelumnya, Tsuchinoko adalah seekor reptil yang memiliki panjang antara 30cm – 80cm dengan kepala yang lebih besar dan taring yang beracun. Hal yang membedakannya dengan ular lain adalah ia mengeluarkan suara mencicit seperti tikus.

“Menimbang ciri-ciri tersebut, kami dapat memastikan bahwa hewan itu adalah benar Tsuchinoko,” Kata Miyawaki. “ketika dibawa ke balai kota, tubuhnya benar-benar tebal dan pendek. Beberapa orang juga mendengar ia mencicit.

Miyawaki mengatakan bahwa hewan yang tertangkap itu memiliki panjang sekitar 70 cm ketika ditangkap pada 6 Juni 2001, sekarang telah bertumbuh hingga 1 meter. Setelah lebih dari seminggu dipamerkan ke publik di dalam aquarium plastik, reptil itu kelihatan lelah. Setelah kondisinya stabil pemerintah kota baru akan memikirkan cara meneliti hewan itu. Mungkin dengan mengambil sampel DNA dari tubuhnya.

“Bahkan jika ternyata hewan itu bukan Tsuchinoko, tetap saja hewan seperti itu belum pernah ditemukan sebelumnya di dunia. Saya berharap spesiesnya akan diakui oleh masyarakat dunia.” Kata Miyawaki.

Namun begitu keberadaan Tsuchinoko, belum pernah bisa dibuktikan secara pasti (kriptid). Bentuknya yang digambarkan seperti ular namun berperut gendut mirip botol atau pin boling dengan ekor yang kecil mirip ekor tikus. Hewan ini dilaporkan pernah “dilihat” saksi mata di berbagai tempat di Jepang. (red.)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI