Kesaktian Ran, sebutan untuk para ‘Master Koki’ di Lombok

Ran atau Juru Masak di Lombok sedang menyiapkan masakan khas suku Sasak

Setiap udara tiba-tiba gerah lantaran hujan tak turun-turun di Ampenan, orang-orang mulai kasak-kasuk mencurigai seorang lelaki bernama Suparman. Ia adalah Kepala Lingkungan Sukaraja Timur, Ampenan Tengah. Tetapi, di luar kapasitasnya itu, ia disebut-sebut memiliki kemampuan yang sulit dicerna secara logika. Boleh jadi ia kepala lingkungan paling unik di Indonesia.

Semalam saya berkunjung lagi ke kediamannya. Sebelumnya saya pernah datang untuk urusan yang sama, berdiskusi tentang tradisi-tradisi lokal yang sudah tergerus jaman.

Suparman kerap dimintai bantuan untuk menjaga kelancaran sebuah acara. Misalnya, mengantisipasi mendung agar tak berubah menjadi hujan.

“Kalau sekarang ada alat canggih untuk menembakkan laser ke awan agar mencegah hujan. Dulu kita memakai jari, menunjuk ke langit agar awan tebal berpencar,” ucapnya.

Tetapi, sebenarnya, Suparman bukan spesialis pawang hujan. Kemampuan itu hanya sebagai pendukung profesi utamanya. Ia seorang juru masak tradisional di setiap perhelatan. Di Lombok, master koki ini disebut ran. Sebuah keahlian turun-temurun. Ilmu memasak itu tidak melulu penguasaan segala resep hidangan tradisional. Sebagai ran juga mesti paham hari-hari baik, dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan begawe (pesta, bahasa Sasak) atau rowah.

“Kakek saya dulu seorang ran terkenal,” kata Suparman, salah seorang ran generasi terakhir di Ampenan.

Soal masakan sendiri, hasil racikan hidangan ran berbeda citarasa dengan kreasi ran lainnya, meskipun jenis masakannya sama.

“Saya tahu siapa ran yang ditugaskan di sebuah acara, dari rasa ares yang dihidangkan,” kata H Lalu Anggawa Nuraksi, Budayawan Sasak, ketika saya menemuinya di Gerung, Lombok Barat, beberapa waktu sebelumnya.

Hujan adalah salah satu tantangan setiap acara. Masalahnya, dulu, perhelatan apa pun selalu dilaksanakan di tempat terbuka. Para undangan duduk di bawah tetaring (anyaman daun kelapa). Bukan tenda terop atau di dalam gedung seperti sekarang. Di sinilah dituntut kemampuan seorang ran berpengalaman yang paham cara berinteraksi dengan alam.

Menariknya, ancaman hujan itu tidak saja yang bakal turun secara alamiah. Tetapi lebih sering hasil rekayasa.

“Kita punya pesaing sesama ran yang sering menguji seberapa kuat pertahanan kita. Mereka menggiring awan agar menyatu,” ujarnya.

Seorang ran akan memulai ritualnya, ketika awan mulai berkumpul di atas tempat perhelatan. Tangannya sibuk melinting tembakau dengan kertas rokok atau kulit jagung. Rokok hasil lintingan itu diselipkan di bibir dan dibakar.

“Asapnya tidak ditelan, tapi dihembuskan. Nah, dengan restu Yang Maha Kuasa, awan yang mulai menebal akan berpencar mengikuti asap tembakau yang bertebaran itu,” ucap Parman sambil mempraktikkan menggulung tembakau dari sebuah kotak dan membakarnya.

Ia juga merapal sebuah mantra. Ia tak tahu saya merekam secara utuh seluruh pembicaraan. Termasuk mantra sakti itu. Ketika sadar ia berseru. “Astaga, Bang Buyung rekam itu?” katanya terbelalak.

Jika asap rokok lintingan tak mampu membuyarkan mega tebal, seorang ran kawakan akan berdiri mendongak dengan jari telunjuk lurus menuding langit. Ini level kesaktian kepawangan tingkat tinggi. Suparman juga mempraktikkannya, tapi kali ini saya tak mendengarnya mengucap kata-kata mistis. Barangkali mantranya sama dengan tadi, suatu ketika saya coba terapkan.

Profesionalitas ran jangan disamakan dengan juru masak jaman now yang hanya memenuhi pesanan dalam sebuah acara.

“Sebagai ran, kita tak hanya menyiapkan hidangan berdasarkan berapa tamu yang diundang. Hampir di setiap acara selalu ada tamu Neneq (Tuhan), atau tamu yang tidak terduga yang datang tanpa diundang. Kita harus bisa menjamu semua tamu, termasuk tamu Neneq itu,” ungkapnya.

Kedatangan tamu bahkan sering tidak sebanding dengan ketersediaan hidangan. Bagaimana menyiasatinya? “Itulah tantangan yang menentukan kehebatan seorang ran. Ia bisa mengatur hidangan yang terbatas cukup untuk semua yang datang. Ada satu ilmu yang membuat tamu merasa kenyang dan puas, padahal tidak terlalu banyak mengambil makanan yang disajikan,” ucapnya blak-blakan.

Ujian terhadap seorang ran tak hanya gejala alam berupa hujan. Gangguan kiriman itu juga mengincar bahan-bahan makanan yang sedang dimasak. Ran yang kurang jam terbang bisa-bisa tak dipakai lagi, lantaran tak mampu menghadapi serangan yang datang secara gaib. Misalnya, menu-menu tertentu tak matang-matang, tiba-tiba basi, bahkan berulat!

Secara umum, kata Suparman, di Lombok dikenal istilah rebaq jangkih. Sebuah tradisi yang menandai berakhirnya sebuah acara, di mana jangkih (tungku) dan segala perabotan yang digunakan dalam pesta dibongkar. “Jangkih itulah yang paling mendapat perhatian seorang ran. Sebelum jangkih dipasang, tanah di bawahnya digali dulu,” jelasnya.

Di dalam tanah itu diletakkan sebuah linggis, lalu ditimbun. Benda ini dipercaya sebagai penangkal. Tetapi, dengan linggis itu saja, bukan berarti pertahanan seorang ran di acara itu sudah dinyatakan tangguh. “Setiap ran pasti tahu berapa lama setiap masakan matang. Nah, jika dalam waktu yang diperkirakan, ada yang belum matang, itu tanda-tanda kita sedang dikerjai atau diserang,” paparnya.

Cara menghadapinya, salah satunya dengan mengubah posisi kayu dalam tungku. Bagian kayu yang terbakar dibalik, dan bagian yang belum tersentuh api dimasukkan ke dalam jangkih.

Gangguan tak hanya datang dari sesama ran. Terkadang juga perbuatan sang mantan kekasih, baik mempelai perempuan maupun lelaki. Mereka tak terima, lalu mencari segala cara agar acara yang digelar menemui kegagalan, salah satunya dengan meminta bantuan orang-orang pintar. Tak jarang makhluk tak kasat mata pun dikerahkan. Sebut saja keterlibatan bebai, anak hasil perselingkuhan tuselak, leak di Lombok. “Makhluk itu seperti tuyul. Sebesar jantung pisang,” katanya.

Bebai-bebai kiriman seseorang itu membuat kekacauan di tempat perhelatan. Menu-menu yang sedang dimasak mereka kencingi hingga rusak dan busuk.

Saya akan menulis kisah panjang dan detail tentang para ran yang pernah berperan selama berabad-abad, di pesta-pesta tradisional di Lombok. Di pulau ini, tidak semua juru masak adalah seorang ran. Sebab seperti disebutkan di atas, ran tak hanya paham racikan bumbu-bumbu hidangan. Ran ujung tombak suksesnya setiap perhelatan. Master koki lokal yang barangkali seusia dengan sejarah perjalanan sebuah suku bangsa bernama Sasak.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Buyung Sutan Muhlis

Penulis ialah pemerhati budaya dan editor di media dan menjadi penulis biografi tokoh-tokoh di NTB.

Artikel Terkait

OPINI