Ritual ‘Bau Nyale’ pada masa lalu dari penelitian ilmiah untuk cari jodoh

kicknews.today – Setiap tanggal 20 bulan ke 10 dalam penanggalan Sasak, orang-orang berkumpul di tepi pantai selatan di Pulau Lombok. Persis seperti yang saat ini menjadi festival pariwisata tahunan yang didukung pemerintah di Pantai Seger, dekat dengan Sirkuit Mandalika di Lombok Tengah. Masyarakat tumpah ruah sampai mendirikan tenda-tenda sederhana menunggu pagi untuk menangkap sejenis cacing laut.

Semua bersepakat kalau ritual ‘bau nyale’ ini berasal dari legenda Putri Mandalika yang tersohor. Mandalika putri cantik jelita dari kerajaan Tonjeng Beru mengorbankan dirinya bersatu bersama laut agar menghindari perang yang kemungkinan terjadi jika ia memilih salah satu pangeran yang meminangnya.

Dalam penelitian antropologi yang dilakukan Judith L. Ecklund dari Cornel University Amerika Serikat yang diterbitkan tahun 1977 berjudul Sasak Cultural Change, Ritual Change, and the Use of Ritualized Language dikatakan, ritual ‘Bau Nyale’ adalah referensi terhadap fenomena alam yang terjadi bersamaan dengan ajang mencari jodoh menjadi alasan utama orang untuk menghadiri.

“Cacing laut ini, banyak ditemukan di pantai selatan dari jenis poli- chaete palolo worm (Palola viridis) Ini diidentifikasi untuk saya oleh Dr. Kristian Fauchald dari Departemen Ilmu Biologi, University of Southern California) yang banyak ditemukan di terumbu karang. Siklus kawin tahunannya, di mana segmen posterior kawanan ke permukaan air, tampaknya dipicu oleh siklus bulan (dan mungkin rangsangan alami lainnya).” kata Judith dalam jurnalnya.

Dilanjutkan dia, nyale ini muncul setiap tahun, beberapa hari setelah bulan Februari bulan purnama, yaitu di tengah musim hujan dan diprediksi dengan cukup akurat dengan penanggalan Sasak. Kelimpahan dan kondisi cacing diambil sebagai indikasi kemungkinan keberhasilan tanaman padi. Cacing itu sendiri bisa dimakan dan dapat disiapkan dalam berbagai cara: mentah dicampur dengan parutan kelapa, dipanggang, atau disajikan dengan garam dan digunakan sebagai trasi (terasi fermentasi) untuk memasak. Nyale juga dianggap sebagai owat kuat (obat kuat) untuk membuat kuat secara seksual dan vitalitas.

Pria bergabung dengan sekelompok wanita ssat bau nyale (Jurnal Sasak Cultural Change, Ritual Change, and the Use of Ritualized Language)

Bau nyale dimulai pada sore hari dengan jalan-jalan. Grup dari perempuan desa membawa payung, dan didampingi oleh kerabat laki-laki, berjalan-jalan sepanjang pantai menyanyikan pantun tradisional. Sedang para Pemuda menonton dari kejauhan. Ketika sebuah kelompok yang mereka minati lewat, orang-orang akan mengikuti di belakang, bernyanyi serempak dengan kelompok dan mengikuti pemimpinnya.

Saat senja semakin dalam, para perempuan kembali ke tempat berlindung mereka di tepi pantai untuk menyiapkan makan malam dan para pria memperhatikan ke mana mereka pergi bahwa mereka dapat kembali nanti.

Setelah makan malam, suasana pantai berubah menjadi lingkungan pasar malam yang diterangi lentera. Para wanita duduk menghadap ke laut dalam kelompok empat atau lima orang. Kemudian sekelompok pria dating. Para wanita berusaha terlihat acuh tak acuh, terkadang menyembunyikan wajah mereka di balik payung. Berdiri atau duduk di luar jangkauan dari cahaya lampu petromaks yang menyala.

Para pria ini mulai menyanyikan salah satu pantun sebagai pengantar. Terkadang ada kesepakatan sebelumnya untuk bertemu. Perempuan memiliki pilihan menerima atau menolak laki-laki. Jika perempuan menjawab dalam pantun, para pria bergerak maju dan pertukaran pantun dimulai dengan sungguh-sungguh. Jika mereka tidak menjawab, orang-orang itu segera menyerah dan mencoba di tempat lain. Sekitar Jam 9 malam, sebagian besar kelompok berpasangan telah terbentuk.

Semua komunikasi dilakukan dengan pantun. Para pria biasanya memulai dengan sedikit sanjungan, mengatakan betapa beruntungnya mereka bertemu para wanita, menanyakan nama mereka dan mencoba untuk mendapatkan janji pertemuan atau pernikahan nanti.

Perempuan Sasak berjalan di pantai di saat bau nyale dengan pakaian terbaik (Jurnal Sasak Cultural Change, Ritual Change, and the Use of Ritualized Language)

Contoh pantun-pantun Sasak yang dinyanyikan saat prosesi bau nyale:

Mun kemalun lengkarang tunuq
Mun telaga Batu Putiq
Lamun ne lalo besalam juluq
Deq saq solah angen lampaq uleq

Paoq kambut leq Pejanggiq
Mun bebante laguq pait
Aoq sanggup mas ariq
Bareh to bale taoq ebait

Bau tekot saq leq rurung
Pinaq ares sedaq teri
Endeng lempot endeq kaq burung
Tekan bareh toq temeli
.

Embun tekan saq ji beli
Beli rendeng to Pemangket
Peken embe toq taq meli
Endeq cukup kepeng ongkos montor

Di era modern ini, prosesi bau nyale tidak banyak bergeser dari saat Judith L. Ecklund melakukan penelitiannya. Namun intervensi pemerintah dan perubahan zaman memunculkan berbagai pola baru seperti orang-orang yang datang dalam festival banyak yang ingin menyaksikan sebagai wisatawan dan ingin berbaur dengan masyarakat setempat selain berbagai atraksi panggung yang kini banyak disaksikan. (red.)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI