Ketika mendengar Nusa Tenggara Barat (NTB) atau “Bumi Gora,” sebagian besar kita mungkin teringat pada masa ketika provinsi ini dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil beras terbesar di Indonesia. NTB pernah menjadi kebanggaan nasional dengan surplus beras yang mengalir hingga ke luar negeri. Sayangnya, kini “Bumi Gora” tak lagi menjadi lambang semangat agraris dan ketahanan pangan, melainkan seperti bayangan yang tersisih oleh laju modernisasi.
Menurut Jurnal Respon Petani Terhadap Inovasi Penanaman Padi Sistem Gogo Rancah Lahan Sawah di Kecamatan Metro Timur Kota Metro oleh Arsendi Rifki Adipaty dkk., Gogo Rancah adalah metode penanaman padi yang memungkinkan tanaman tumbuh tanpa perlu kondisi tergenang air. Sistem ini menandai salah satu inovasi berharga dalam sejarah pertanian NTB. Dengan diterapkannya metode ini, produksi padi di NTB melonjak drastis, mengukuhkan NTB sebagai salah satu penyumbang utama swasembada beras pada 1984, sebuah pencapaian yang amat membanggakan bagi sektor pertanian.
Sistem Gogo Rancah, atau yang lebih dikenal dengan singkatan Gora, menjadi simbol keberhasilan swasembada pangan di NTB, yang menginspirasi julukan “Bumi Gora.” Pada masa itu, NTB dipimpin oleh Gubernur Gatot Suherman, yang tak hanya mendorong program ini, tetapi juga mendampingi Presiden Soeharto kala itu dalam menghadiri undangan Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma, sebagai pengakuan internasional atas keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan. Presiden Soeharto bahkan secara khusus mengunjungi Desa Truwai di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah pada tahun 1981, untuk ikut merayakan panen raya bersama petani setempat. Pada kunjungan itu pula, ia sempat ikut memanen bawang di Sembalun, Lombok Timur—sebuah momen bersejarah yang menandai apresiasi tinggi terhadap sektor pertanian NTB.
Sebagai pengingat masa jaya itu, berdirilah sebuah monumen berbentuk batu yang dikenal dengan Monumen Bumi Gora di Jalan Udayana, Mataram. Di sekelilingnya terdapat relief yang mengisahkan kehidupan masyarakat NTB sebelum dan sesudah keberhasilan sistem Gogo Rancah. Bukan sekadar hiasan, relief tersebut menggambarkan dedikasi, kerja keras, dan perjuangan masyarakat Lombok dalam meraih ketahanan pangan. Namun, kini monumen ini tersembunyi di belakang panggung hiburan di Teras Udayana, tempat di mana anak-anak muda menikmati konser musik atau acara hiburan lainnya. Ironisnya, generasi Z yang menikmati musik di area ini mungkin tak menyadari sejarah besar yang tersembunyi di balik tempat mereka berpesta, seolah-olah kenangan akan “Bumi Gora” kian memudar.
Generasi Z: Apakah Mereka Mau Jadi Petani?
Di era digital, generasi muda lebih banyak bercita-cita menjadi konten kreator daripada petani. Bagi sebagian besar generasi Z, kehadiran smartphone dan media sosial untuk meraih cuan atau popularitas tampaknya lebih menggoda dibandingkan berpanas-panasan di sawah. Alih-alih berbangga diri dengan profesi petani, lebih banyak yang merasa bangga menguasai aplikasi kamera ponsel atau mengejar tren viral. Mereka lebih mengidolakan gadget daripada cangkul, lebih mengenal fitur kamera ponsel daripada alat pertanian, dan lebih sering terpapar dunia digital dibandingkan kenyataan di lahan.
Masalah lainnya adalah ketidaktahuan generasi muda terhadap sejarah dan budaya pertanian NTB. Ketika disebut “Bumi Gogo Rancah,” banyak dari mereka mungkin tidak mengenal apa itu padi Gogo Rancah—padi yang tahan terhadap iklim kering dan dulu menjadi salah satu kunci swasembada pangan di NTB. Ketahanan pangan pernah dicapai dengan memperkenalkan varietas yang mampu tumbuh di lahan kering, tetapi hari ini ketahanan pangan hanya tinggal sebatas nostalgia.
Ke Mana Arah Kebijakan Pangan Kita?
Saat ini, kebijakan pangan kian berjarak dari petani lokal. Konsep food court dan digitalisasi pangan, meski terdengar menjanjikan, sering kali justru terlihat elitis dan kurang membumi. Sementara inovasi digital yang relevan untuk petani di lapangan jarang benar-benar diterapkan, arah kebijakan pangan terasa lebih menyesuaikan gaya hidup perkotaan dan hanya sedikit mendukung petani lokal yang membutuhkan akses ke teknologi tepat guna dan pendampingan langsung.
Menghidupkan kembali Bumi Gora bukan sekadar mengandalkan slogan atau program di atas kertas, melainkan upaya menyelaraskan antara teknologi dan tradisi, sekaligus menanamkan kebanggaan agraris di generasi muda. Semangat swasembada pangan bukan lagi hanya soal keberhasilan produksi, tetapi juga menyangkut ketahanan sosial-ekonomi masyarakat NTB secara keseluruhan. Jika tidak ada upaya nyata untuk mengedukasi generasi muda tentang pentingnya ketahanan pangan, kita hanya akan mengenang Bumi Gora sebagai bagian dari masa lalu yang megah namun perlahan terkubur. Rest In Peace Bumi Gora…