Aliansi P3MI NTB atensi carut-marutnya masalah perlindungan Pekerja Migran di NTB

kicknews.today – Aliansi Peduli Pemerhati Pekerja Migran (P3MI) NTB mengatensi jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTB yang mendapat perlakuan tidak manusiawi di Luar Negeri. Hal itu menjadi tanda tanya keseriusan pemerintah dalam menangani masalah yang dihadapi PMI.

Koordinator Aliansi P3MI NTB, Zahratun mengatakan, data jumlah PMI asal NTB yang bekerja di luar negeri sejak 2017 hingga 2019 bulan September lalu sebanyak 71.113 PMI.

Tak sedikit kata Zahra sapaannya, PMI yang mendapat masalah baik sebelum berangkat dan setelah bekerja sebanyak 6.780 orang PMI.

“Belum lagi yang unprosedural itu cukup banyak capai 567 orang PMI,” kata Zahra, Jumat (18/12) pekan ini.

Kondisi tersebut lanjut Zahra, menandakan penanganan PMI asal NTB tidak mengalami perubahan. Baik sebelum dan setelah ditempatkan di tempat ia bekerja.

Dikatakannya, sejak tiga tahun terakhir, jumlah jenazah PMI asal NTB yang dipulangkan capai 70 orang. Hal itu pun luput dari pemerintah NTB.

Padahal kata Zahra, aturan perlindungan PMI/BMI telah diatur dalam UU 39 tahun 2004 tetang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Saat ini ujar Zahra, lima masalah besar yang dihadapi PMI asal NTB. Pertama, layanan informasi yang minim membuat acapkali PMI berangkat melalui PT bodong.

Lalu yang kedua ujar dia, kelembagaan yang lemah dimiliki pemerintah kerap membuat PT tak berizin berani andil dalam menambah masalah PMI di NTB.

Ketiga lanjut Zahra, program pemberdayaan yang lemah dari pemerintah kerap membuat warga NTB mau tidak mau memilih menjadi PMI. “Keempat regulasi yang lemah dan terakhir soal roadmap jangka panjang,” katanya.

Perwakilan Organisasi Pemerhati PMI, Api Bumi Saleh mengatakan banyaknya jenazah yang dipulangkan dari luar negeri tak mendapat advokasi penuh dari pemerintah.

Sebagai kasus kata Saleh, pemulangan jenazah PMI asal Lombok Timur tak mendapat bantuan hukum dari pemerintah NTB.

“Saya melihat respon pemerintah sangat minim dalam mengadvokasi masalah yang dihadapi PMI,” ujarnya.

Selain itu, pengawasan dari pemerintah pentingnya proses keberangkatan PMI prosedural sangat minim. Sebab, dari tahun- ke tahun. Kasus pemberangkatan PMI non prosedural acapkali kembali terjadi.

“Informasi ini ada yang putus di tengah masyarakat. Biasanya PMI yang dari desa terpencil, pendidikan yang kurang kerap berangkat secara ilegal,” Kata Saleh.

Untuk itu, kami pun mendorong pemerintah untuk mengaktifkan peran aparat desa sebagai ujung tombak dalam memberikan informasi terkait syarat dan ketentuan keberangkatan PMI NTB.

“Jadi harus aktif. Aparat desa harus tahu, PT mana yang resmi. Aparat desa juga harus tahu vara bekerja secara aman saat di Luar Negeri. Inisiatif ini harus ada di desa-desa,” kata Saleh.

Salah satu PMI asal Rempek Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Utara Ariati (35) mengatakan bahwa dirinya sempat mendapat perlakuan tak baik oleh pihak PT tempat ia mendaftar sebagai PMI.

Kata Ariati, ia pernah mendapat kisah mengharukan ketika hendak berangkat menuju Abu Dhabi menjadi PMI tahun 2015 silam.

“Saya berangkat dari Lombok sebelum sampai di Jakarta. Saya sempat disekap di Batam. Setalah enam bulan di Jakarta saya dibawa ke Malaysia baru kemudian menuju Suryah dan bukan ke Abu Dhabi,” tuturnya.

Selama berada di Suryah kata dia, ia sempat mendapat perlakuan pembodohan oleh majikannya. “Saya bekerja 8 bulan hanya digaji dua bulan. Itu berlarut hingga dua tahun lamanya,” beber Ariati.

Merasa dirinya tertekan, ia pun kabur ke salah satu agensi kemudian lari ke KBRI di Suryah. “Di KBRI saya sempat tinggal 1 tahun. Baru kemudian pulang ke Indonesia tanpa membawa uang sepeserpun pada tahun 2017 lalu,” katanya dengan nada penuh sesal.

Ariarti pun berharap adanya nomenklatur khusus kolaborasi antar dinas, pemerintah, masyarakat dan elemen swasta baik itu PT dalam meningkatkan perlindungan bagi PMI asal NTB. (Vik)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI