Reformasi batas usia Cawapres yang mencederai palu hakim di Indonesia

Siti Rengganis Marlya Agestani
Siti Rengganis Marlya Agestani

Oleh: Siti Rengganis Marlya Agestani

Kisruh dingin yang terjadi pada politik Indonesia kali ini datang dengan sebuah kabar, perubahan batas usia minimal capres dan cawapres, dikutip dari medcom Indonesia, sebuah media jurnalis daring, dalam a quo dinyatakan, “q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dimaknai menjadi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.” Hal ini menambah buah bibir dan desas-desus masyarakat, dan beberapa hakim yang tidak setuju termasuk Hakim Saldi Isra.

Indonesia merupakan negara yang ditetapkan berdasarkan hukum, pada isu konstitusional yang sedang beredar kali ini, dikutip dalam situs detik, sebuah media berita tentang isu terkini di Indonesia, “MK menolak uji materi batas usia capres-cawapres yang diajukan PSI. Usia minimal 40 tahun tetap menjadi syarat bagi capres dan cawares”.

Keanehan dalam kasus ini adalah urgensi apa yang menjadi sebuah kepentingan untuk mencabut usia minimal 40 tahun menjadi wapres? Mungkin akan banyak sekali pertanyaan, termasuk pertanyaan “Apakah usia di bawah 40 tahun tidak bisa memiliki kesempatan menjadi Wakil Presiden?” sesuai yang diajukan oleh MK, dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023 terdapat syarat termasuk batas usia minimal capres-cawapres. Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. Berdasarkan Pasal 169 huruf (q) UU nomor 7 tahun 2017 berusia paling rendah 40 (empat puluh tahun). Saya memiliki pandangan tersendiri mengapa Presiden dan Wakil Presiden harus minimal 40 tahun, sebab kita mempertimbangkan kelayakan mental seorang pemuda yang akan mengatur negara.

Pada dasarnya jabatan Presiden sangat krusial dalam kenegaraan dengan sistem Republik untuk menentukan hajat ratusan juta masyarakat dengan ras, suku, budaya, dan agama yang berbeda serta banyaknya problematika yang tidak diketahui masyarakat lain. Dibutuhkan seorang pemimpin yang matang secara mental, ideologi, dan kesiapan dalam memimpin.

Presiden memiliki tanggung jawab untuk mengurus pemerataan negara dari letak geografis yang rumit dan masalah lainnya. Jika kualifikasi usia Presiden di bawah 40 tahun, bukankah akan lebih banyak menuai kontroversi baru? Saya setuju dengan ketetapan minimal 40 tahun. Usia tersebut dikatakan sudah matang secara mental dan ekonomi, walaupun sejatinya secara politik batas minimal usia tidak perlu dibatasi, mengingat memegang satu negara itu tidaklah mudah, usia menjadi tolok ukur penting untuk membentuk suatu batasan agar mengurangi resiko besar kelabilan di bawah usia 40 tahun, memang tidak ada yang bisa menjamin kesiapan umur seseorang terletak pada tahun keberapa, tetapi setidaknya kita memiliki acuan untuk semakin mematangkan diri.

Pada tanggal 16 Oktober 2023, MK menetapkan bahwa menyetujui syarat usia capres-cawapres 40 tahun inkonstitusional bersyarat. Putusan ini memberikan kesempatan pada mereka yang pernah menjabat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden. Namun, saya kurang menyetujui putusan syarat ini, karena terkesan memberikan suatu keberpihakan dan terkesan tidak adil untuk masyarakat Indonesia. Hal ini akan memunculkan prahara baru di Indonesia, mungkin penetapan minimal umur 35 tahun menjadi cawapres akan menguntungkan anak muda yang berkemampuan baik, tetapi, saya berpendapat bahwa prahara ini akan menuai politik dinasti yang tidak kita ketahui bagaimana kebenarannya.

Berkenaan pemaknaan baru dari persetujuan MK, saya berpandangan bahwa hal ini bisa menjadi suatu gebrakan baru untuk anak muda di Indonesia yang berpotensi memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Namun, saya tetap mengemukakan beberapa hal, bahwa berkaitan dengan norma baru, saya merasa bahwa reformasi batas usia yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat untuk sebagian pihak bisa mencederai esensi dari Republik dan palu hakim di Indonesia, karena bisa merubah pendirian Mahkamah dengan waktu yang singkat.

Pembentukan perubahan putusan dalam Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. Berdasarkan Pasal 169 huruf (q) UU nomor 7 tahun 2017, sangat singkat, cepat, dan lugas disampaikan Mahkamah, dan penyebaran medianya pun cukup cepat. Di satu sisi, perubahan batasan usia bisa menjadi sebuah revolusi baru dalam politik di Indonesia. Maka menurut saya, hal ini bisa menguntungkan pemuda Indonesia yang ingin memimpin Indonesia, tetapi, resiko besar terhadap pendirian Mahkamah yang sangat cepat pasti akan membuat kontroversi yang besar untuk masyarakat Indonesia sebab perubahan demikian. Namun pertanyaannya adalah fakta penting apa yang berubah di tengah masyarakat? Urgensi apa yang terdesak untuk putusan minimal 35 tahun ini? Sehingga berubah di tengah masyarakat dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 29-51-55PPU/XXI/2023 yang akhirnya dikabulkan menjadi a quo?

Hukum harus berpihak pada fakta dan kondisi netral yang sebenar-benarnya, hukum sendiri tidak bisa menjamin yang menang adalah yang benar, dan yang kalah adalah yang salah, sebab pada hakikatnya hukum itu adalah sebuah seni dari interpretasi.

Dalam hal ini maksudnya adalah bagaimana masyarakat memiliki pandangan dalam situasi atau kondisi tertentu dalam mengartikan sesuatu, fakta itu netral tetapi perspektif bisa berbeda. Gebrakan yang didesak untuk putusan undang-undang ini bagi saya bisa masuk akal jika memiliki alasan kuat yang bisa diketahui masyarakat atas desakan pengabulan putusan Mahkamah Konstitusi.

Penulis: Siti Rengganis Marlya Agestani

Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Siti Rengganis Marlya Agestani

Penulis ialah Duta Pendidikan Nusa Tenggara Barat 2022 – Youth Exchange 2022 & 2023 Malaysia – Thailand dan CEO dari oriental bread dan lombok hijab.co serta Top 5 Putri HijabInfluencer Tahun 2023.

Artikel Terkait

OPINI