Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Skincare Abal-abal

Oleh: dr. Maya Pramudita

Owner The Clinic Beautylosophy Lombok, Mahasiswi S2 Magister Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah Surabaya

Menjadi hal yang sangat wajar jika seseorang ingin terlihat cantik dengan kulit yang bersih dan sehat, semua orang apalagi perempuan sangat mengidamkan hal tersebut (Soyata & Chaerunisaa, 2021). Di zaman sekarang manusia cenderung memikirkan penampilan fisik, kecantikan menjadi penentu semuanya mereka beranggapan bahwa cantik merupakan modal utama dalam kehidupan. Fenomena yang terjadi tersebut mengakibatkan banyak sekali muncul skincare maupun kosmetik yang terbuat dari bahan yang berbahaya. Hal tersebut terjadi karena para produsen yang tidak bertanggung jawab tentu saja ingin mendapatkan keuntungan dari adanya fenomena tersebut. Ironisnya masyarakat Indonesia terutama perempuan masih saja banyak yang tergiur dengan skincare dengan harga yang murah tanpa memperdulikan efek sampingnya bagi kesehatan.

Skincare merupakan sejumlah rangkaian harian yang digunakan oleh sebagian besar wanita untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Banyak faktor yang mendasari mengapa perempuan tidak bisa dilepaskan dari yang namanya skincare yaitu mereka ingin membuat wajah terlihat putih, menghilangkan bekas jerawat, menghilangkan komedo dan ingin terlihat glowing seperti kulit wajah orang korea. Namun perempuan belum juga sadar bahwa terdapat banyak produsen diluar sana yang membuat skincare abal-abal dan dapat menyebabkan berbagai macam problem pada kulit wajah (Sari et al., 2020).

Banyak sekali perempuan yang tergiur dengan promo mengenai skincare yang dpaat secara langsung membuat kulit menjadi putih, glowing padahal skincare semacam itu perlu untuk diwaspadai. Tidak ada skincare yang otomatis membuat wajha menjadi glowing jika ada berrati skincare tersebut merupakan skincare abal-abal yang dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan saja. Jenis skincare seperti itu justru sangat membahayakan dan perlu untuk di waspadai yang menghasilkan wajah yang cepat putih. Oleh karena itu banyak wanita memilih cara lain untuk membeli produk harga rendah terlepas dari kelayakan dan keandalan produk. Skincare didapat dengan harga yang murah jauh dari harga pasaran, karena tidak ada izin edar dari BPOM. Skincare yang dijual produk murah mungkin memiliki tanggal kadaluarsa atau mungkin skincare palsu.

BPOM merupakan badan pengawasan obat dan makanan. Semua skincare yang akan beredar harus melalui uji BPOM terlebih dahulu (WATI et al., 2019). Jika suatu produk tidak memiliki izin BPOM sudah dapat dipastikan bahwa produk tersebut tidak layak untuk dibeli atau dipakai oleh masyarakat. Penyakit masyarakat Indonesia jika membeli sesuatu tidak membaca deskripsi dalam produk tersebut terlebih dahulu apalagi jika tergoda dengan iklan atau kemasan yang menarik langsung saja membeli produknya tanpa membaca bahan dan kandungan yang ada dalam rpoduk. Produk skincare abal-abal sangat menjamur di Indonesia bahkan ada juga yang menjual melalui e-commerce. Bnayak sekali produk dipasaran yang tidka ada BPOMnya namun tetap dipasarkan.

BPOM selalu rutin mengecek skincare-skincare yang ada dipasaran nah jika di cek ternyata banyak sekali produk skincare yang palsu dan mengandung zat kimia berbahaya. Produk kecantikan palsu biasanya mengandung hydroquine, mercury, retinoic acid dan rhodamin. BPOM sendiri telah melarang penggunaan bahan tersebut. Hydroquinone sendiri merupakan senyawa yang bila digunakan dalam produk skincare berfungsi sebagai whitening atau pencerah kulit. Senyawa ini memiliki efek samping yang umum, yaitu kulit akan mengalami iritasi atau kemerahan dan memiliki efek terbakar setelah terpapar hydroquinone.

Bahan berbahaya tersebut sangatlah menakutkan jika digunakan di wajah kita, wajah yang semula baik-baik saja akan berubah menjadi rusak dan susah untuk disembuhkan. Berbagai cara dilakukan oleh produsen yang jahat dan mengincar keuntungan saja semua hal dilakukan agar mendapatkan laba yang besar namun tidak memikirkan masyarakat yang terkena dampaknya sungguh sangat ironi sekali. Sebenarnya untuk mengetahui produk tersebut sangat mudah jika itu produk impor dari luar negeri maka dapat dilihat dari komposisi dan apakah sudah ada keterangan BPOM maka sudah pasti aman dan dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia. (Wijaya & Ahmad Yani, 2000).

Semakin maraknya peredaran skincare berbahaya maka harus adanya perlindungan hukum bagi konsumen. Hal tersebut terjaid karena setiap tahunnya masyarakat yang mengalami korban skincare palsu semakin meningkat. Perlindungan yang dimaksud agar konsumen lebih terlindungi dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha skincare. Produk skincare yang banyak beredar di pasaran terutama skincare yang diracik diperjualbelikan dengan harga yang murah dalam kemasan yang menarik serta mudah didapatkan.

Di Indonesia pengawasan mengenai skincare dari luar negeri maupun produk lokal yang tidak memiliki ijin BPOM sangatlah banyak karena kurangnya pengawasan akibatnya produk-produk tersebut marak digunakan oleh masyarakat apalagi masyarakat cenderung suka dengan produk yang murah, namun membiarkann efek yang cepat akan tetapi itu snagatlah berbahaya bagi kulit dan tubuh. Selain itu juga kurang adanya pengawasan terhadap produk-produk skincare mengenai kualitas dan mutunya yang akan berdampak merugikan bagi konsumen (Dwi Muliyawan, 2013).

Mengapa diperlukan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap skincare abal-abal. Mengingat proses pembuatan produk kecantikan di zaman kuno, bahan-bahan yang digunakan untuk mempercantik diri adalah ramuan herbal alami yang bisa didapatkan dari lingkungan, misalnya mentimun itu biasanya untuk mendinginkan kulit, minyak kelapa digunakan untuk melembabkan rambut, kulit tubuh sampai kuku, kapur biasa digunakan untuk scrub kulit mati, arang kayu juga bisa digunakan untuk sikat gigi. Dengan perkembangan waktu, sekarang bahan-bahan yang terkandung dalam produk kosmetik tidak hanya dari bahan alami tapi ada banyak campuran zat lain dalam bentuk zat kimia dengan maksud untuk mendapatkan suatu proses yang lebih instan.

Hingga saat ini kosmetik masih sangat diminati oleh masyarakat terutama untuk kaum wanita. Secara umum, proses pembuatan kosmetik harus bermanfaat, seperti alami dicampur dengan campuran lain, misalnya: glitter, warna, parfum atau wewangian. Di mana produk ini digunakan berulang setiap hari, menyebabkan masyarakat lebih konsumtif dengan tujuan mendapatkan perhatian dan dimudahkan dalam mencari pasangan. Itu sebabnya orang-orang biasa menjadi sasaran lunak dari penjual produk kosmetik ilegal alias omong kosong. Perasaan ingin menjadi yang tercantik membuat orang (konsumen) tergiur untuk membeli produk tersebut bermerek tetapi juga murah untuk dibuat penjual membuat produk kosmetik atas nama kosmetik asli yang telah dibubuhi informasi komposisi dan BPOM fiktif, sehingga banyak orang tergoda dan membeli produk.

Banyaknya produk make-up yang bertebaran di pasar Indonesia, seperti makeup import dari China yang diperjual belikan secara online secara gratis dengan harga yang sangat terjangkau dari kosmetik lainnya, menggunakan kemasan yang enak dipandang mata dan juga produk yang mudah didapat. Hal ini jelas karena tidak ada pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap barang ilegal, sehingga sebagian besar barang yang diimpor secara ilegal tidak memiliki izin, dan tidak sesuai dengan standar BPOM. Kehadiran item make up sangat fresh bagi masyarakat khususnya kaum hawa untuk menunjang dan memaksimalkan penampilannya agar terlihat anggun dan menawan. Namun banyak barang dan make-up yang berserakan ternyata menggunakan campuran bahan kimia yang tidak harus disertakan dalam produk mereka. Yang lebih mengejutkan lagi, pola pikir konsumen yang ingin selalu murah dipandang sebagai kecerobohan masyarakat yang tidak peduli dengan akibatnya. Hal tersebut dimanfaatkan oleh produsen nakal yang membuat produk asal-asalan dan membahayakan jika dikonsumsi terus-menerus.

Ketetapan MPR tahun 1993 sudah dijelaskan mengenai aturan antara produsen dan konsumen, bahwa sebagai produsen tidak boleh membuat rugi para konsumen entah dalam materi maupun non materi dalam bidnag skincare harus membuat skincare dan kosmetik yang aman bagi kulit dan tubuh manusia. Dalam direktif tersebut terdapat pengertian hukum konsumen dimana hukum konsumen adalah seperangkat aturan dan prinsip yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan suatu produk, baik barang maupun jasa, antara penyedia produk dan pengguna (Az Nasution, 2018).

Perlindungan konsumen saat ini merupakan hal yang mendesak yang harus diperhatikan, dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan mampu menjawab permasalahan yang ada, selain maraknya pasar luar negeri yang masuk ke Indonesia dan pemerataan penggunaan kosmetik menyebabkan pengawasan kosmetik. khususnya dapat ditekankan. Selain itu, penggunaan bahasa dalam penjelasan dan komposisi yang tidak dapat dipahami serta penggunaan bahan berbahaya dapat menjadi dasar yang kuat sehingga masalah ini dapat dijadikan pembahasan serius untuk diatasi.

Sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peredaran skincare yang mengandung bahan berbahaya bagi penggunanya bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang perlindungan konsumen yang menyatakan bahwa “perlindungan konsumen didasarkan pada manfaat, keadilan, keseimbangan, keselamatan dan keamanan konsumen, serta kepastian hukum”. Salah satu bentuk penyalahgunaan skincare adalah penggunaan zat adiktif atau zat berbahaya yang ditambahkan ke dalam produk skincare. Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, yang dimaksud dengan zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang dapat menyulitkan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada faktor tersebut.

Tentu saja jika dibuat perlindungan hukum berrati itu untuk melindungi smeua konsumen agar tidak dirugikan jika membeli suatu produk. Keberadaan undang-undang perlindungan konsumen sebenarnya memiliki peran strategis bagi konsumen dan bagi pelaku usaha, konsumen akan mendapatkan kejelasan tentang hak-haknya secara nyata yang akan memudahkan mereka untuk berhubungan dengan dunia usaha ketika hak-haknya tidak terpenuhi, dan pada Di sisi lain undang-undang juga akan mengarahkan perilaku pelaku usaha untuk memperhatikan hak-hak konsumen dalam mengelola usahanya, termasuk dalam hal pemasaran produk (tatik Suryani, 2012).

Perlindungan konsumen menurut (Shidarta, 2013) disini Sidharta menjelaskan bahwa perlindungan hukum konsumen merupakan sebuah usaha untuk melindungi semua konsumen dari hal-hal yang sewajarnya tidak terjadi untuk membuat aman dan nyaman masyarakat dlaam membeli suatu produk. Sebelum mengkonsumsi suatu produk alangkah baiknya jika konsumen mengecek terlebih dahulu kandungan yang ada di dalam barang tersbut dan disesuaikan dengan kondisi seseorang konsumen tersebut dan seorang produsen wajib menyertakan komposisi dan bahan yang ada dalam produk tersebut dalam kemasan.

Ada dua macam usaha perlindungan kosumen yaitu preventif dan represif. Yang pertama adalah perlindungan preventif yang merupakan sebuah usaha yang dapat diartikan produsen wajib mencantumkan bahan dan komposisi yang ada dalam kemasan produk tersebut agar konsumen dapat mengeceknya. Sedangkan perlindungan hukum represif adalah perlindungan final berupa sanksi berupa denda, kurungan, dan hukuman tambahan yang diberikan jika telah terjadi sengketa atau telah dilakukan pelanggaran.

Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen pengguna perawatan kulit yang mengandung zat adiktif membuat konsumen menjadi ketergantungan yaitu dengan memberikan sanksi administratif yang dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melanggar Pasal 60 ayat 2 UUPK berupa ganti rugi sebesar Rp. 200.000.000. dan yang berhak mengadili atau menjatuhkan sanksi administratif adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Perlindungan konsumen dari aspek perdata dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha yang menjual produk perawatan kulit yang mengandung zat adiktif yang membuat konsumen ketergantungan dan berdampak pada kesehatan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1371 KUH Perdata.

Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang kuat mengenai hukum perlindungan konsumen agar konsuemn merasa aman dan nyaman menggunakan produk yaitu telah diatur dalam Pasal 19 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan”.

Perlindungan hukum bagi konsumen skincare agar merasa nyaman, aman, dan selamat terkait peredaran kosmetika yang mengandung bahan berbahaya seperti zat adiktif telah ditempuh secara normatif oleh pemerintah dan jajarannya dengan menetapkan peraturan tentang pembinaan dan pengawasan berdasarkan keputusan menteri. POM RI No. H. 03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika serta Sanksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diharapkan dapat menyadarkan para pelaku usaha agar berusaha dengan itikad baik.

Sebenarnya seorang konsumen yang telah kena tipu merek skincare abal-abal mendapatkan jaminan perlindungan konsumen dan dapat mengadukan hal tersebut kepada pihak yang berwenang namun kenyataannya masyarakat awam akan hal tersebut jadi jika terjadi penipuan oleh merek tertentu merea menanggung sendiri akibatnya dan berpikiran itu merupakan ketidakcocokan dari skincare yang dipakai hal tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat bahwa konsumen mendpatkan perlindungan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi konsumen yang telah dirugikan oleh pengguna kosmetik. Pasal 4 huruf e tentang hak-hak konsumen menyatakan “hak untuk memperoleh pembelaan, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa serta perlindungan konsumen yang layak”.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 selain bertanggungjawab memberikan ganti kerugian terdapat juga snaksi pidana terhadap pelanggaran dalam periklanan yang dilakukan oleh pelaku usha yaitu tertuang dalam pasal 62 ayat (1),(2) dan 93) yang berbunyi :

a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,Pasal9,Pasal 10,Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
b. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 11, pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
c. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, skait berat, cacat tetap atau mati diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Ketentuan pasal 62 tersebut diberlakukan dua aturan hokum sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berta, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlkaukan ketentuan hokum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undnag- Undang Hukum Pidana (KUHP), sementara diluar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam Undnag-Undnag Perlindungan Konsumen.

Hal lain juga dapat diketahui dari ketentuan ini, bahwa sanksi pidana yang dikenal dalam undnag-undang perlindungan konsumen dua tingkatan yaitu snaksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp. 2.000.000.000 dan sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000. Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 62, berdasarkan pasal 3 Undnag- Undang Nomor 8 Tahun 1999 pelaku usaha juga dapat dijatuhi hukuman tambahan yakni berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran dan pencabutan izin usaha.

Disarankan kepada pemerintah untuk meningkatkan dan memperkuat sistem proses pengawasan peredaran produk kosmetika, baik impor maupun lokal yang mengandung zat adiktif, yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, agar regulasi yang telah dibuat dapat efektif secara maksimal di lapangan. dan meminimalkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI