Catatan akhir pekan,
Saat akan berangkat kuliah ke Hamburg, Jerman, saya mendengar cerita dari banyak teman bahwa harus hati-hati berbicara tentang Adolf Hitler. Tidak boleh sembarangan menyebut nama bapak partai Nazi itu. Bahkan tidak boleh mengangkat tangan seperti ucapan salam yang dulu diberikan kepada sang diktatur.

Meski terlarang menyebut nama Hitler, pameran sejarah kelam genosida masih terus ditampilkan.

Saya mengerti akan sensitifnya sejarah Jerman yang kelam ini. Malam-malam saya dimulai dengan membaca cukup banyak artikel, dan berakhir dengan menonton cukup banyak film yang membuat perasaan sungguh memilukan.
“Film-film sejarah holocaust sebaiknya hanya cukup ditonton satu kali”, tulis beberapa judul postingan akun di Youtube.
Ini karena film-film tersebut diangkat dari kisah nyata dan memperlihatkan banyak kekerasan.
Sejarah memang sudah berlalu, tapi ingatan-ingatan perang sampai sekarang terasa masih sangat hidup. Saya sering menemukan pameran holocaust di beberapa tempat publik seperti museum, balai kota, dan perpustakaan.
Dari sini saya banyak belajar bagaimana Jerman menjalin hubungan dengan masa lalu yang pedih. Hamburg(Jerman Utara), adalah salah satu kota yang mengalami sejarah hitam perang dunia, termasuk menjadi tempat kamp konsentrasi Nazi, Neuengamme concentration camp.
Pada hari-hari pertama tinggal di Hamburg, saya tidak berani membicarakan sejarah ini, tapi pada waktu tertentu, saya menemukan pameran perang hampir tiap musim.
Seorang teman tandem Bahasa Jerman saya, Lisa, kebetulan menyukai sejarah seperti saya. Kami membuat janji sekali seminggu untuk bertemu dan membicarakan banyak hal tentang Jerman, meski demikian saya tetap tidak pernah menanyakan tentang sejarah kelam Jerman tersebut.

Tapi pada musim dingin tahun 2019 lalu, dia mengajak saya mengunjungi pameran holocaust di Rathaus Hamburg (Balai Kota Hamburg). Saya tentu sangat tertarik untuk datang. International Holocaust Remembrance Dayyang diperingati setiap tanggal 27 Januari, pameran saat itu lebih berfokus pada korban perempuan yang selamat dari genosida.
Bagaimana para perempuan yang kebanyakan yahudi maupun komunis (bahkan warga biasa yang membela kemanusiaan ikut jadi korban), dikirim dari beberapa negara di Eropa-paling banyak dari Polandia-ke kamp konsentrasi dan penjara pertama untuk wanita di Hamburg.
Terdapat juga foto para tawanan yang juga menjadi pekerja paksa,“para korban serangan bom“, tertulis di caption foto tumpukan mayat dengan seragam garis-garis.

Saya banyak bertanya kepada Lisa tentang plakat persegi kecil berwarna gold yang banyak ditemukan di sepanjang jalan paving batu di hampir setiap gang-gang rumah penduduk. Stolpersteine atau stumbling blocks sebutan untuk plakat itu, Lisa menjelaskan kalau itu memang sebuah tanda bahwa para korban holocaust pernah tinggal di jalan tersebut.
Sebuah proyek seorang seniman untuk mengenang para korban yang dibunuh agar nama mereka tidak dilupakan, jelas Lisa.
Mungkin stolpersteine ini adalah sebuah memorial holocaust terbesar yang bisa dijumpai. Pembuatnya, Gunter Demnig, tidak hanya memasangnya di Jerman, tapi jugadi 22 negara termasuk Austria, Hungaria,Polandia, dengan dukungan banyak sukarelawan.
Pada musim panas ketika berkunjung ke perpustakaan kota, saya menemukan cerita korban khusus anak-anak. Semua foto dan lukisan yang dipamerkan adalah potret close-up anak-anak korban pembunuhan masal.
Betapa banyaknya kisah yang dialamai setiap korban perang, yang meninggal maupun yang berhasil selamat. Dari cerita para perempuan yang bertahan hidup, cerita beberapa kelompok keluarga yang melarikan diri, hingga cerita personal tentang para militer Nazi.

Kamp konsentrasi dan museum sejarah genosida
Saya berkunjung ke kamp konsentrasi Neuengamme pada musim dingin, meski beberapa bangunan telah dihancurkan tapi tempat tersebut direpresentasikan tidak banyak berubah dari aslinya.
Banyak barang pribadi mulai dari surat-surat, gelang, cincin, kalung, pakaian milik para korban yang semuanya terlihat terawat dengan baik. Saya berpikir, bagaimanakah proses pembuatan museum memorial ini, pasti memerlukan usaha yang sangat besar untuk mengumpulkan barang-barang dari para korban dan berhasil memajangnya sebagai display pameran.

Apakah Indonesia suatu hari bisa menampilkan sebuah pameran atau museum sejarah pembunuhan massal yang merupakan sejarah kelam yang sangat sensitif dibicarakan?
Dalam beberapa tahun terakhir sampai sekarang, memorial kamp konsentrasi Neuengamme telah meneliti dan bekerja untuk meningkatkan kepedulian orang-orang terhadap persekusi yang dialami para tahanan perang, juga bertujuan untuk meningkatkan keberanian kepada para korban yang masih hidup untuk datang mengunjungi Hamburg.
Saya juga menemukan sebuah jalan di kota Hannover, Adolf strasse (Adolf Street), mungkin ini nama satu-satunya yang masih digunakan. “Sampai sekarang tidak boleh ada nama Adolf dipakai sebagai nama orang”, jelas seorang teman, Julian, ketika kami melewati jalan tersebut. Ini tentu saja untuk menghindari ingatan suram, tapi lebih dari itu, agar anak-anak tidak dibully.
Saat di Berlin, saya mengunjungi Momorialto the Murdered Jews of Europe dengan disain dua ribuan lempengan tembok balok yang kelabu berbentuk seperti peti mati dan batu nisan.
“Saat melewati beberapa lorong sempit, kita akan merasa seperti memasuki gerbang nasib yang tidak menentu dan semakin kelam, semua korban yang ditahan tahu bahwa mereka akan dibunuh,” jelas Dian, teman saya yang berkuliah di Berlin, ketika kami berkunjung di sore hari.
Di bawah monumen, ada sebuah museum bawah tanah holocaust yang paling mengaduk emosi. Ada ruang di mana banyak surat-surat yang dtulis oleh para korban pada hari-hari terakhir mereka sebelum akan dieksekusi. Surat-surat perpisahan yang sangat menyedihkan, banyak ucapan cinta antara pasangan kekasih, anak dengan ayahnya tentang apa itu hidup, dan pesan terakhir seorang ibu tentang kerinduan kepada anaknya yang entah berada di mana.

Belajar dan menjalin hubungan dengan masa lalu kelam
Sejarah dibangun dengan penderitaan, seakan tanpa penderitaan, sejarah tidak akan ada, begitu kata Soe Hok Gie.
Begitu memilukannya sejarah, namun pameran-pameran holocaust nampaknya akan terus ditampilkan, mengenang begitu banyaknya korban yang belum diceritakan, dan sebagai pembelajaran kemanusiaan.
Sampai sekarang perang masih terjadi dan tak berkesudahan di beberapa tempat, seakan masih banyak orang belum juga bisa merasakan kepiluan perang yang telah banyak ditemukan di museum,film, dan buku-buku.
Masih banyak rahasia sejarah perang di beberapa tempat yang belum berani dibicarakan dan bahkan sengaja diubah dengan tujuan tertentu. Apakah kita bisa mengatakan ini sebagai krisis kemanusiaan yang malang?
Seperti di Indonesia, akankah ada seseorang yang akan melakukan hal yang sama sepreti Demnig dan apakah kita bisa menuliskannnya dalam buku-buku tanpa kecemasan?
Betapapun kelamnya sejarah, ia tetaplah bagian terpenting yang harus diketahui. Waltraud Pless – seorang wanita asal Polandia-seperti yang tertulis di National Geographic (Juni, 2020), di usianya yang tidak muda masih bersemangat mengunjungi sekolah-sekolah di Hamburg untuk menceritakan pengalaman masa perangnya kepada para pelajar. Bukankah sebuah bangsa tanpa sejarah ibarat sebuah pohon tanpa akar,akan gampang ditumbangkan?
Sementara itu, Indonesia hampir saja menghapus mata pelajaran sejarah sebagai yang tidak penting dalam kurikulum.
Yang pasti tinggal di Jerman membuat saya banyak belajar bagaimana menjalin hubungan dengan masa lalu yang kelam sebagai bekal pendidikan sejarah perang untuk generasi yang akan datang.
Sebuah kata bijak mengatakan, jika kita tidak mengakhiri perang, maka perang yang akan mengakhiri hidup manusia. (nsa)