Perda Pencegahan Perkawinan Anak di NTB bikin kecewa aktivis

kicknews.today – Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nusa Tengara Barat (NTB) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak sudah disahkan. Namun kemunculan Perda ini menuai kritik keras dari para aktivis. Sebab beberapa pasal telah dihapus.

Kritikan itu datang dari aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Joko Jumadi. Menurutnya Perda itu tak lebih dari pepesan kosong. Beberapa pasal terkait sanksi berat bagi pihak yang terlibat dalam pernikahan anak dihapus.

Padahal dalam rapat paripurna dengan DPRD NTB, eksekutif dan legislatif menyetujui rancangan Perda sebelumnya.

Dalam Ranperda yang ditetapkan dalam paripurna DPRD, kata Joko, ada sanksi administratif dan sanksi pidana. Termasuk pidana kurungan maksimal 6 bulan bagi para pihak yang terlibat dalam perkawinan anak.

”Namun setelah ditandatangani Gubernur NTB pasal-pasal tersebut hilang,” ungkapnya.

Termasuk yang hilang adalah soal alokasi anggaran 1 persen untuk pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Misalnya, Pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 mengatur sanksi administrasi bagi setiap orang, termasuk orang tua yang menikahkan anaknya.

Kemudian Pasal 31 yang mengatur sanksi pidana bagi orang yang melanggar, kurungan maksimal 6 bulan dan atau denda Rp 50 juta.

Lalu Pasal 33 dalam Raperda yang disepakati berbunyi, pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran pencegahan perkawinan anak paling sedikit 1 persen dari APBD NTB.

Tapi dalam Perda NTB Nomor 5 Tahun 2021 yang diteken gubernur NTB, pasal tersebut dihapus. Hanya ada Pasal 27 berisi pembinaan dan pengawasan.

Isinya tidak tegas mengatur sanksi bagi para pihak yang terlibat dalam perkawinan anak. Sementara soal pendanaan, diatur pada Pasal 28 ayat 2 yang menyebut, pendanaan sesuai kemampuan daerah.

Joko sangat menyesalkan perubahan sangat drastis tersebut. Padahal Perda tersebut sebelumnya mendapat apresiasi banyak pihak.

Bahkan Gubernur NTB Zulkieflimansyah mendapat penghargaan dari menteri karena memiliki Perda tersebut. Tapi belakangan beberapa ketentuan dalam regulasi itu justru diubah.

Joko Jumadi merasa janggal dengan perubahan Perda, karena evaluasinya tidak melibatkan DPRD. Seharusnya jika ada perbaikan juga perlu disampaikan.

Bereda dengan Joko Jumadi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram Ruli Ardiansyah menjelaskan, yang perlu adalah implementasi Perda tersebut, sehingga bisa merubah paradigma masyarakat. Untuk sekarang tidak perlu ada sanksi pencegahan pernikahan usia anak.

Sebab yang menjadi pokok masalahnya paradigma masyarakat yang masih menganggap menikahkan dibawah 18 merupakan perbuatan baik, masyarakat harus sadar dulu bahwa menikahkan anak dibawah umur itu adalah perbuatan tidak baik baru setelah itu 5 tahun ke depan dikuatkan dengan adanya sanksi. “Pasal yang hilang nggak jadi masalah menurut saya,” jawabnya singkat. (Nur)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI