kicknews.today – Wacana pemekaran 26 desa di Kabupaten Lombok Utara (KLU) terus bergulir dan kini memasuki tahap krusial. Pemerintah Daerah (Pemda) KLU melalui Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa (DP2KB PMD) tengah memfokuskan perhatian pada proses evaluasi kelayakan administratif dan verifikasi lapangan terhadap desa-desa calon pemekaran.
Kepala Bidang Pendataan dan Administrasi Desa, Marta Efendi menjelaskan bahwa saat ini pihaknya tidak sedang menyusun naskah akademik yang kompleks, melainkan lebih pada evaluasi sederhana. Hasil verifikasi administrasi dan lapangan ini menjadi dasar utama dalam menentukan apakah suatu desa layak dimekarkan atau tidak.

“Kalau sekarang ini kajian yang sederhana terkait dengan hasil evaluasi administrasi dan verifikasi lapangan, itu bisa kami nyatakan layak atau tidak. Kemudian nanti setelah kajian, maka kami akan menerbitkan rekomendasi ke bupati,” jelas Marta, Jumat (25/07/2025).
Setelah evaluasi selesai dan rekomendasi dikeluarkan, Bupati akan menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) tentang Desa Persiapan, jika hasilnya menyatakan layak. Selanjutnya, proses akan berlanjut ke tingkat provinsi dan pusat. Marta optimistis sebagian besar dari 26 desa tersebut akan mendapat lampu hijau tahun ini.
Namun, proses pemekaran tidak semudah membalik telapak tangan. Tim verifikasi yang telah turun ke lapangan menemukan berbagai tantangan. Salah satunya adalah perubahan sikap dari beberapa dusun yang awalnya mendukung pemekaran, namun kemudian menyatakan tidak ingin mekar.
“Ternyata kemarin dia ingin, sekarang turun tim buat lagi pernyataan tidak ingin mekar. Kan ada itu,” ungkap Marta.
Persoalan lainnya adalah batas wilayah desa yang belum tuntas dan potensi wilayah yang dinilai belum cukup kuat untuk berdiri sendiri. Ini menjadi hambatan serius karena batas desa menjadi syarat mutlak dalam pembentukan desa baru, sebagaimana yang juga terjadi di beberapa daerah seperti Lombok Barat.
Tak hanya aspek teknis, kemampuan keuangan daerah juga tengah dikaji. Pemekaran satu desa memerlukan biaya besar, terutama dalam penyusunan Perda dan naskah akademik. Marta memperkirakan, jika seluruh 26 desa dimekarkan, setidaknya dibutuhkan anggaran sekitar Rp2,6 miliar hanya untuk dokumen hukum semata.
“Satu Perda satu akademik, satu desa satu Perda. Kalau 100 juta per Perda termasuk naskah akademiknya, kita butuh Rp2,6 miliar,” ungkapnya.
Tak hanya itu, jika pemekaran berjalan, maka alokasi dana desa (ADD) untuk membayar penghasilan tetap (siltap) dan tunjangan perangkat desa akan melonjak drastis, bisa mencapai Rp10 miliar per tahun. Oleh sebab itu, tim keuangan daerah juga dilibatkan dalam proses kajian ini.
Pemda KLU saat ini juga sedang merevisi Perbup batas desa sebagai langkah antisipatif terhadap persoalan batas wilayah. Meskipun 33 desa induk telah memiliki regulasi batas, penyesuaian dengan koordinat skala 1:5000 tengah dilakukan untuk memperkuat legalitas.
“Kita ikuti saja itu, artinya prosesnya dalam perjalanan,” tutup Marta.
Dengan segala tantangan yang ada, pemekaran 26 desa ini menjadi pertaruhan besar bagi KLU, antara keinginan untuk memperluas pelayanan publik dengan kemampuan daerah menanggung beban administratif dan finansial. Masyarakat pun kini menunggu keputusan final dari Bupati: berapa desa yang benar-benar layak untuk mekar dalam waktu dekat. (gii-bii)