Tahun 2020 adalah ‘Tahun Kelam’ bagi Jurnalis Indonesia

kicknews.today – Tahun 2020 bakal dikenang sebagai tahun yang khusus dalam sejarah Indonesia, termasuk juga pers.

Pandemi Corona Virus Disease akibat SARS-COV-2 COVID-19 melanda dunia sejak Maret 2020 membawa dampak besar bagi dunia pers dan jurnalis.

Hal itu ditandai dengan penutupan beberapa media dalam upaya efisiensi yang berbuntut pada lahirnya pemutusan hubungan kerja penundaan dan pemotongan gaji.

Sekjen AJI, Revolusi Riza mengatakan, semua langkah itu dilakukan untuk bertahan dari krisis itu berdampak pada kinerja media, cara kerja jurnalis, dan juga kesejahteraannya.

Di tengah tekanan berat dari sisi ekonomi jelas Riza, ancaman juga datang dari sisi kebebasan. Tahun 2020 menandai babak baru dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Divisi Advokasi AJI kata Riza, mencatat ada 84 kasus selama 2020. Ini bukan hanya lebih banyak dari tahun 2019 yang mencatat 53 kasus, tapi menjadi jumlah paling tinggi sejak AJI memonitor kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Dari segi jenis kekerasan, yang paling mendominasi adalah intimidasi dan kekerasan fisik. Namun perkembangan yang lebih merisaukan adalah meningkatnya kualitas jenis serangan digital terhadap media.

“Kekerasan ini juga merupakan dampak ikutan dari pandemi. Sebab, serangan terhadap media secara siber itu terjadi dengan menyasar media dan jurnalis karena pemberitaannya yang memuat semangat kontrol sosial terhadap pemerintah dalam menangani pandemi,” kata Riza, Senin (28/12).

Jenis jasus kekerasan terhadap jurnalis tahun 2020 ada berupa gugatan Perdata
dan ancaman kekerasan atau teror mobilisasi massa. Ada juga kata Riza, penyerangan
kantor Redaksi pemidanaan atau kriminalisasi sensor dan pelarangan pemberitaan.

Selain itu, perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan. Kekerasan fisik (serangan dengan cara membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server, sistem, atau jaringan) yang mengakibatkan situs magdalene.co down dan tak bisa diakses.

Pada kasus Konde.co, sejak tanggal 15 Mei 2020, juga tak bisa lagi mengakses akun Twitter-nya. “Konde mendapat informasi adanya pembukaan akun twitternya secara paksa oleh seseorang di Surabaya, Yogyakarta, dan Belanda,”kata Riza.

Selain peretasan, AJI juga menyoroti kasus doxing yang terjadi sepanjang 2020. Doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas seseorang.

“Lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. Ini seperti yang dialami jurnalis cek fakta Liputan6.com,” katanya menerangkan.

Serangan doxing dilancarkan terkait karya jurnalistik korban yang dipublikasikan pada 10 September 2020. Sehari kemudian pelaku melancarkan serangan, dengan mempubikasikan data-data pribadinya di sejumlah akun media sosial, termasuk Instagram dan Telegram.

“Foto pribadi Jurnalis Liputan6.com diambil tanpa izin, diubah menjadi animasi, untuk mendiskreditkan korban,” sesalnya.

Pun pada kasus yang dialami Ika Ningtyas dan Zainal Ishaq, dua jurnalis dan pemeriksa fakta Tempo.co juga mengalami doxing saat menjalankan pekerjaannya.

Kasus doxing ini bermula ketika CekFakta Tempo menerbitkan 4 artikel hasil verifikasi terhadap klaim dokter hewan M. Indro Cahyono terkait
COVID-19 sejak April-Juli 2020.

“Kasus serangan siber juga dialami jurnalis Detik.com. Pemicunya adalah berita soal rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Bekasi untuk membuka pusat perbelanjaan, 26 Mei 2020,” kata Riza.

Pada kasus tersebut, rencana Jokowi itu menjadi sorotan luas publik. Rencana Presiden membuka mall di tengah pandemi yang masih menggila, menuai kritik tajam. Jurnalis Detik.com yang menulis berita itu juga menjadi sasaran kemarahan pendukung presiden.

“Serangan secara digital dilakukan dengan mengekspos identitas jurnalis. Korban juga mendapatkan ancaman pembunuhan dan diteror dengan order makanan fiktif,” kata Riza.

Juga, salah satu regulasi yang menjadi sorotan AJI Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 5
Oktober 2020.

Undang-undang sapujagat ini kata Riza, berusaha mengubah sejumlah undang-undang sekaligus. Semula akan mencakup 79 undang-undang, belakangan ada yang dikeluarkan dari pembahasan namun ada juga yang dimasukkan lagi menjelang akhir.

Padahal kata Riza Undang-undang yang berhubungan dengan jurnalis dan media yang hendak diubah adalah Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang Undang Ketenagakerjaan.

“Undang Undang Pers kemudian dikeluarkan dari pembahasan setelah mendapat protes dari komunitas pers,” pungkasnya.(Vik)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI